Sebelas

137 11 0
                                    

Entah ini kutukan atau takdir, Caca harus berjalan menaiki tangga dibelakang sepasang kekasih. Bukannya cemburu. Dia hanya takut akan ingkar pada janjinya. Tidak, Caca harus bersikap biasa. Dhirupnya udara lalu dikeluarkan agar ia bisa lebih tenang.

Sebenarnya tidak ada percakapan yang bisa Caca dengar. Karena jaraknya yang lumayan jauh. Itu pun karena dirinya yang memberi jarak. Lumayan lega kala ia telah sampai di kelas. Tidak perlu lagi berhadapan dengan sepasang kekasih yang bisa membuatnya ingkar janji.

Jam pelajaran 1-5 telah selesai. Murid-murid pada berhamburan pergi ke kantin, lapangan, perpustakaan, atau pergi ke kelas pacar. Caca memilih pergi ke koperasi, sendirian. Sekarang dirinya memang lebih sering sendiri dikarenakan Emi yang terus berpacaran di kelas. Setelah memberi beberapa kue kering dan minuman, Caca berjalan ke taman belakang sekolah. Duduk di bawah pohon sambil memakan kue kering yang ia beli. Di sini sangatlah sepi, tidak banyak murid yang memilih untuk pergi ke sini.

Dari tempatnya duduk, Caca bisa melihat lapangan Sekolah yang ramai akan siswa-siswa bermain sepak bola. Dan dari sini juga, Caca bisa melihat Atta dan Claudya di lantai 3. Keduanya terlihat tertawa dengan pandangan mata lurus. Hingga tak sengaja matanya bertatapan dengan mata Atta. Gadis itu langsung menundukkan kepala, memasukkan kue kering ke mulutnya dan berpura-pura tidak ada apa- apa.

Sementara laki-laki di atas sana tersenyum melihat tingkah lucu Caca. Dari jarak yang lumayan jauh saja, Atta masih bisa melihat wajah cantik Caca. Mata indah yang dulu membuatnya tahu jika Caca menyukainya. "Itu Caca kan, Ta?"

Atta mengangguk. "Dia gak ngucapin lo selamat ulang tahun?"

Kenapa Claudya mengingatkannya akan hal itu. Padahal sejak kemarin Atta berusaha untuk melupakan itu. Ucapan selamat ulang tahun Caca dalam mimpinya malam itu saja sudah cukup. Atta menggeleng.

"Kalau dia udah move on gimana?"
"Yaudah, toh gue juga udah move on."

Claudya tertawa. Ia tidak percaya akan kata move-on dari mulut Atta. "Lo sama Caca sama-sama suka bohongan hati sendiri."

Caca terkejut kala seorang duduk di sebelahnya. "Kaget banget yah? Emangnya mikirin apa?"

"Enggak. Lo aja yang suka ngagetin orang. Ngapain di sini?" tanya Caca lalu memasukkan kue keringnya yang masih tersisa.

Rian mengangkat pundaknya, tanda bahwa dirinya tidak tahu. Memang, Rian tidak tahu kenapa kakinya berjalan ke sini. Hanya saja tadi Rian tak sengaja melihat Caca. Yah mungkin itu alasannya.

"Lo mau gak ikut gue?"
"Pulang Sekolah?"

Rian mengangguk dan Caca pun ikut mengangguk.

Claudya menyenggol lengan Atta. Memberi isyarat untuk melihat ke bawah. "Kalau Rian bener-bener dapetin Caca apa yang lo lakuin?"

"Ikhlasin."
"Segitu mudahnya lo jawab. Emang cemen lo."
"Lo suka banget ngatain gue cemen?"
"Emang iya, deketin lagi aja malu. Lo harusnya tahulah, cewek tuh bakal diam aja sampai si cowok nyamperin. Pinter dikit lah, Ta."
"Udah pinter gue. Nilai fisika udah kayak nomer absen."

~•~

Baru saja Rian meninggalkannya di penjual roti bakar depan kompleks. Awalnya Rian mau menunggu hingga mengantarnya pulang. Tapi, Caca menyuruh Rian untuk pulang saja karena pesanannya masih lama. Akhirnya Rian pun pulang dan Caca sendirian menunggu pesanan yang belum dibuat-buat juga.

Dia memang sedikit rindu akan roti bakar rasa green tea yang dulu sering ia beli sepulang dari rooftop. Sudah lama semenjak ia tidak ke Kafe tempat Leo bekerja. Sudah lama juga ia tidak mampir ke sini semenjak hampir 2 tahun yang lalu.

"Caca!"

Terkejut bukan main kalah mengetahui siapa orang yang memanggilnya. Sosok tinggi dengan kulit tidak hitam tidak putih, dengan mata ajain dan bulu mata yang lentik, sedang berdiri di sampingnya. "Lo pesen dari tadi?"

"Ha? Oh iya," ucap Caca yang masih memikir dahulu.

"Kira-kira lo udah berapa lama ngantri?"
"5 tahun," ucap Caca yang langsung menutup mulutnya, "maksudnya 5 jam."

"Oh lama juga."

Caca menepuk dahinya. Kenapa ia mengatakan 5 tahun? Lalu mengatakan 5 jam? Sungguh otaknya tidak bisa berpikir lagi. Ingin sekali kabur dari tempat ia berdiri. Tapi itu malah terlihat jika ia sedang salting. "Lo gak capek berdiri 5 jam gini?"

"E-enggak kok," ucap Caca lalu gadis itu mendekat pada sang penjual dan bertanya akan pesanannya. Ternyata pesanannya belum dibuat juga. Terpaksa Caca membatalkannya.

"Mau kemana?" tanya Atta kala melihat Caca yang akan pergi.

"Pulang. Gak jadi beli, daritadi belum dibuat juga pesanan gue."
"Capek yah nungguh 5 jam?" tanya Atta yang sejujurnya menahan tawa dari tadi. Caca hanya mengangguk sambil menahan malu. Lalu berjalan pergi dengan langkah cepat sambil menggumam di sepanjang jalan.

5 tahun nunggu? Ternyata lo suka gue selama itu, Ca.

~•~

Caca memukul-mukul bantalnya. Masih malu akan kejadian tadi di penjual roti bakar. Entah kenapa ia menjawab 5 tahun? Apa yang ada dipikirannya? Sungguh Caca juga tidak sadar akan jawabannya.

"Duh malu, malu gue," ucapnya pada diri sendiri. Sejak tadi gadis itu hanya bisa menyalahkan dirinya yang terlalu bodoh. Menyalahkan mulut dan otaknya yang tak sinkron. Juga menyalahkan penjual roti bakar yang tidak segera membuatkan pesanannya, sehingga ia tidak perlu mengatakan 5 tahun seperti tadi.

Semakin diingat semakin membuatnya malu. Tidak tahu harus bagaimana jika bertemu Atta lagi. Ia tidak ingin masalah 5 tahun ini diungkit oleh cowok itu.

"Halo?" ucap Caca yang telah mengangkat sambungan telepon.

"Novel lo ketinggalan di tas gue nih."

"Novel mana?"

"Yang lo beli tadi, yang judulnya 5 tahun."

Caca kesal mendengar kalimat 5 tahun. Sungguh malunya makin bertambah. "Yaudah, lo bawa aja, besok kasihin..."

"Gue udah di depan rumah lo."

Langsung saja Caca melesat keluar rumah. Dan benar saja, Rian ada di depan rumahnya. "Nih," ucap Rian memberikan Novel yang ia maksud.

"Lo dari rumah balik ke sini?" tanya Caca sambil mengambil Novel itu. Rian mengangguk. Lalu tak sengaja pandangan Caca terasa ganjal. Sebuah kantong plastik tergantung di pagar rumahnya. Caca mengambilnya dan bertanya kepada Rian apakah itu darinya? Dan Rian menjawab tidak.

"Dari orang yang sayang sama lo. Gue pulang dulu," kata Rian yang langsung melesat begitu saja.

Caca mengambil kantong plastik itu. Terkejut kala tahu jika itu adalah roti bakar rasa green tea yang tidak jadi ia beli. Ia tahu siapa yang memberikan ini. Tapi Caca masih ingat akan janjinya. "No, Ca! No! Move-on. Remember the promise, Ca! You must forget him and don't baper."

~•~

AkhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang