"Hei, mau kemana lo?"
Orang yang ditepuk terkejut dan spontan menoleh. Sementara kedua penumpang saling tatap menatap dan tersenyum. "Anjing! Ngagetin aja," umpat Atta membuat Kiki tertawa. "Lo sendiri mau ke mana?"
"Ditanya malah balik tanya. Gue duluan yah, bro," kata Kiki setelah melihat lampu berubah warna menjadi hijau.
Atta sedikit membalikkan badannya. "Bentar lagi kita bakal kayak mereka," kata cowok itu dengan sedikit manja.
"Lampunya udah hijau, At." Mata Atta melotot kecil, lalu membalik badannya. Melihat lampu telah berganti warna dan beberapa orang mengklaksonnya. Sadar, Atta pun menjalankan motornya.
Motor Item Manis itu melaju membelah jalanan Surabaya. Saat tempat tujuan sudah mulai dekat, Atta membelokkan motornya. Setelah memarkir motor, keduanya jalan bersama menuju rooftop.
"Gue kira, novel 5 tahun yang gue kasih buat lo itu gak nyampai di lo. Ternyata dugaan gue salah."
"Waktu itu..."
Putri memegang novel yang tergeletak di atas mejanya. Novel yang terlihat baru dan cukup tebal bagi dia. Karena tidak suka membaca, ditaruhnya novel itu di meja belakangnya. Meja Caca.
Tak lama Caca datang dan mengerutkan keningnya saat melihat sebuah novel tergeletak di atas mejanya. "Punya siapa?" batin gadis itu.
"Mungkin dari penggemar lo, udah terima aja," kata Emi.
Caca berpikir sebentara. Apa iya dia memiliki penggemar? Sangat diragukan? Tapi.... "oke lah."
Novel yang Caca terima adalah novel yang 2 hari lalu akan ia beli namun sayang, uangnya kurang. Siapa pun pemberi novel itu, Caca sangat berterima kasih. Novel itu adalah novel yang sangat ia impikan berbulan-bulan. "Terima kasih untuk si Acc yang misterius."
Atta tertawa. Malu akan kebodohannya. "Waktu itu gue gak tahu tempat duduk lo, asal taruh aja. Tapi alhamdulillah nyampe di orangnya."
"Boleh tahu gak?"
"Apa?"
"Waktu kita dekat, kan lo udah pacaran sama Kak Yuli. Itu beneran atau hoax?"
"Hoax. Si Yuli aja yang ngaku-ngaku jadi pacar gue. Selama 18 tahun gue hidup, gue belum punya pacar sekalipun. Maunya sih lo jadi pacar pertama gue."
"Guenya gak mau," kata Caca yang pastinya sebuah kebohongan. "Oh ya, At. Tanya soal lo yang tiba-tiba hilang boleh gak?""Mau tahu banget?" Caca mengangguk.
"Harus cerita nih?" Caca mengangguk.~•~
Melihat seseorang yang kita sayang lemah tak berdaya adalah sebuah hal yang tidak ingin Atta lihat. Dirinya tidak bisa lagi bercanda, membuat kenangan bersama, atau sekedar berbincang mengenai hal yang dilalui seharian. Di sisi dirinya ada rasa penyesalan yang teramat dalam. Seharusnya ia sebagai orang yang saat itu sedang bersama, bisa menjaga agar tidak terluka sekecil apapun. Namun ini, luka yang parah. Ia harus mendapat fakta jika Caca mendapat jahitan di lengan kanan dan kepala. Tidak seberapa parah kata dokter, tapi itu adalah hal paling parah bagi Atta. Dan itu semua karenanya.
Karenanya, Caca harus terbaring tidak sadar diri selama beberapa hari. Karena itu, Caca tidak bisa mengikuti ujian nasional yang harusnya dilakukan keesokkannya saat kejadian itu terjadi. Satu-satunya cara agar Caca melupakannya adalah pergi. Iya, tidak seharusnya dia pergi saat Caca lemah tidak berdaya.
"Setelah lo bangun, lo pasti bakal benci sama gue, Ca. Tapi gue harap dengan perginya gue, hidup lo lebih bahagia. Lo akan selalu ceria, seperti Caca yang gue kenal. Gue pergi dulu," kata Atta menahan air matanya. Setelah merasa cukup menatapi wajah Caca, Atta pun bangkit untuk berangkat ke suatu tempat yang cukup jauh untuk Caca melupakannya.
"Terus, apa gunanya lo balik? Apa gunanya lo minta Claudya untuk ngikutin gue? Apa, At?"
"Gue nyuruh Claudya biar gue bisa lihat senyum lo, Ca."
"Dan yang lo lihat, apa gue masih senyum setelah lo pergi?"Atta terdiam. Memang, semua foto maupun video yang ia terima dari Claudya, dia tidak pernah mendapati Caca tersenyum. Tapi apa benar itu karena kepergiannya?
"Karena itu, gue balik."
"Buat apa?"
"Buat lo senyum lagi."
"Apa udah berhasil?"
"Entah. Gue rasa belum."
"Terus?"Ditariknya kedua tangan Caca agar gadis itu mendekat. "Mungkin gue bukan seperti cowok impian lo. Yang selalu ada buat lo, yang selalu buat lo senyum, yang selalu jagain lo dari apapun, dan bersedia pergi jika itu buat lo bahagia. Meskipun begitu, gue selalu mencoba, jadi cowok yang selalu ada buat lo, yang bisa buat lo senyum, jagain lo, ataupun pergi. Asal lo bahagia, Ca. Waktu itu gue pergi karena gue merasa bersalah, Ca. Gue takut lo bangun dan benci sama gue. Karena itu gue pergi. Dan bodohnya, gue ninggalin lo di saat lo lemah. Tapi yang gue pikir, lo gak butuh gue, karena gue bukan siapa-siapa lo."
"Lo salah, At. Gue butuh lo waktu itu. Lo gak tahu betapa sedihnya saat tahu lo pergi gitu aja..."
Kelopak mata itu perlahan membuka. Penglihatannya masih buram. Hingga suara seseorang memanggilnya. "Caca, kamu sudah bangun nak?"
Caca bisa melihatnya. "Mama, kepala Caca pusing," ucapnya pelan sambil memegang kepalanya.
"Sebentar yah, Mama panggilkan dokter." Tak berapa lama dokter masuk untuk memeriksa keadaan Caca. Dokter bilang Caca butuh istirahat dan tidak perlu memikirkan apa-apa dulu.
"Mama senang, akhirnya kamu bangun," kata Warti sambil mengambil gelas yang diserahkan oleh putrinya dan menaruhnya di atas meja.
"Emangnya Caca tidur berapa lama, Ma."
"10 hari sayang."
"Lama banget yah. Oh iya, Ma. Tolong telepon Atta. Suruh dia ke sini. Tapi jangan bilang kalau Caca udah bangun yah, biar surprise."Warti mengangguk. Dirinya sudah berjanji untuk tidak memberi tahu Caca jika Atta pergi.
Beberapa hari setelah bangun dari tidur panjangnya, Caca hanya bisa berbaring di kasur Rumah sakit sambil menonton tv. Sahabat, teman, dan gurunya datang untuk menjenguk. Semuanya bertanya, kapan dirinya melakukan UN. Teman-temannya mengatakan jika soal yang mereka dapat sangatlah susah. Caca hanya mengangkat pundak, dirinya tidak tahu kapan akan melakukan UN.
Sebenarnya, ada 1 orang yang ia tunggu. 3 hari setelah bangun dari tidur panjangnya, Caca belum melihat orang itu. Setiap kali pintu kamar terbuka, Caca selalu berharap jika orang itu datang. Tapi, sudah 35 kali pintu terbuka semenjak ia sadar dan orang yang muncul bukanlah orang yang ia tunggu. Caca sudah meminta Mamanya untuk menelpon. Tapi sang Mama bilang jika tidak ada jawaban.
2 bulan berlalu. Caca sudah memasuki Sekolah Menengah Atas yang sangat ia impikan sejak dulu. Dia telah memiliki banyak teman baru. Tapi tidak ada satu pun yang bisa membuat dia benar-benar senyum. Orang yang selama ini ia tunggu tidak ada kabar. Hingga akhirnya Caca paham. Bahwa Atta pergi meninggalkannya entah karena apa. Semenjak itu, dia tidak mau jatuh cinta lagi.
"Tapi izinkan gue buat lo bahagia lagi. Gue bakal buat akhir cerita lama kita menjadi indah, Ca. Tidak ada lagi gue maupun lo yang pergi."
"Bagaimana bisa menjadi akhir yang indah, At? Kalau lo aja cuma diam."
"Gue gak bakal diam sekarang," kata Atta kemudian dipeluknya tubuh Caca. Suasana menjadi sepi. Hingga Atta bisa mendengar suara tangisan Caca. "Gue sayang sama lo, cuma lo."
~•~
KAMU SEDANG MEMBACA
Akhir
Teen Fiction[Sequel dari Kau] (Sudah Tamat) "Bagaimana bisa menjadi akhir yang indah, jika kau saja hanya diam." Menjalin hubungan dengan Rian, ternyata masih belum bisa membuat Caca melupakan Atta. Ditambah lagi, hubungannya dengan Rian juga entah mau dibawa k...