--10--

23 6 1
                                    

2 jam berkutat dengan novel ternyata membuat mataku serasa ingin keluar. Aku menyudahi kegiatan literasiku. Kulirik jam di pergelangan tanganku ternyata sudah pukul 12 siang. Eat Time!! Kalau soal makan, aku pasti jagonya. Sejak SMA, aku tak pernah lupa akan makan. Padahal, aku tipe orang yang mudah sekali lupa. Tapi kalau untuk makan, sepertinya tidak. Aku memasukkan novel kesayanganku kedalam tas ransel dan keluar dari perpustakaan.

Aku memutuskan untuk makan di kafe tempat ku bekerja. Ternyata disana tidak ramai. Ini bagus. Aku tidak perlu menjaga image dan berpura-pura makan selayaknya perempuan ayu.

" hai bang Rengga " sapaku pada pria jangkung yang tampan itu.

" hai juga sa. Makan siang? " Aku mengangguk sambil tersenyum.

" nanti malam kamu kerja kan? " .

" iya dong bang. ". Kataku sambil mengambil piring untuk menyiapkan nasi gorengku.

" Apa kamu gak capek sa? Pulang kuliah langsung kerja? Kamu kan perempuan ya, pasti capek. " ujar bang Rengga. Duh aku salting. Bang Rengga perhatian banget.

" Haha, capek pasti bang. Tapi Asa kan kuat. Buat hidupkan mesti capek. Lagian minggu depan Asa dapat gaji pertama Asa kan? Duh senengnyaa " Aku bersorak, dan bang Rengga hanya terkekeh pelan.

" Iya dong. Yaudah, makan sana. " . Aku hanya menunjukkan jempol tanda aku setuju. Dan aku duduk di sudut kafe seperti biasa.

Hingga suapan terakhir, handphone ku berdering

Rey ganteng is calling....

Eh, pacarku telfon. Haha ini sungguh menjijikkan.

" Halo pacar " sapanya semangat

" Walaikumsalam Rey " aku tersenyum malu malu.

" Ehe. Lupa. Assalamu'alaikum pacar. "

" Walaikumsalam. Kenapa telfon? "

" Aku kangen " aku terkikik. Sebisa mungkin aku menetralkan detak jantungku.

" Ah. Lebay. Oiya, sudah makan siang belum? "

" Belum. Ini aku lagi mau makan. "

" Mmm baguslah. Sama siapa makannya? " kataku sambil menyuapkan nasi goreng terakhirku.

" Nih sama Joni. " Aku menyerngit. Setahuku rey tidak punya teman bernama Joni.

" Kami udah kelaparan. Tapi dia diem diem bae sa " ah. Sial!

" dokter mesumm!!! " teriakku kesal . Kudengar Rey tertawa. Dan aku langsung mematikan telfon sepihak. Kapan kebiasaan mesumnya hilang .

------
" Kak Ayaaa. Yuhuu.. Any body homee"
Teriakku menggema. Aku tak mendengar suara sahutan dari dalam. Sepertinya kak Aya pergi. Dan aku merogoh ventilasi di atas pintu.

" Ah. Ini dia. Kak Aya kemana ya? " Ku buka pintu rumahku dengan kunci yang diletak kak Aya diatas pintu kalau dia sedang pergi.

Aku menyerngit. Kemana kak Aya siang-siang begini? Biasanya kak Aya paling anti keluar saat cuaca panas. Ku rogoh tas ku dan mengambil handphone. Saat aku menelfon kak Aya, aku mendengar dering handphone dari kamar kak Aya.

Dan apa lagi? Kak Aya tidak bawa handphone. Ini benar-benar bukan kak Aya. Apa dia sangat terburu-buru sampai lupa membawa handphone? Tas nya pun tidak dibawa.

Ku buka handphone kak Aya dan aku sangat bingung. Ada banyak panggilan yang tidak terjawab dari nomor yang sama. Kulihat riwayat panggilan masuk. Oh, sepertinya kak Aya sudah menjawab telfonnya yang terakhir. Rasa kepo ku belum juga tuntas. Ini tidak sopan sih, tapi ya bagaimana lagi ? Kalau sudah kepo susah jadinya. Ku buka aplikasi pesan. Dan ternyata ada pesan dari nomor itu juga. Kutekan dan kubaca pesan itu.

Tanganku tiba tiba menjadi dingin. Jantungku berdegup kencang. Kenapa dia ingin bertemu Kak Aya. Air mata ku tak mampu lagi terbendung. Aku melemas saat kak Aya mengirim pesan

Iya. Tunggu saya disitu. Dan jangan sebut anda sebagai ayah saya lagi. Ayah saya sudah mati bersama ibu saya.

Ya Tuhan ! Ayah datang ? Aku merasa bahagia sekaligus sedih. Bagaimana tidak? Meskipun aku sudah besar, tapi aku memang sangat membutuhkan figur seorang ayah. Aku ingin dilindungi. Meskipun kak Aya sudah berusaha keras menggantikan figur figur yang telah lama hilang, tapi rasanya berbeda. Tapi aku langsung menggeleng dan menghapus air mataku kasar. Bagaimanapun, ayah adalah orang terbrengsek yang pernah kulihat. Ayah dengan tega membuat kami seperti seorang gelandangan. Tidak meninggalkan uang sepeserpun dan pergi meinggalkan kami untuk keluarga barunya.

Aku keluar dari kamar dan beranjak pergi ke tempat Kak Aya dan Ayah bertemu. Sepanjang perjalanan aku hanya menangis. Gemercik ingatan tentang perlakuan kasar Ayah masih membumi di ingatanku. Aku terus berlari sampai aku berhenti disebuah taman. Dan benar. Mereka bertemu disini. Kuputuskan untuk meredam tangisku dan mendengar percakapan mereka.

PLAK!!

" Cukup! Berhenti menyakiti kami ! Apa anda tidak puas sudah membuat kami menderita? "Aku berteriak dan berlari medekati kak Aya. Kulihat pipi kak Aya memerah karena tamparan pria ini.

" Asa? ini Asa? Kamu sudah besar sekarang ? Ini Ayah nak " Kulihat Ayahku menangis sambil merentangkan tangannya ingin memelukku. Sungguh aku sangat ingin memeluk ayah. Tapi egoku lebih menguasai diriku saat ini.

" Ayah? anda Ayah saya? Ayah yang saat itu lebih memilih perempuan jalang dibanding istrinya sendiri? yang tidak pernah menjenguk istrinya yang sakit bahkan tidak datang saat pemakaman istrinya? yang rela mengambil semua aset dan meninggalkan anak-anaknya terlantar? Ayah yang seperti itu maksud anda?" . Aku bicara sambil mengalihkan tatapanku. Aku benar benar tidak bisa menatap mata Ayah. Meskipun aku benci Ayah, tapi aku tak bisa menafikkan kalau Pria didepanku ini adalah Ayahku.

" Maafkan Ayah sa. Ayah punya alasan untuk itu semua. Maafkan Ayah " aku menggeleng kasar.

" Maaf? Semudah itu yah? Semudah itu? Aku dan kak Aya menderita selama ini, apa ayah tau Kak Aya sakit keras hanya untuk membiayai Asa? Apa ayah tau? Dan dengan mudah Ayah minta maaf? Apa ayah tidak punya akal? ". Aku menangis lirih. Aku yakin aku adalah penghuni neraka. Ini benar benar durhaka. Mengatai ayah sendiri dan berteriak.

Aku menjatuhkan tubuhku ke tanah. Ku tutup Wajahku dengan telapak tanganku. Ini benar- benar menyakitkan. Aku tak mengerti mengapa dadaku begitu sesak.

Ku dengar Kak Aya meneriaki Ayah untuk pergi. Kak Aya juga menangis histeris sepertiku. Tapi tangisan kak Aya menambah rasa sakitku. Kak Aya datang dan menghampiriku.

" Asa, ayo kita pulang. Maafkan kakak ya ". Tangan kak Aya terulur membantuku berdiri.

Diraihnya pundakku dan langsung ku tumpahkan semua tangisku didalam pelukannya. Aku jadi kangen ibuku. Kehangatan pelukan Kak Aya sangat persis dengan Ibu. Aku tidak tau bagaimana aku Jika Kak Aya tidak bersamaku lagi.

Kami pustuskan untuk pulang kerumah. Banyak tatapan heran orang-orang. Tapi sungguh, dengan sesengguka seperti ini membuat aku sedikit lega. Meskipun, sakit tadi tidak benar- benar  hilang.

Saat sampai dirumah, kak Aya langsung pergi ke kamarnya. Aku paham. Kak Aya lebih terluka dibanding aku. Fisik, jiwa, batinnya pasti terisak. Kak Aya hanya terlihat tegar didepanku. Sampai dikamar, pasti kak Aya kembali menangis.

Aku duduk dipinggir kasurku. Kuraih frame kecil diatas nakas. Aku tersenyum sambil mengeluarkan airmata. Melihat keluarga kecil yang bahagia. Aku benar-benar merindukan keluargaku.

Aku tidak bisa berlarut-larut seperti ini. Aku harus bisa kuat demi kakakku. Kalau kak Aya bisa tegar, kenapa aku tidak?. Kuhapus air mataku kasar. Cukup. Tidak ada tangis menangis lagi. Demi kak Aya.!!

---
I hope you enjoy in this part.
Thank you




Sycsa

SincereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang