19. Investigation (3)

1.8K 211 33
                                    

"Kalau lain kali saya menemukan hal semacam ini lagi di tas kalian, saya tidak segan panggil orang tua kalian ke sekolah, mengerti?" Tatapan tajam Rendra berikan pada dua remaja lelaki yang berdiri saling sikut di depan mejanya. Bergantian dengan picingan mata ke benda kecil berwarna hijau yang dijepit di antara ibu jari dan telunjuknya.

Betapa tidak? Razia mendadak yang dilakukan oleh anggota Patroli Keamanan Sekolah saat jam kosong di kelas yang Rendra ampu, menghasilkan sitaan satu buah flashdisk berisi ratusan blue film ecek-ecek, sedang dinikmati melalui ponsel. Rendra tidak habis pikir, untuk apa anak-anak ingusan seperti muridnya ini melihat hal tak berfaedah seperti itu.

Larangan membawa ponsel memang sudah lama tidak diberlakukan lagi di sekolah karena menjadi alat untuk mereka mengerjakan serta mengirim tugas individu maupun kelompok. Pelajaran TIK seakan menyumbang angin segar karena selain mempraktekkan apa yang sudah dipelajari, juga mendukung fungsi di pelajaran lain.

Perkembangan teknologi memang bisa menjadi dua sisi mata pisau. Jika fungsi teknologi tidak diiringi dengan kesadaran penuh penggunanya, tentu akan berakhir buruk seperti ini. Padahal jika dipergunakan dengan baik, teknologi jelas bisa menjadikan nilai tambah untuk suatu hal.

Setelah memberikan wejangan sesuai kebutuhan, Rendra mengizinkan kedua murid kampretnya untuk meninggalkan ruang guru, dengan komitmen agar tidak mengulang perbuatan itu lagi. Sebagai wali kelas, Rendra berhak menghukum mereka, tapi ia masih sabar dengan memberikan kesempatan pada muridnya alih-alih melapor pada guru BK atau Kepala Sekolah. Bagaimana pun juga chemistry yang tercipta di antara Rendra dan anak-anak kelas XI IPA 4 sudah cukup untuk berperan sebagai pelindung.

Baru saja Rendra selesai menghela napas berat dan melemparkan flashdisk maksiat sitaan itu ke laci mejanya, si Pur datang menghampiri, khas dengan gaya yang tergopoh-gopoh.

"Bosku, ditimbali lagi itu sama Nyonyah Besar," ujar si Pur gusar. Penjaga sekolah yang aktivitasnya sudah bejibun ini akan sangat terganggu jika di sela pekerjaannya, diselingi dengan perintah lain. Bukan hanya urusan panggil-memanggil, tapi juga fotokopi ke luar sekolah atau sekedar membeli cemilan, yang sebenarnya bukan bagian dari job description-nya.

"Oke, Mas Pur, terima kasih." Walau mengernitkan dahi, Rendra tetap beranjak dari kursi, bersiap memenuhi perintah atasannya. Pikiran yang sebelum ini sudah penuh sesak dengan kelakuan 'istimewa' murid-murid kampretnya, kini ditambah spekulasi buruk nasib murid lain, Pascal.

Saat membuka pintu ruang kepala sekolah setelah dipersilakan masuk, aura menegangkan seketika menguar. Di dalam ruangan berukuran 7x6 meter persegi ini sudah ada beberapa orang dengan ekspresi yang berada pada kisaran emosi Bon Cabe variasi level lima belas sampai tiga puluh.

Anggi tampak muram duduk di sofa L berlapis kulit suede, berdampingan dengan Akbar, Waka Kesiswaan dengan raut wajah sedikit lebih terkontrol. Sesekali wanita 37 tahun ini menaikkan kaca mata yang bertengger di hidung dengan dorongan jari telunjuk, lebih untuk menyiratkan kegelisahan. Sedangkan di seberang mereka ada sosok lelaki paruh baya berpenampilan rapi yang Rendra kenali sebagai Hendra, ayah Pascal.

"Silakan duduk, Pak Rendra. Maaf, saya sedikit terlambat memanggil Bapak." Anggi bersuara dengan ekspresi datar, tampak sudah menyerah dengan debat apapun yang baru saja dibicarakan bertiga. Rendra tersenyum tipis lalu menjabat tangan ketiga manusia yang duduk di sofa sebelum mengambil tempat duduk di sebelah Hendra.

"Maaf, Pak Rendra, di luar rencana ternyata keputusan harus saya ambil secepatnya. Maka dari itu saya panggil Pak Daffa Mahendra ke sekolah untuk memflorkan semuanya. Ketua Yayasan ternyata sudah mendapat kiriman yang sama, dan di luar kuasa saya, beliau minta siswa bersangkutan harus segera ditindak tegas."

(im)Perfect Stuntman (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang