"Bagaimana perasaan kamu dalam dua bulan terakhir ini? Maksud saya, apa kamu merasa nyaman dengan keadaan kita?"
"Nggg...."
Baru saja Anesh berniat membuka mulut untuk menjawab Rendra, tiba-tiba didahului oleh kejut karena ponselnya berdering. Desiran tak nyaman menggores hati Anesh. Tidak sopan rasanya kalau ia nekat menenangkan ponsel sekarang, sedangkan Rendra sepertinya sedang dalam konsentrasi penuh untuk mendengar jawaban Anesh.
Gadis berkumis tipis ini susah payah menelan saliva yang entah kenapa terasa begitu pahit. Kondisi terlalu lapar tak serta merta membaik setelah perutnya dijejali makanan. Apalagi dipadukan dengan grogi setengah mati. Siapa yang tahan dikhawatirkan oleh seorang Rendra, ditunggui dengan sabar saat memasukkan suap demi suap nasi yang disiram kuah soto.
Bahkan talu nyaring di dada Anesh jadi makin parah sejak mereka duduk saling berhadapan. Anesh merasa iris legam Rendra sama sekali tidak memberinya kesempatan untuk rileks. Yah, berimbas pada kondisi hati dan pikiran gadis ini. Kalau tidak kuat mungkin Anesh akan tumbang sebentar lagi.
Anesh ingin abai, tapi dering ponsel tak jua berhenti. Sampai akhirnya isyarat dari ekspresi Rendra meminta Anesh untuk memprioritaskan ponselnya. Anesh sadar betul, tidak ada sama sekali tatapan intimidasi dari netra Rendra, tapi sayangnya rasa di hatinya justru malah membuat gadis ini seperti terdakwa.
Anesh menggigit bibir, frustrasi setelah menemukan ternyata kontak Jeff yang menghubunginya. Setelah pindah ke Bandung memang Jeff menjadi salah satu temannya yang masih keep contact, selain Salma, Sisil, dan Raya. Anesh mengusap keringat dingin di dahinya, sembari memaksa otak untuk memutuskan, akan diapakan panggilan Jeff ini.
Dehaman berat Rendra untuk ke sekian kalinya membuat Anesh hampir terlonjak kaget. Cepat-cepat ia menggeser ikon telepon berwarna hijau di ponselnya ke atas, membenturkan suara empuk Jeff ke udara di sekitar telinga.
"Iya, Jeff? Sorry, aku lagi makan barusan."
Pukulan telak seakan mendarat mulus di rahang Rendra lalu menyenggol mulut, diteruskan dengan darah segar imajiner yang mengalir dari sudut bibirnya. Bahu lelaki ini melemas saat nama Jeff meluncur dari bibir gadis di hadapannya. Rendra merasa kecolongan.
Verdammt!
Bagaimana bisa ia abai terhadap kemungkinan seperti ini? Padahal ia dulu hampir yakin kalau Jeff jelas-jelas menginginkan status kepemilikan atas Anesh, sama seperti dirinya. Hanya saja, Rendra terlalu percaya diri untuk tidak memasukkan Jeff ke dalam daftar saingan. Yah, karena memang saat itu ia belum mantap untuk mengungkapkan perasaannya. Lagi pula Rendra yakin Anesh tidak tertarik pada Jeff.
Diam-diam Rendra memperhatikan garis wajah Anesh saat mengobrol dengan lawan bicaranya di ponsel. Meski samar, karena Anesh meminta izin menerima telepon dengan menjauh dari jangkauan Rendra. Namun Rendra bisa melihat sekilas, senyum tulus tersungging di bibir gadis itu. Senyum yang sialnya membuat Rendra menyesal setengah mati, karena menyia-nyiakan dua bulan terakhir waktunya dengan abai pada Anesh.
Rendra tidak ingin bersaing dengan Jeff, karena ia merasa Anesh mutlak sudah menjatuhkan pilihan padanya. Tidak perlu negosiasi lagi karena Rendra sudah bertekad untuk mengambil Anesh. Fase denial sudah dilalui, bahkan Rendra sudah mengakui perasaannya. Saran dari Richa ternyata ikut diperhitungkan dalam terambilnya keputusan Rendra saat ini.
Lima menit setelahnya Anesh kembali. Dikurangi dua menit gelisah dan waktu berjalan menjauh dan mendekat tadi, total hanya tiga menit Jeff mencuri perhatian Anesh dari Rendra. Tiga menit yang mampu membuat Rendra mendengkus kesal, merasa terancam, dan makin bersemangat untuk segera menamatkan sesuatu antara mereka berdua.
KAMU SEDANG MEMBACA
(im)Perfect Stuntman (Completed)
RomanceAmazing cover by: @nasyaelf [Update setiap Sabtu, insyaallah] Keinginan Rendra untuk lari sejenak dari kisah dengan mantan calon istrinya justru membuka lembaran baru kisah lain. Bukan sebuah kesengajaan melainkan suatu jebakan. Atas nama kesetiaka...