10. Seperti ada yang hilang #1 (Seruni POV)

70 3 0
                                    

1.

Apakah aku masih perlu menceritakan lagi siapa aku? Mungkin sebagian sudah mengetahuinya. Karena dia sudah sering menyebut namaku dalam setiap aliran darahnya. Dia sudah sering menyebut namaku dalam setiap detak jantungnya. Dan dia sudah sering menyebut namaku dalam setiap doanya. Ya, aku adalah Seruni. Wanita biasa yang dia anggap spesial dan luar biasa olehnya. Sudahlah, kalian juga jangan ikut-ikutan terlalu melebih-lebihkan semua tentangku. Kesempurnaan hanya milik Allah SWT.

Aku berasal dari keluarga yang biasa saja. Ayahku keturunan Aceh-Bandung, sementara ibuku keturunan Bandung-Garut. Ayah dan ibuku hanya PNS biasa yang berprofesi sebagai guru SMA. Aku lahir dan besar di Bandung. Lalu semester 2 kelas 12 SMA, aku terpaksa pindah ke Garut setelah ayahku pindah dinas ke Garut. Ibu pun ikut pindah ke Garut dan melamar menjadi guru honorer di beberapa SMA. Di Garut, aku menempati rumah warisan kakek yang merupakan ayah dari ibuku. Aku melanjutkan sekolah dan mulai masuk pesantren di daerah Wanaraja. Mungkin hanya itu yang bisa aku beri tau kepada kalian tentang diriku, karena cerita ini bukan sebuah biografi seorang Seruni. Betul kan?

Akan kuceritakan apa yang aku alami, apa yang aku rasakan, dan apa yang aku lihat. Sebenarnya aku tak pandai bercerita, hanya saja ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan kepada kalian. Bukan tentang kehidupanku yang menurutku biasa saja, tapi tentang bagaimana di beberapa waktu ini hidupku penuh dengan dilema, perasaan campur aduk, bahagia, dan sedih. Ya, semenjak ada dia, hidupku yang terkesan datar dan lurus menjadi berliku dan naik turun.

Asal kalian tau, ada beberapa orang pria yang berusaha mendekati aku, bahkan bisa terbilang banyak. Tapi kebanyakan hanya orang yang penasaran kepadaku, bukan untuk keseriusan, aku pun bisa menilainya. Karena kebanyakan hanya melihat aku dari segi fisik. Aku heran dengan mereka, aku yang berpakaian tertutup saja masih banyak yang menggodaku, apalagi kalau aku berpakaian seperti Ariel Noah, eh maaf, Ariel Tatum maksudku. Ah, kebanyakan pria memang sama saja. Sehingga aku lebih memilih untuk tidak berpacaran sama sekali. Karena aku percaya bahwa suatu hari akan ada pria yang dikirimkan Allah untuk menjadi seseorang yang akan mengecup keningku di setiap pagi dan petang, menjadi penunjuk jalan yang diridhoi-Nya, menjadi imam di sepertiga malam, dan menjadi peneduh di saat aku mengeluh.

Aku sedikit bingung harus memulai cerita ini dari mana. Saat ini ada dua orang pria yang berhasil memberikan kesan mendalam dalam hidupku. Akan kusebut namanya secara gamblang. Ya, mereka adalah Asep dan satu lagi bernama Pak Imam yang merupakan dosenku sendiri. Kalau boleh jujur, aku tidak punya perasaan cinta kepada mereka berdua. Hanya saja, ada perasaan lain yang tak mampu aku ucapkan dengan kata-kata. Perasaan aneh yang terkadang membuat aku bingung harus berbuat apa. Sampai-sampai aku pun juga bingung siapa yang harus aku ceritakan terlebih dahulu.

Aku berpikir sejenak, ah aku jadi teringat kejadian memalukan itu, kejadian di hari pertama kuliah. Aku sama sekali tidak mengenal siapa pun di sana, kecuali beberapa saja yang kukenal ketika ospek. Rasanya seperti orang asing. Namun ketika aku sedang berjalan sendiri di koridor, tiba-tiba ada seorang pria yang bersin di depanku sehingga ingusnya loncat dan menempel tepat di dadaku. Entah apa yang dia pikiran, dengan refleks dia langsung membersihkan ingus yang menempel disitu. Aku kesal, marah dan benci. Wanita mana yang tak marah jika dadanya dipegang sembarangan. Dasar brengsek. Gumamku dalam hati. Maaf aku jadi berbicara kasar karena saking kesalnya. Namun siangnya ketika aku hendak pulang, dia tiba-tiba datang untuk meminta maaf. Bukan sekedar minta maaf biasa. Dia memberikan sesuatu yang mungkin kupikir cukup jarang diterima seorang wanita sebagai permintaan maaf. Yaitu selembar bublewrap untuk dipecahkan gelembungnya bersama. Aku sampai ingin tertawa dibuatnya. Sampai-sampai rasa kesalku tiba-tiba pergi begitu saja bagaikan angin. Ya, Asep lah orangnya.

Sedikit mengenai Asep, menurutku dia itu baik, ceria, berisik, dan sangat biasa saja. Dia tidak spesial. Dari mulai fisik, kualitas diri, dan lain-lain. Bahkan menurutku cenderung payah. Bukan maksud merendahkan, memang seperti itulah Asep. Aku sudah tau bahwa dia menyukaiku. Aku bisa menilai dari apa yang dia lakukan untukku. Dia selalu berusaha untuk menjadi pria yang dapat diandalkan. Tapi kembali lagi, dia itu payah. Pernah suatu hari ketika aku ada tugas kuliah, aku bertanya padanya, dia terlihat kebingungan. Lalu mengalihkan pembicaraan, dan pergi. Ketika aku pergi ke perpustakaan, aku mendapati dia sedang sendirian membaca buku yang berhubungan dengan tugas kuliahku. Dengan kemampuannya yang sangat terbatas, dia berusaha mencari tau. Sampai esok harinya, dia telah mendapat pemecahan masalah mengenai tugasku. Sekeras itukah usahamu?

Aku ingat ketika dia berusaha melindungiku ketika digoda oleh senior di kampus. Aku ingat ketika dia selalu membangunkan aku untuk tahajud. Aku ingat ketika dia selalu menunggu aku pulang hanya untuk sekedar menanyakan kabar. Aku ingat ketika dia selalu menolongku ketika tanganku diperban. Dan masih banyak lagi usaha yang dia tunjukkan. Tapi ada hal yang membuat dia berbeda. Dia sama sekali tidak pernah berusaha untuk membuat aku suka kepadanya. Apa yang dia lakukan untukku mengalir begitu saja. Terkesan tanpa pamrih. Selain itu, dia sangat menghormati privasiku. Bahkan selama ini, kami tak pernah bersentuhan, kecuali hanya dua kali. Namun sekali lagi, dia itu payah. Setiap usaha yang dia lakukan tidak melulu membuahkan hasil. Dengan persentase kegagalan mencapai 80%, itu cukup besar. Tapi dia tidak pernah menyerah. Dia selalu ada untukku. Dengan segenap kelebihan dan kekurangan yang dia miliki, aku cukup senang berteman dengannya. Apakah dengan semua itu aku sudah jatuh cinta? Tentu saja tidak.

Ada hal yang membuatku bingung, yaitu bagaimana Aku harus bersikap? Aku hanya takut menyakitinya. Maksudku, tidak mencintai bukan berarti harus menyakiti, kan? Kadang aku merasa tidak enak atas pengorbanan yang dia lakukan. Sehingga kebingungan lah yang sering aku rasa. Mungkin kalian bertanya, bagaimana perasaanku ketika diperlakukan demikian oleh Asep? Baiklah akan kujawab. Rasanya, campur aduk. Kadang senang, kadang risih, kadang kesal, kadang lucu, kadang ketagihan. Loh kok ketagihan? Tentu saja ada yang membuatku ketagihan. Aku suka ketika dia adzan. Aku pernah beberapa kali mendengarnya melantunkan adzan di masjid kampusku. Itu sungguh indah. Ternyata suaranya merdu juga. Terbayang kan bagaimana ketika dia membaca ayat suci Alquran?

Hal aneh selalu aku rasa ketika dia dekat perempuan lain. Perasaan tak suka pun selalu muncul. Pernah suatu hari ketika aku ingin ke toilet, aku melihat ada seorang wanita sedang memeluknya sambil menangis. Apa pun itu alasannya, aku tak suka. Entah kenapa, aku tak tau. Padahal aku sama sekali tidak mencintainya. Jadi, perasaan aneh macam apa ini? Muncul secara tiba-tiba, tanpa perintah, dan tanpa tau cara menghentikannya.

Sudah lima hari semenjak pertemuan terakhir dengan Asep, aku tidak pernah melihatnya lagi di kampus. Aku tidak tau dia kemana. Sungguh, aku merasa bersalah pada saat itu. Dia benar-benar mengira bahwa aku akan segera menikah dengan Pak Imam. Padahal aku belum selesai bicara, masih ada yang ingin aku sampaikan kepadanya. Ini merupakan kesalah pahaman yang fatal. Aku tak mengerti dengan perasaanku sendiri, aku jadi menyadari sesuatu, ternyata menyakiti perasaan seseorang bisa semenyakitkan ini. Padahal aku tak mempunyai hubungan spesial dengan dia. Asep, kau dimana?

2.

Tinggal di Garut ternyata tidak terlalu buruk. Tak beda jauh dengan di Bandung. Aku pun sudah punya beberapa teman baik, Ratih namanya. Dia adalah temanku dari semester satu sampai sekarang, ya, sekarang aku sudah menginjak semester tiga.

Hari-hari yang aku lalui berjalan dengan baik, nilai ujian baik, dan berkumpul dengan orang-orang baik. Senang rasanya. Sampai pada akhirnya seorang pria lain muncul di kehidupanku. Dia adalah Pak Imam, dosenku sendiri. Pertama kali aku melihatnya ketika dia mulai mengajar mata kuliah Pengantar Akuntansi #2 di saat aku menginjak semester dua. Dia cukup tampan, selain itu dia juga pintar dan baik.

Setiap Pak Imam mengajar di kelas ku, aku merasa bahwa tatapannya sangat berbeda setiap kali dia menatapku. Awalnya aku mengira bahwa memang seperti itu caranya melihat seseorang. Tapi lama kelamaan Aku menyadari sesuatu, ternyata Pak Imam menaruh hati kepadaku. Sampai pada akhirnya dia semakin intens dalam mendekatiku. Sekarang ini dia sering mengajakku pulang bersama, makan bersama, atau hanya sekedar minum teh bersama sambil bercengkrama. Terkadang aku mengiyakan, terkadang Aku juga menolak ajakannya. Alasanku sesekali menolak ajakannya adalah karena aku kerap kali jadi bahan pembicaraan mahasiswi lain. Aku takut ini akan menjadi fitnah dan berdosalah mereka.

Sekali lagi Aku tegaskan, aku belum atau bahkan tidak mencintainya. Namun di sisi lain Aku sangat menghormatinya, dia dosen Aku mahasiswa, sama halnya seperti guru dan murid. Sebaliknya, sebagai seorang tenaga pengajar, dia juga sangat profesional dan menghormati anak didiknya. Secara keseluruhan, hubungan kami cukup baik. Seiring waktu berjalan, kedekatan ini membuat Pak Imam memeberanikan diri untuk mengungkapkan segala isi hatinya di hadapanku. Sampai pada akhirnya aku diajak untuk menikah dengannya. Apa? Di usia semuda ini? Aku sungguh belum siap. Sampai saat ini aku belum mengiyakan atau pun menolak lamaran beliau. Kendati demikian, hubungan kami sebagai mahasiswa dan dosen masih terjalin sebagaimana mestinya.
.
.
.
.
.

Dari aku, wanita biasa. Semoga kalian suka dengan caraku bercerita. Akan aku lanjutkan di lain waktu. Jadi, jangan bosan untuk menunggu.....

-Seruni Al-Humaira

Seruni, Nu Aing (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang