13. Seperti Ada Yang Hilang #3 (Seruni POV)

51 4 0
                                    


Akan aku melanjutkan bagianku. Yaitu, kelanjutan cerita yang sempat tertunda, dan memang harus aku sampaikan kepada kalian. Ayolah, kalian jangan pernah bosan mendengarkan aku bercerita. Seperti yang sudah aku ceritakan sebelumnya, aku masih bersama Pak Imam di sebuah cafe. Hanya berdua, karena Ratih, temanku, sudah pergi duluan menuju kampus. 

Pada saat ini aku sedang mencoba untuk membuka surat dari Pak Imam yang ditujukan kepadaku. Dan akhirnya aku berhasil membukanya, akan kubacakan untuk kalian mengenai isi suratnya. Suasana cafe yang tak begitu ramai membuat aku khidmat membaca surat dari Pak Imam. Berikut adalah isi suratnya:

Garut, 22 November 2018
Dari, Imam Saputra Caniago

Dear, Seruni Al-Humaira…

Selamat pagi, mungkin sudah siang ketika kamu membacanya. Jadi, kamu boleh mengubahnya menjadi "Selamat siang". Cukup bagus bukan? 

Terpaksa surat ini saya tulis di sela-sela kesibukan saya untuk memikirkan kamu. Sudah saya bulatkan tekad, untuk mengungkapkan segala isi hati saya kepadamu.

Sekian lama saya pendam cinta ini kepada kamu. Mungkin tempo hari saya sudah mengungkapkannya. Tapi kali ini, saya benar-benar ingin tau juga apa isi hati kamu, Seruni.

Maka dari itu, sekali lagi saya ungkapkan…

"Maukah kamu menikah dengan saya?"

Di dalam surat ini ada sepotong kertas berbentuk hati berwarna merah. Jika kamu menerima saya, potongan kertas itu akan kembali ke pemiliknya. Namun, jika kamu menolak saya, potongan kertas itu akan kembali kepada pemiliknya juga, tapi sudah kamu sobek menjadi dua.

Saya tunggu hari ini, di suatu tempat yang mana kamu akan diantar oleh seseorang untuk menemui saya…

Terimakasih atas waktunya…

Ah, sudah kuduga pasti itu isinya. Aku menarik nafas dalam-dalam. Lalu memberanikan diri untuk menatap matanya. Tapi tidak kulakukan. Aku sedang mencoba mengumpulkan keberanian dan memilih beberapa kalimat yang mungkin akan enak didengar dan tidak menyakiti perasaannya. Karena aku benar-benar belum mau menikah.

"So…..?" Kata Pak Imam.

"Sa… Sa… Saya…." Aku sedikit gugup, bingung harus memulainya dari mana.

"Kamu kenapa?"

"Saya belum bisa mengiyakan atau menolak lamaran bapak." Kataku sambil menunduk.

"Apa karena saya duda?"

"Bukan itu pak."

"Lalu? Ada sesuatu kah?"

"Jelas ada, hanya saja saya belum siap bicara." Kataku. Aku masih menyimpan rahasia besar yang tidak boleh ada yang tau. Termasuk Ratih.

"Boleh saya menunggu?"

"Yang artinya berharap?"

"Iya, dengan jawaban, ya."

"Jika saya menolak?"

"Saya akan coba lagi di lain waktu."

Aku sejenak berpikir. Kenapa Pak Imam memilih aku?

"Kenapa bapak memilih saya?"

"Kamu berbeda." Singkatnya.
 
"Tau dari mana kalau saya berbeda dari wanita lain? Sedangkan bapak gak kenal saya, gak tau sifat asli saya, dan gak tau masa lalu saya."

"Saya sudah mempertimbangkan kemungkinan terburuk. Dan saya gak peduli itu. Yang saya inginkan hanyalah kamu jadi istri saya."

"Menurut saya ini terlalu terburu-buru pak."

Seruni, Nu Aing (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang