POV AuthorSore itu, setelah selesai mengajar di bimbel aku tak langsung pulang. Seperti biasa aku cek jurnal mengajar dan kehadiran siswa, untuk melihat siapa saja yang sudah tiba waktunya bayar SPP.
Masih asyik dengan kegiatanku, gawaiku bergetar. Sebuah pesan baru saja masuk via aplikasi whatsapp, sebenarnya sudah banyak pesan masuk namun belum sempat aku buka.
[Thor, kamu lagi dimana?] Isi pesan itu. Nampak di atas layar terpampang nama pengirimnya 'Mutinya Bimo'.
[Ini masih di bimbel, mbak. Ada apa?]
[Aku susulin ke bimbel, ya?]
Aku lihat jam di gawaiku, sudah pukul 17.15 waktunya aku pulang.
[Tapi ini aku mau pulang, mbak. Emang ada yang penting banget, ya?]
[Iya, thor. Bentar aja, yang penting aku bisa cerita ke kamu.]
[Ok, deh. I waiting you.]
Benar saja, tak berselang lama sebuah motor matic berwarna biru sudah muncul di parkiran depan bimbelku. Nampak seorang wanita tinggi semampai dengan body slimnya. Dia mengenakan hijab hitam lebar dan gamis berwarna navy. Penampilannya sangat bersahaja, tak ada riasan berlebih di wajahnya.
Aku pun keluar menyambutnya, bersalaman dan cipika-cipiki setelah itu mempersilahkan Muti masuk.
"Ada apa sayangkuh? Sepertinya lagi galau, ya?" Tanyaku sambil tersenyum sembari memperhatikan wajahnya yang seolah ingin meluapkan emosi.
"Thor, apa aku kurang sabar?"
"Maksudnya?"
"Nyesek, thor. Baca salah satu komentar seorang bapak yang bilang aku salah 'kalau aku marah-marah karena nerima uang Rp 25.000,00. Katanya sama saja aku meragukan Allah yang akan memberiku rejeki lain'. Dia ga tau apa yang aku alami setelah itu kan, thor?" Suara Muti terdengar parau karena menahan sesak di dada.
Muti sedang berusaha untuk tidak menangis. Sesekali dia membuang pandangan dan menyeka sudut matanya. Nampak jelas kegundahan yang menyelimuti wajah sederhana itu. Wajah wanita rapuh yang berusaha selalu tegar.
"Aku belajar ikhlas menerima semua ini. Tapi ketika ada yang berpendapat aku bodoh, aku kurang bersyukur, atau bahkan disalahkan karena dianggap menggiring opini seolah-olah suamiku yang salah, atau bahkan dikira meragukan Allah yang dapat mendatangkan rejeki lain untukku, rasanya sakit. Sakit banget, thor." Tangis Muti akhirnya pecah.
Aku rengkuh pundak dan kepalanya, kucoba menenangkan Muti. Aku tahu dan bisa merasakan betapa berat kehidupannya selama ini. Perjuangannya yang teramat luar biasa bagi banyak orang yang melihatnya. Ya, bagi orang-orang yang mengenal Muti dengan baik maka akan melihat sosok Muti yang tangguh, sabar luar biasa, dan yang pasti dia tak suka mengeluh.
"Mbak, biarkan saja. Itu semua karena mereka ga tau bagaimana selama ini mbak bertahan. Lagipula yang bernasib seperti mbak banyak, kok. Jadi, mbak ga sendirian." Kataku masih sambil mengelus pundaknya. Setelah kurasa mulai tenang, aku lepas rengkuhanku.
"Iya, thor. Bener kata kamu, Si Bapak itu juga banyak ditimpali oleh emak-emak lain."
"Nah, itu tau. Sudah pasti bakalan banyak yang gemes dengan sikap Mas Bimo, mbak."
"Tuh bapak ga tau kalau setelahnya Mas Bimo harus menanggung hutang selama 6 bulan gegara bantu pernikahan kakaknya. Aku ikhlas dia membantu saudaranya tapi bukan berarti harus mengorbankan kehidupanku dengan anak-anak kan?"
"Iya, mbak. Benar, yang namanya bantu saudara seharusnya cukup semampunya saja, jangan sampai mengorbankan anak istri."
"Tapi kata Si Bapak yang komentar itu 'bantu nikahan kan ga setiap hari, apalagi tujuannya baik agar ibunya ga punya hutang', dia ga tau kalau akibatnya aku rasakan sampai berbulan-bulan, selama ini saja aku hanya ketitipan uang gajinya tanpa dapat apa-apa, dan sekarang gajinya minus, thor. Minus! Aku makin tertekan karena semakin banyak tangunganku." Jelas Muti sambil sesenggukan, ujung hijab lebarnya sesekali dia gunakan untuk menyeka airmata yang masih mengalir di pipi kuning langsatnya itu.
Pedih rasanya dengar curhatan Muti sore menjelang petang ini. Banyak beban yang telah dia tanggung, tapi masih ada yang tanpa tahu keadaan sebenarnya tapi tega menganggapnya salah.
"Ya sudah, mbak. Jangan diambil hati, wong namanya pendapat orang itu masing-masing. Ambil hikmahnya saja, anggap itu bapak sedang berniat baik."
"Iya, thor. Sebenernya aku juga tau maksud tuh bapak, dia mengingatkan aku untuk ikhlas dan yakin bahwa Allah akan memberi ganti rejeki lain. Ya, memang Mas Bimo tujuannya baik. Mas Bimo hanya ingin bantu ibunya agar tidak punya hutang. Tapi emak-emak juga ga salah, karena mereka pakai logika, mana cukup uang Rp 25.000,00 buat sebulan."
"Ya, ga cukup mbak. Emak-emak yang ngerasain ngatur duit segitu mana sanggup."
"Tapi heran deh, thor." Nampak Muti mengerutkan dahi, tangisnya pun sudah mereda.
"Heran kenapa mbak?"
"Tuh Si Bapak, kan dia bilang dari awal nikah ga pernah menelantarkan istri, bahkan dia memfasilitasi istrinya mobil dan rumah, segala kebutuhan terpenuhi. Pantes aja istrinya ga protes atau mencak-mencak kayak aku ya, thor?"
"Ya, iyalah, mbak. Makanya dia mau bantu orang tuanya, mau nyenengin kayak apa ya nyantai aja."
"Tapi, thor. Dia bilang 'dia hanya orang yang ingin menyenangkan orang tuanya dan istrinya ikhlas, sehingga rejekinya lancar'. Wah, istrinya hebat ya! Kudu dicontoh itu, thor."
"Ah, kita kan ga tau isi hati istrinya, mbak. Bisa saja Si Bapak menganggap diamnya istri sebagai keikhlasan, tanpa tau jeritan hati sang istri."
"Iya juga sih, thor. Kayaknya Si Bapak sepaham dengan Mas Bimo, deh! Ah, makin banyak saja laki-laki macam Mas Bimo ya, thor."
"Hooh, mbak. Mereka menganggap apa yang dia lakukan benar tanpa mengerti apa yang dirasakan istri."
"Ya sudah, thor. Aku mau balik, bentar lagi mau maghrib. Makasih ya sudah mau mendengarkan curhatanku. Kalau nulis kisahku, jangan lupa nitip salam buat emak-emak, ya."
"Hahaha... kamu ini mbak, seneng kalau ada temen yang senasib." Kataku seraya berdiri menghantarkan Muti keluar menuju parkiran.
Setelah cipika-cipiki perpisahan, Muti pun berlalu dengan motor matic birunya. Aku tertegun, dia hanya menangis sebentar tapi setelah itu dia mampu tersenyum kembali. Ah, Muti. Kau memang memilih 'keep happy smile for facing your life', meski tubuhmu sudah kelewat slim.
****
Emak-emak dapat salam dari Muti, dia juga mendoakan untuk wanita yang senasib dengannya semoga diberi kesabaran, ketabahan, serta kekuatan. Untuk wanita yang sudah mendapatkan suami bertanggungjawab, banyak-banyaklah bersyukur karena tak semua wanita beruntung.Salam sayang author dan Muti buat kalian semua😊
*Untuk yang request kehidupan Muti dengan anak-anaknya, InshaAllah kapan waktu akan author coba merangkum kisahnya ya.
Thanks for your attention all readers😊🙏
Seri lain klik link ini ya...
Berhitung Yuk, Pa!
https://m.facebook.com/groups/488655531196343?view=permalink&id=2362230973838780Mas Bimo, Ternyata Aku Salah Sangka
https://m.facebook.com/groups/488655531196343?view=permalink&id=2364999913561886Muti Lelah, Bang!
https://m.facebook.com/groups/488655531196343?view=permalink&id=2369853946409816Si Bimo Tersentuh Hatinya
https://m.facebook.com/groups/488655531196343?view=permalink&id=2374710729257471Amplop Gajian yang Menyakitkan
https://m.facebook.com/groups/488655531196343?view=permalink&id=2383019545093256Wattpad
https://my.w.tt/YMhiiUXg7V
KAMU SEDANG MEMBACA
JODOH PENGUJI
Short Storyulasan tentang keluh kesah seorang wanita yang telah lelah menanggung beban