Setelah enam belas tahun bertahan dengan banyak kegetiran, akhirnya Muti dapat tersenyum lega. Ia merasa apa yang tengah ia perjuangkan tak ada yang sia-sia.
Keinginan untuk bercerai dari Bimo yang selama ini menyusup ke dalam sisi hatinya berangsur menghilang berganti dengan sebuah keyakinan bahwa semua akan baik-baik saja. Ya, semua akan baik-baik saja. Begitulah keyakinan seorang Muti selama ini. Hingga akhirnya, keyakinan itu sedikit memudar kembali.
Sabtu siang yang cerah, langit tanpa mendung menggelayut. Begitupun rona wajah Muti, cukup terlihat binar bahagia saat bergelayut manja di lengan Bimo sembari menyandarkan kepala di bahu lelaki berusia empat puluh empat tahun itu.
"Ma, kasih Vita adik, yuk!" Ucap Bimo seraya mengecup puncak kepala Muti dengan lembut.
"Emang dah siap dengan dananya?" Muti mendongak dan memandang wajah berkumis tipis dan sedikit jenggot itu.
"Rejeki pasti ada, Ma." Bimo mencoba meyakinkan.
"Paham, rejeki pasti ada. Tapi orang punya anak juga harus berfikir biaya persalinan harus disiapkan, ga asal hamil." Kali ini Muti menegakkan badan dan menghela nafas berat.
"Memangnya papa udah punya tabungan berapa?" Lanjut Muti seraya ditatapnya lekat netra lelakinya.
"Masih sedikit, itupun hasil menyisihkan uang gaji. Nanti lebaran bisa diambil buat beli keperluan lebaran."
"Papa tau berapa banyak uang yang dibutuhkan Rizky selama di pondok sekarang ini?"
"Iya."
"Papa udah janji bakalan bantu aku."
"Iya, tapi gajiku bulan ini minus, Ma. Tolong dibantu, ya."
Muti kembali menghela nafas berat. Tak masalah ia tetap membantu suaminya, namun ia tak mengerti kenapa setiap ucapan Bimo selalu tak sinkron, terkesan asal ucap tanpa disertai pertimbangan atau dipikirkan terlebih dahulu.
"Ok, untuk masalah keuangan aku bantu."
"Makasih, ya istriku." Bimo kembali mengecup kening Muti yang kemudian berlanjut ke hidung dan berakhir dengan ciuman di bibir.
"Itu artinya kita ga bisa punya anak lagi untuk waktu dekat ini." Ucap Muti setelah mendorong halus wajah suaminya.
"Kenapa?"
"Mana bisa aku hamil tapi masih harus kerja ga kenal waktu?"
"Kan, mama kerjaannya enak. Ngelesi sambil duduk, terus kalau melayani reseller juga bisa sambil tiduran."
Sejenak Muti memandangi wajah yang terkadang membuatnya muak ingin melempar cobek ke arahnya itu.
"Ternyata kamu ga mikir, ya. Aku bangun pagi sudah ngurusi anak, mengantarkannya ke sekolah. Setelah itu beberes rumah, kelar urusan rumah aku sudah lanjut ngurusi orderan dan juga jawabi chat dari sekian banyak reseller. Siang mulai ngelesi hingga malam, pukul 20.00 kelar lanjut lagi dengan dagangan. Disaat papa sudah mendengkur menikmati tidur nyenyak, aku masih melek sibuk mencari barang orderan dari satu supplier satu ke supplier lain menjelajah marketplace. Hanya demi apa? Demi memenuhi kebutuhan kita." Papar Muti sedikit emosi.
"Tapi kan, ga berat, Ma."
"Iya, ga berat. Tapi, apa papa ga mikir? Meskipun hanya duduk menjelaskan, otak dan pikiran juga capek ngajarin anak yang beda kelas, beda pelajaran, beda karakter, beda kemampuan. Terus kamu pikir saat ngurusi orderan juga ga capek? Kamu pikir jari bisa ngetik sendiri tanpa mata dan tenaga? Aku kudu melek dan dan fokus, muter otak jika ada supplier yang kosong agar orderan tetap fix."
"Tapi kan, Mama pinter."
"Iya, pinter. Makanya kamu manfaatin." Sungut Muti mencebik.
"Terus kapan mama siap punya anak lagi?"
"Kapan aja siap, asal semua kebutuhan udah bisa papa handle."
"Oke, papa bisa."
"Kalau begitu, aku nanti kalau sudah melahirkan ga perlu ngelesi lagi, ya?"
"Lha, kenapa?"
"Emangnya aku, kamu suruh ngajar sambil gendong bayi lagi? Cerita lama terulang lagi itu namanya."
Muti kembali teringat saat Vita masih bayi dua bulan, ia harus tetap mengajar les door to door. Diajaknya Rizky -- yang saat itu masih berusia 8 tahun, berjalan kaki sambil mendorong stroller menuju rumah ke rumah.
Terik matahari tak ia rasa. Terkadang hatinya menangis ketika melihat Rizky yang setia menemaninya kemana pun ia melangkah tanpa lelah.
Seolah berbagi beban, Rizky menjaga adiknya ketika ibunya harus mengajar. Tak jarang pula yang empunya rumah mengasuh Vita selama Muti mengajar anaknya, bahkan untuk mandi Vita di sore hari juga dilakukan di tempat orang tua murid.
Ah, perjuangan itu cukup membuat sesak dada Muti ketika mengingatnya. Flashback potongan-potongan kecil kenangan yang baginya hanya menambah rasa sakit ketika ia harus berjuang sendirian. Sedangkan suaminya kerja di kota lain dengan gaji yang habis untuk dirinya hidup.
Kembali Muti menghela nafas, kali ini terasa lebih berat.
"Ya, ga apa toh, Ma. Kan, gampang. Ngajar sambil gendong bayi. Kalau nangis tinggal nenenin." Bimo masih berusaha membujuk Muti.
"Eh, Pa. Yang les itu anak-anak udah gede, lho. Anak kelas sembilan kamu pikir belum akhil baliq? Kamu kalau ngomong kenapa sih, ga bisa dipikir dulu?"
"Salah lagi?"
"Coba deh, papa pikir. Aku disini sendirian. Saat sakit saja aku tetap harus merawat diriku sendiri dan juga Vita. Ini ditambah lagi harus bekerja sambil gendong bayi. Kamu pikir ini adil buat aku?"
"Mama itu mikirnya terlalu berlebih."
"Gimana, ga berlebih? Kamu ga mikir gimana capeknya aku nanti. Kamu yang aneh, tega memeras otak dan fikiran istri! Mencari nafkah itu sudah kewajibanmu sebagai suami!" Kali ini suara Muti mulai meninggi.
"Kan, marah?"
"Gimana, ga marah? Harusnya kalau kamu suami yang mikir, kamu bawa aku tinggal bersama kamu, kalau nanti hamil pun aku tak perlu bersusah payah mikir biaya persalinannya, ga susah payah dengan kerjaan yang double cari uang plus jagain anak. Kapan kamu mau bikin hidup aku enak?"
"Ya, udahlah, Ma. Ga perlu bahas itu lagi."
"Diskusi yang meyebalkan!" Dengus Muti jengkel seraya berdiri meninggalkan suaminya di depan televisi yang menyaksikan perdebatan mereka.
Kembali hati Muti berkecamuk dipenuhi oleh emosi yang ingin ia ledakkan. Kenapa ketika Muti merasa yakin untuk tetap bertahan, datang keraguan yang kembali menyergap hatinya. keteguhan hati Muti kembali dimainkan oleh sang pemilik hati yang lebih tahu cara membolak-balikkan hati.
Apakah akan sia-sia semua pengorbanannya selama ini?
Apakah salah bertahan dalam sebuah pernikahan yang terus membebaninya dengan sejuta tekanan?
Sampai kapan Bimo akan seperti itu? Kapan Bimo bisa berubah dewasa cara berfikirnya?
Ah, entahlah...
KAMU SEDANG MEMBACA
JODOH PENGUJI
Short Storyulasan tentang keluh kesah seorang wanita yang telah lelah menanggung beban