By Yani Prabakti
Sepasang netra bulat bening bermanik coklat hanyut dalam tatapannya yang tertuju pada benda di hadapannya. Sebuah foto yang cukup besar, lukisan kenangan di masa lampau, dimana sebuah babak baru kehidupan dimulai oleh sepasang insan yang saling mencinta.
Tanpa ia sadari setetes bulir bening terjatuh menyisakan jejak kesedihan. Perlahan jemari lentiknya menyentuh lembut gambar wajah pria yang berdiri di samping gambar dirinya yang tengah mengenakan pakaian pernikahan berwarna putih.
Terlampau banyak pelangi yang ia lewatkan bersama lelaki yang telah memberikannya dua buah hati, seorang jagoan dan bidadari kecil. Sempurna bagiku.
"Ma," sebuah suara membuyarkan lamunan, segera Muti menyeka airmata dan menoleh ke arah pemilik suara.
Bimo, sosok pria yang selama ini menemani hidupnya masih berdiri di sisi pintu yang terbuka. Di punggungnya masih ada tas yang biasa ia pakai untuk membawa pakaiannya. Dilehernya pun masih berkalungkan slayer coklat.
"Aku kangen, Ma." Ujarnya dengan netra berkaca-kaca.
Muti berjalan mendekat. Nyeri yang menjalar di hatinya teramat sakit. Kenyataan harus terpisah secara raga telah lama ia jalani, namun sekarang ia pun harus menerima pil pahit dari sebuah kenyataan jika ia telah tertalak tiga sah secara agama.
Selama enam belas tahun ia berusaha bertahan demi keutuhan keluarga dan juga anak-anak, namun siapa sangka jika ucapan emosi seorang suami justru telah membuatnya menjadi janda.
"Masuk, Pa. Istirahatlah dulu. Perjalanan jauh pasti melelahkanmu." Muti meraih tas yang dibawa suaminya, atau lebih tepatnya mantan suami secara agama, tetapi masih sah berstatus suami secara hukum negara.
"Mama masak apa hari ini?" Tanya Bimo sembari mencuci tangan di wastafel.
"Sayur lodeh, gereh layur, sambal terasi."
"Enak nih, Ma. Papa makan, ya?"
"Iya, ini piringnya udah di meja. Sebentar aku buatkan teh hangat."
"Papa pengen es teh aja, Ma." Pintanya menawar.
Tak berselang lama secangkir besar es teh telah tersaji di dekat Bimo yang tengah lahap menyantap masakan lezat sang istri.
"Vita mana, Ma?"
"Masih di TPQ."
"Nanti papa jemput, ya?"
"Dia udah naik sepeda, kok."
Bimo hanya manggut-manggut. Masakan Muti membuatnya mengaut nasi kembali untuk kali kedua.
"Ehm ... masakan mama tuh, memang bikin nagih." Entah sudah berapa kali pujian itu terlontar berulang-ulang dari bibir Bimo.
Senyum Muti menyembul dari bibir berisinya. Ada pendar rindu menyeruak memenuhi relung kalbu. Meski banyak hal pahit yang ia lalui, namun bukan berarti menghapus semua kebaikan Bimo.
"Ma, aku mau bicara penting." Tutur Bimo dengan raut wajah serius.
"Apa?" Muti bersedeku layaknya murid yang siap memperhatikan guru saat pelajaran dimulai.
"Mama jangan marah, ya. Ini papa hanya memberi solusi."
Dahi Muti mencipta kerutan dan netranya menyipit. Sebagai istri yang telah hafal dengan suaminya, feeling Muti bekerja, biasanya solusi dari Bimo itu aneh. Meski begitu ia tetap mencoba mendengarkan.
"Solusi apa?"
"Tentang kita, Ma."
"Terus?"
"Mama masih cinta dengan papa, kan?" Tatap Bimo menyelidik.
Muti enggan menjawab, hanya terdengar desahan kasar dari nafasnya.
"Terus?"
"Papa sudah pergi ke teman, dia juga pernah melakukannya."
"Bisa nggak kalau ceritanya nggak usah muter-muter?" Muti mulai tak sabar karena dia sudah tahu pasti nanti ujungnya tak jelas.
"Jadi gini, Ma. Kita minta tolong ke ustad untuk nikahin mama, setelah itu mama diceraikan langsung. Nah, setelah masa iddah lewat kita bisa nikah kembali."
"Emang boleh?" Tanya Muti dengan bibir mencebik.
"Boleh, Ma. Temanku juga gitu."
"Itu bukan bohongin Allah?"
"Ya, enggak."
"Kok enteng banget ya, kamu merekayasa sebuah pernikahan memangnya pernikahan itu sebuah mainan?"
"Satu-satunya cara cuma itu, Ma."
"Sekarang gini, menurutmu aku sebagai wanita nggak punya harga diri? Kamu talak aku, terus sekarang dengan mudahnya kamu minta aku untuk menikah, setelahnya nyuruh orang tersebut menceraikan aku hanya agar bisa kembali ke kamu. Kamu enak ngomong gitu, tapi tak pernah berpikir bagaimana perasaanku sebagai seorang wanita, harga diriku seperti kamu kebiri." Emosi Muti akhirnya meledak.
Tak habis pikir dengan cara berpikir Bimo, selalu menganggap semuanya mudah tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain.
"Terus maunya mama apa sekarang?" Tanya Bimo dengan suara lemah, sepertinya ia menyerah.
"Kita cerai secara hukum negara sekalian. Masalah jodoh biarkan tangan Tuhan yang bekerja atas takdir kita."
"Sepertinya mama bahagia dengan perpisahan ini. Memang ini yang mama mau." Tuduhnya dengan tatapan sinis.
Bimo oh Bimo, kenapa kau tak jua introkpeksi diri dan menyadari bahwa semua terjadi karena ucapan dan tindakanmu selama ini.
Kembali Muti mengelus dada seraya menepok jidat.
KAMU SEDANG MEMBACA
JODOH PENGUJI
Short Storyulasan tentang keluh kesah seorang wanita yang telah lelah menanggung beban