Akhirnya Muti Bisa Tersenyum

150 29 2
                                    


"Papa ga setuju kalau Rizky harus masuk pondok!" Teriak Bimo dengan emosi yang membuncah.

"Kamu itu istri tapi ga menghormati suami!" Masih dengan nada tinggi dan telunjuknya menunjuk-nunjuk muka Muti.

"Ya sudah kalau papa ga bisa diajak rembugan. Aku cuma pengen anakku menjadi orang baik yang punya masa depan." Jawab Muti sambil menahan emosi yang sebenarnya menyeruak dadanya.

"Besok Rizky ikut aku, sekolah disana."

"Terserah papa lah, kalau memang mau merusak anak ya terserah. Liat aja kalau sampai ada apa-apa dengan anakku, dunia akherat aku ga akan maafin kamu." Ucap Muti penuh penegasan.

Pertengkaran itu pun berhenti dengan tangis Muti, tangis tanpa suara isakan karena saking lelahnya ia selama ini.

Bukan tanpa alasan Muti menginginkan anaknya belajar di pondok. Seminggu yang lalu, ketika ia berkunjung di kota tempat suaminya tinggal bersama ibu dan keluarganya, ia mendapati surat panggilan dari pihak sekolah dimana Rizky belajar.

Muti memutuskan harus ke sekolah Rizky untuk tahu apa yang terjadi. Apa karena nilai pelajaran yang kurang bagus? Ataukah Rizky sering melanggar tata tertib sekolah? Banyak pertanyaan dalam benak Muti. Hampir satu tahun tak mendampingi putranya membuat ia sering khawatir.

Ah, ternyata....
Setelah duduk di ruang yang terdapat di teras sekolah, Muti dibuat shock oleh kabar yang diceritakan Guru BK sekaligus wakil kepala sekolah tersebut. Diluar dugaan dan benar-benar membuat Muti murka. Tak ingin anaknya berlarut-larut dalam hal tidak benar, akhirnya Muti membawa Rizky kembali ke kotanya.

Pertengkaran yang ia khawatirkan akhirnya terjadi juga. Bimo tidak mengijinkan Rizky kembali tinggal dengan Muti, alasannya ia butuh Rizky untuk menemaninya disana. Rizky pun juga enggan tinggal dengan ibunya karena merasa sangat dimanjakan oleh ayahnya.

Malam itu, setelah pertengkaran mulut yang berujung bentakan dari Bimo, Muti pun diam seribu bahasa. Hatinya ingin mempertahankan Rizky, namun disisi lain anak pertamanya itupun tak mau tinggal dengannya. Muti hanya bisa berdoa agar anaknya selamat dan suatu saat bisa dibukakan hatinya untuk memahami maksud ibunya.

"Ma, Rizky aku bawa. Percayalah kalau papa bisa menjaganya. Dia jadi tanggungjawabku, apapun yang terjadi aku yang akan bertanggungjawab."

Muti tak menjawab, ia menelungkupkan badan dan membenamkan wajahnya di bantal. Bahkan ia tak mengantar suaminya ketika mau kembali ke kotanya. Muti merasa pendekatan ke anaknya juga gagal, Rizky lebih memilih papanya ketimbang dirinya, seorang ibu yang cerewet.

****

Satu tahun kemudian.

[Ma, tolong telp ke Guru BK tempat Rizky sekolah.] Sebuah pesan disertai nomor kontak masuk ke gawai Muti.

[Kenapa?]

[Rizky harus pindah sekolah, disuruh kembali ke mama.]

[Kok bisa?]

[Biar jelas, mama telp aja lah.]

Firasat tak baik menyergap pikiran Muti. Segera ia menghubungi nomor kontak tersebut. Alhasil, Muti harus ke sekolahan Rizky untuk bicara langsung dengan pihak sekolah.

Dari hasil pertemuan yang hampir 40 menit itu, Muti mendapat informasi yang membuatnya sangat tercengang. Selama ini anaknya terjerumus dalam obat-obatan karena mendapat ancaman dari temannya yang terkenal sebagai anak preman. Pihak sekolah menyarankan untuk memindahkan Rizky agar bisa lepas dari pengaruh teman-temannya.

Bisa dibayangkan bagaimana hancurnya hati dan perasaan Muti saat itu. Bimo, suami yang berjanji akan bertanggungjawab mendidik dan mengawasi anaknya ternyata selama ini kecolongan banyak dan ketika tahu, ia tak segera memberitahu.

Emosi Muti meledak saat berhadapan kembali dengan Bimo. Di hadapan seluruh keluarga Bimo, Muti mengeluarkan segala sesak di dada. Tak satupun yang berani bersuara. Bimo hanya tertunduk menyesal.

"Mana bukti kamu bisa mendidik anak dengan baik? Mana bukti kamu bisa menjaganya?"

Bimo tetap diam tertunduk.

"Berapa orang yang menyarankan Rizky untuk dikembalikan ke aku? Banyak kan? Kamu saja yang egois tidak bisa mendengarkan hal yang baik. Kamu anggap istrimu ini anak kecil, makanya kamu ga bisa mendengar apa kataku!"

"Maafin papa, Ma. Papa ngaku salah." Suara Bimo lirih.

"Apa maafmu bisa mengubah semua yang sudah terjadi? Ingat ya, sampai mati dunia akherat aku ga ikhlas kamu merusak anakku. Kamu mempertaruhkan masa depan anakmu hanya untuk egomu!"

"Terus sekarang Rizky gimana?" Tanyanya lemah.

"Rizky harus mondok!" Jawab Muti penuh penekanan.

"Dan Rizky harus nurut mama sekarang. Mama cerewet seperti ini demi kamu, agar kamu bisa menjadi anak yang kelak bisa membawa mama papa ke surga, bukan neraka seperti yang kakak lakukan sekarang. Paham?" Ucap Muti tegas kepada anak lelakinya yang sedari tadi hanya duduk dan tertunduk menyembunyikan rasa bersalah.

"Iya, Ma. Kakak nurut mama sekarang. Maafin kakak, ya, Ma." Tangis Rizky pecah seraya menghambur memeluk tubuh kurus mamanya.

****

Satu bulan setelah mengurus segala sesuatunya, akhirnya Muti dan Bimo mengantar Rizky ke Pondok Pesantren yang cukup jauh dari perkotaan. Keinginan Muti untuk menjauhkan pengaruh negatif dan menyelamatkan anaknya begitu kuat. Ia tak lagi memikirkan tentang ijazah ataupun kemampuan akademik putra kesayangannya itu. Yang terpenting adalah kembalinya akhlak yang baik pada diri Rizky.

Mungkin ini adalah salah satu cara Allah mengabulkan doanya. Banyak hikmah yang dapat diambil dari kejadian tersebut. Berkat kesabaran Muti, sekarang ia mendapatkan bonus double. Rizky mau belajar di pondok, dan Bimo menyadari sikapnya selama ini. Setiap kamis malam jumat ia menghadiri pengajian rutin yang diadakan oleh Ponpes sekalian menjenguk Rizky. Sejak saat itu, Bimo tertarik belajar agama dan sikapnya kini jauh lebih baik.

Senyum Muti kini mengembang, beban yang selama ini ia simpan seolah menguar hilang tanpa bekas terganti dengan sejuta rasa syukur.

JODOH PENGUJITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang