By : Yani Prabakti
Semenjak kejadian itu, Muti dirundung rasa takut. Selama ini orang-orang mengenalnya sebagai pribadi yang santun dan baik. Muti tak ingin nama baiknya dipertaruhkan hanya demi laki-laki nekad seperti Darwin.
Posisi hidup sendirian memang rentan bagi Muti dari fitnah. Sedikit saja kesalahan pasti akan menjadi gunjingan dan menghapus kebaikannya selama ini. Bagi Muti nama baik serta kehormatan harus tetaplah dijaga sebisa mungkin.
Drrrttt... drrtttt...
Dua pesan masuk ke aplikasi berlogo telepon hijau. Mata muti hanya melirik ke arah gawainya, ia enggan membuka dan lebih memilih melanjutkan packing orderan."Alhamdulillah... akhirnya selesai juga." Muti menghela nafas lega.
Segera ia meraih gawai untuk mengirim pesan ke pihak ekspedisi yang akan mengambil paketannya. Namun, niatnya terhenti ketika ada pesan masuk dari nomor semalam.
[Selamat pagi, bee]
[Nanti malam mas mampir lagi, ya]Mata Muti mendelik, mulutnya melongo terkejut dengan pesan yang ia baca. Segera jemari Muti dengan gemetar mengetikkan pesan balasan.
[Anda tak perlu kesini lagi, saya mohon jangan sampai saya terkena fitnah hanya karena anda]
Tak berapa lama pesan centang dua biru, nampak di layar atas muncul tulisan sedang mengetik...
[Bee, kasih mas kesempatan. Mas udah nunggu kamu sampai 2 tahun]
[Maaf, Pak Darwin. Status saya masih bersuami]
[Kalau begitu aku akan bantu urus perceraianmu]
Astaghfirullah...
Ya Allah, kenapa Engkau hadirkan orang semacam Darwin?Muti menghela nafas dalam-dalam dan menghembuskannya berat. Ia sandarkan kepalanya pada sofa dan gawainya kembali tergeletak. Beberapa pesan dan panggilan masuk tak ia hiraukan.
Lama Muti memejamkan mata, mencoba berfikir mencari cara agar Darwin tak meneruskan niatnya lagi. Hampir dua puluh menit Muti terperangkap dengan pikirannya.
"Ya, aku harus blokir dia. Aku harus tegas!" Ucap Muti pada dirinya.
Ia segera ambil gawai dan mencari titik tiga, kemudian memilih blokir. Bahkan setelah itu Muti juga menghapus nomor itu.
****
"Assalamualaikum." Terdengar suara pria dari pintu depan.
Nampak Vita anak kedua Muti berlari membukakan pintu.
"Kenapa, Om."
"Mamanya ada, Dek?"
"Maaaa!" Panggil Vita ke Muti yang saat itu sedang berada di kamar.
Muti masih saja diam bak patung di atas kasur. Ia yakin pasti Darwin yang datang.
"Ma, dapat ini dari Om yang di luar itu." Kata Vita yang sudah berada di balik punggung Muti sambil menenteng bungkusan plastik hitam.
"Ma, lihat ini. Enak, Ma. Martabak manis pake coklat keju!" Seru Vita gembira.
Muti membalikkan badan dan menatap putri kecilnya yang sudah lahap menikmati martabak manis kesukaannya.
"Ini lebih enak, Ma. Coba deh." Celoteh Vita.
"Vita sayang, Vita disini dulu ya. Mama mau nemuin tamu dulu."
"Iya, Ma."
"Disini nonton tv, ya. Makan martabaknya dan ga usah keluar dulu."
"Iya, Mama cantik." Ucap Vita sambil mencium pipi kiri Muti yang kemudian dibalas oleh Muti dengan banyak ciuman.
KAMU SEDANG MEMBACA
JODOH PENGUJI
Short Storyulasan tentang keluh kesah seorang wanita yang telah lelah menanggung beban