Happy reading
"Mereka yang sekarang adalah apa yang tercermin dari masa lalu."
[][][]
"Gak ada yang bisa lo percaya satu pun di dunia ini Dev."
"Gak mungkin. Gue percaya sama lo!"
"Lo liat gue sekarang! Liat pake mata lo! Siapa yang ada di sisi gue? Siapa Dev?! Gue sendiri."
Devandra tersadar dari tidurnya. Mengucek pelan mata gelap tersebut, mencoba mengatur kembali napas yang tersengal-sengal, dan menyeka keringat yang membasahi tubuhnya.
Mimpi buruk itu kembali lagi, terus menghampiri kala malam tiba, potongan masa lalu yang begitu runyam, memaksanya membangun tembok pembatas.
Untuk apa? Untuk menjauhkannya dari kemungkinan rasa sakit yang begitu mendalam akibat terlalu mempercayai seseorang. Menyingkirkan mereka satu per satu karena pada dasarnya tidak ada yang benar-benar mengerti. Seakan begitu peduli diawal dan berakhir pergi sesaat setelah mendapatkan apa yang diinginkannya dari seorang Devan.
Cowok ataupun cewek, mereka sama saja. Saling memanfaatkan demi keuntungan diri semata. Semua itu hanya omong kosong.
Mata gelap itu kini melirik jam yang berada di dekat lampu tidur. Jam yang mengatakan bahwa sudah pukul 22.32 malam.
"Kenapa lo terus nyiksa gue?" Tangannya meraih bingkai foto yang terpajang indah di atas nakas putih tersebut. Mengusap-usap pelan debu yang mulai menyelimuti bingkai kaca itu.
Devandra selalu terbangun tepat pukul 22.32 malam. Memutar kembali memori kelam yang menghantuinya sepanjang malam. Ia berharap memiliki jam yang tidak pernah menunjukkan angka tersebut.
"Kenapa?!" Dev meninggikan suaranya seiring dengan gigi geraham yang mulai bergemeletuk.
Prakk....
Cowok itu melempar bingkai foto ke arah dinding kokoh ruang tersebut. Membuatnya pecah berkeping-keping.
Devan menjambak rambut hitamnya, menghantam tembok berulang kali, melayangkan pukulan pada tembok yang tak bersalah itu. Tampak lelah dengan semua ini.
Cowok itu kini bersandar pada tembok, satu-satunya sandaran yang ia punya, sandaran yang lebih ia percaya daripada manusia, tembok itu tidak pernah lari meninggalkan Devan, selalu ada di sisinya, saksi bisu hidup Devandra dan satu-satunya tempat ia mencurahkan isi hati yang mustahil akan tersebar luas.
Putra tunggal keluarga Wijaya terduduk lemah tepat di depan bingkai yang hancur berantakan. Menyingkirkan pecahan kaca yang menutupi foto didalamnya dan segera beranjak ke sudut kamar untuk mengambil handphone serta papan skateboard kesayangan miliknya.
"Mang Jaja!"
"Iya Den, ada apa?" Sahutnya ketika tuan muda keluarga Wijaya memanggil nama tersebut.
"Tolong urus ini! Saya mau keluar sebentar." Cowok yang mengenakan jaket jeans itu mengulurkan tangan kanannya.
"Siap Den."
Devandra melangkahkan kakinya pergi dari rumah bergaya mediterania tersebut, tempat tinggal keluarga Wijaya yang harmonis dengan sejuta kisah pilu yang mereka sembunyikan.
"Ya ampun Den, punya hobi kok mecahin bingkai. Ckck..." Pak Jaja berdecak pelan dan mengeleng-gelengkan kepalanya, tukang kebun itu tak habis pikir dengan tingkah majikannya. Sudah tak terhitung berapa kali ia mengganti bingkai tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Queensha
Teen FictionKayla, gadis anggun yang terpaksa harus masuk SMA Texas di Bandung. SMA yang tidak benar-benar ia inginkan dan memaksanya melupakan cita-cita terpendam itu untuk menjadi siswa di SMA internasional Jakarta. Akankah ia menyesal atas kepindahannya? Gad...