Aku sudah mati. Kenapa dimatikan lagi? Terdengar sedikit konyol memang.
Jiwa tanpa raga,
Galen
[][][]
Harvard University
Tap... Tap... Tap...
Byan melangkahkan tungkai kakinya menghampiri laki-laki yang tengah menyibukkan diri, satu dari satu sahabat Byan, Sulthan Assegaf Wijaya, rektor muda ternama di Indonesia.
Hentakan langkah ringan Byan mampu mengusik ketenangan Sulthan yang sedang mempersiapkan dokumen penting putra sulungnya, Galen, sang calon mahasiswa Harvard.
"Sorry Sulthan, anscheinend habe ich dich gestört. Dies ist jedoch sehr wichtig und dringend." (Sulthan maaf, sepertinya aku mengganggumu. Tapi, ini benar-benar penting dan mendesak). Ucap Byan ragu.
"Ich bitte dich, Byan, nicht jetzt! Siehst du nicht, wie beschäftigt ich bin? Nichts ist wichtiger als das! (Aku mohon Byan, jangan sekarang! Apa kau tidak lihat betapa sibuknya aku? Tidak ada yang lebih penting dari ini!). Sulthan menyeru tak mau diganggu.
"Ich dachte, es würde nicht lange dauern, Sul-" (Aku pikir ini tidak akan lama, Sul-). Sayang ucapan pria berdarah Jerman itu kalah cepat dengan keinginan Sulthan untuk pergi dari ruangan ini.
***
Bandung, 07.00
Lantai 7 apartemenDi muka cermin, Gwen menatap nanar dirinya. Dia terus berdiri di sana sejak kepulangannya malam itu. Melamun, melamun, dan terus melamun.
"Siapa kamu?" Tanya Gwen pada cermin yang berdebu.
"Gwen???" Gadis itu tak lagi mengenali pantulan bayang samar dirinya.
"Aku pasti bermimpi 'kan?" Ilalang bagai terbakar di mata Gwen. Panas sekali. Begitu memanas hingga air matanya mengering.
Mimpi buruk yang terburuk adalah mimpi yang tak akan terbangun lagi. Gwen sudah kehilangan pagi, hangat mentari tidak lagi menghampiri, artinya mimpi ini jelas tidak akan tersudahi.
Gwenzy Claresta mengambil gunting dengan tangan kanannya. Surai panjang cokelat nan indah itu habis terpotong. Simbol hilangnya mahkota paling berharga milik Gwen.
"Katakan, sekotor apa aku sekarang?!!!" Maki Gwen frutasi pada diri sendiri.
Dengan lamban, Gwen menyusuri satu demi satu kilap keramik hitam di bawah kakinya.
Tik... Tik....
Jam dinding berdetik lemah umpama alunan detak jantung Gwen yang enggan lagi berdetak. Gorden yang tertutup sempurna menambah kehampaan ruang waktu itu.
Dan disini-lah Gwen sekarang. Di bawah tirai hujan pribadinya. Menyucikan tubuh yang tak lagi suci.
Perlahan Gwen memutar ulang senyum manis Galen Alexis Wijaya yang terekam dalam ingatannya. Tawa pria itu menggema di gendang telinga Gwen tanpa diminta. Potongan kenangan Galen terus diputar oleh pikiran Gwen sendiri. Suatu kebahagiaan paling bahagia yang pernah Gwen temui.
Gadis itu tak ingin mengingat air mata Galen semalam. Bahkan, gambaran tubuh kekasihnya tersungkur kesakitan dan saat di mana punggung Galen membias pergi menjauh.
Akhir menghampiri sepasang kekasih ini dalam bentuk kekecewaan bukan lagi kebahagiaan.
Gwen tersenyum getir. Masih tidak percaya akan semua. Berkali-kali ia menjambak rambut pendeknya, berharap segera tersadar dari mimpi yang menyiksa ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Queensha
Teen FictionKayla, gadis anggun yang terpaksa harus masuk SMA Texas di Bandung. SMA yang tidak benar-benar ia inginkan dan memaksanya melupakan cita-cita terpendam itu untuk menjadi siswa di SMA internasional Jakarta. Akankah ia menyesal atas kepindahannya? Gad...