#9 Same Dawn

1.3K 239 131
                                    

"Senyum itu seperti plaster. Mampu menutup luka. Namun, rasa sakitnya masih terasa."

[][][]

Fajar yang sama kembali datang hari ini, menyapa anak manusia serta ciptaan Tuhan yang lain seperti biasanya. Fajar yang sama dengan cerita yang berbeda di setiap harinya.

Senin, hari yang menjadi momok menakutkan bagi sebagian pelajar pada umumnya. Berburu dengan waktu karena khawatir akan telat atau tergesa-gesa dengan setumpuk pr yang belum disalin karena tak kunjung mendapat contekkan, panik harus bangun pagi sewaktu menjadi petugas upacara, dan segudang alasan lainnya yang membuat Senin identik dengan penderitaan.

Kenapa hari Senin? Karena Senin menjadi pertanda berakhirnya hari weekend, Senin itu picik, jarak Senin ke Minggu jauh tapi Minggu ke Senin cuma beda sehari, ini tuh gak adil.

"Kay buruan!" Alvaro meneriakki adiknya, ia sudah berada di depan mobil sedari tadi.

"Adek lo kesiangan Al?" Tanya Asep.

"Emang kapan dia pernah bangun pagi?" Alvaro balik tanya dengan menaikkan salah satu alis tebalnya.

Asep memutar lehernya, menengok ke arah belakang saat mendengar derap kaki yang begitu cepat disertai desahan napas yang tersengal-sengal. Nona muda yang sudah berkeringat seperti berolahraga di pagi buta.

Cowok yang mengenakan pakaian serba hitam membukakan pintu mobil untuk gadis dengan sandwich yang menggantung di luar mulutnya. Gadis yang menikmati sarapan sambil berjalan kian kesana kemari dan berakhir di kendaraan roda empat itu.

"Lama banget sih lo!" Ucap pria yang baru saja meneriakkinya dan kini sudah berada di salah satu kursi mobil.

"Sorry. Jalan Sep!" Sosok yang memegang kendali kemudi kendaraan itu memacu pedalnya keluar dari halaman rumah, melintas melalui pagar besi yang telah dibukakan oleh Pak Udin, yang tak lain adalah ayah kandungnya.

Kayla merapikan rambut yang terlihat berantakan, mengambil sejumput rambut dengan warna hitam legam kemudian diselipkan di belakang daun telinganya.

Ia melihat jam di pergelangan tangan yang nyaris mendekati waktu untuk bel upacara itu berbunyi. Jantungnya berdetak kencang, ia harus berpacu dengan waktu yang terus mengejarnya tanpa lelah. Was-was, rasa yang sekarang menyelimuti dirinya.

Sesaat, semua rasa yang berkecamuk pudar seiring dengan kesadaran Kayla bahwa ini bukanlah hal pertama baginya, toh di sampingnya ada Alvaro. Jadi, untuk apa khawatir? Logika Kay mulai berkata.

"Dasi lo mana, Kak?" Sedikit ada yang janggal dengan pakaian sosok yang hanya berjarak beberapa senti dari posisi duduk Kay.

"Di tas." Jawabnya sekilas.

Kayla menggeser tubuhnya untuk mengambil tas ransel di kursi paling belakang kendaraan super mewah tersebut. Gadis itu tak perlu bersusah-payah mengobrak-abrik isi tas Alvaro untuk mencari dasi berwarna kelabu karena tas hitam ini nyaris kosong, hanya berisi satu buku dan satu pena. Pena yang sudah dapat dipastikan bukan milik Alvaro.

"Ngapain sih lo?" Merasa risih melihat kelakuan adiknya.

"Lo ada dasi tapi kenapa gak lo pake?" Kay terheran.

"Idih, sejak kapan gue pake begituan. Lo tau Kay, kalo gue make dasi, tingkat kegantengan gue turun." Alasan konyol Alvaro sontak mengundang gelak tawa adik serta sopirnya.

"Enggak usah ketawa lo Sep!" Tampak kesal, baginya tidak ada yang salah dengan alasannya barusan. Mengapa kedua orang itu terbahak-bahak? Pikirnya.

QueenshaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang