iv. something unusual

9.6K 2.6K 730
                                        



Yujin mengulas senyum ketika Irene meletakan sepotong daging di atas piringnya.

Daging itu ditusuk dengan garpu, sebelum akhirnya dimasukan ke dalam mulut.

Sungguh, makanan ini merupakan makanan terlezat yang pernah Yujin santap.

Tak dapat dipungkiri bahwa ia merasa senang dan nyaman berada disini walau belum genap satu hari.

Yujin bahkan tak dapat menahan senyumannya.

Dengan mulut yang sibuk mengunyah, gadis itu mengedarkan pandangan untuk sekedar menatap saudara-saudaranya satu-persatu hingga pandangannya berhenti pada Doyoung.

Yujin dapat merasakan tatapan tajam pemuda yang terasa menusuk kulit. Buru-buru ia mengalihkan pandangan.





































Setelah makan malam usai, Jeongwoo segera menumpuk piring dengan cekatan.

Tungkainya melangkah, mebawa tubuh jangkungnya mendekat kearah wastafel.

Yang lain sibuk berbincang selagi menunggu Jeongwoo selsai mencuci piring hingga tak ada satupun yang menyadari bahwa Jiheon bergerak menjauh.

Yujin baru sadar ketika gadis itu sudah berdiri di depan anak tangga.

Ia hanya terdiam, menatap punggung Jiheon yang mulai menjauh menaiki satu persatu anak tangga hingga tubuhnya menghilang.


























"Besok bagian piket siapa?"

"Kak Jiheon." ujar Haruto, seraya memutar ujung garpu di atas meja dengan bosan.

Kerutan halus nampak di dahi Suho ketika tak menemuka presensi putri sulungnya di sekitar.

"Kakak kemana?"

"Gak tau, tadi langsung keatas." ujar Wonyoung, cuek. Kedua tangannya dilipat didepan dada selagi jemari memainkan ujung rambut.

Irene dan Suho saling bertatapan, untuk beberapa alasan suasana yang semula bersahabat mendadak terasa asing.

Sungguh, Yujin tak mengerti.

Seperti ada garis tak kasat mata yang membatasi antara Yujin dan keluarga barunya.



















"Kenapa lagi dia?" gumam Yuna pelan, yang hanya dibalas oleh bahu yang mengendik oleh Wonyoung.

Keheningan yang melanda dalam sekejap itu kini lenyap takala suara lonceng besi berbunyi tiga kali, menandakan bahwa jarum panjang sudah berada diantara angka sembilan dan sepuluh.


Lantunannya membuat seluruh bulu kuduk Yujin berdiri tegak.

Walaupun bunyinya terdengar samar, gelombangnya cukup membuat seluruh tubuh Yujin ikut bergetar.








BRAK

Yujin terkesiap ketika Irene memukul meja dengaj kedua telapak tangan. Wanita itu tersenyum lebar, dengan matanya yang membulat sempurna.

"Oh iya Yujin, kamu kebagian piket setelah Jiheon ya. Hari jum'at."

Irene mencondongkan tubuhnya kearah Yujin seraya menyentuh kedua bahu yang lebih muda. "Cocok banget sama kamu hehehehe, hari jum'at. Iya kan pah?"







PRANG


Doyoung membanting sendok ke atas meja. Walau suaranya tak begitu besar, namun cukup membuat Yujin itu terperanjat.

Pemuda itu bangkit, pergi meninggalkan ruang makan menuju lantai dua.

Lalu pandangan Yujin menatap saudara-saudaranya satu persatu secara bergantian.

Mereka semua menatap Yujin dengan tatapan yang sama anehya dengan tatapan Doyoung padanya.





Demi tuhan, keluarga ini aneh sekali!














Keanehan itu berakhir ketika Suho bangkit dari duduk, beralih menuntun Irene yang kini tengah tertawa agar berdiri.

"Udah malem, sekarang kalian tidur." ujar Suho.

Sosoknya berlalu, memapah sang istri menuju kamar.

Tawa Irene terdengar menggema memenuhi seluruh rumah.





Serius.





Memangnya ada yang lucu?








"Beruntung banget kak, kita selalu berebut loh buat piket hari jum'at." ujar Wonyoung.

"Piket?" tanya Yujin dengan kedua alis yang bertaut. "Rumah segede ini emang gak ada tukang bersih-bersih?"

"Papa gak suka kalo berisik, kak." tukas Jeongwoo yang baru saja menyelesaikan tugasnya.

"Oh begitu.."

Yujin hanya mengangguk pelan. Walau tak sepenuunya paham, gadis itu memilih untuk tak bertanya lebih lanjut.

HOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang