viii. smile flower

7.4K 2.1K 647
                                        


















Sore itu Yujin bersama ketiga adik-nya, Wonyoung, Haruto, dan Jeongwoo, memutuskan untuk bermain ke sungai di belakang rumah. Tidak sungguh bermain, lebih seperti Yujin yang menjaga karena sedari tadi mereka sedang sibuk sendiri.


Jeongwoo sibuk mengumpulkan batu dan kemudian ditumpuk keatas, Wonyoung yang merapihkan kepangan rambut dengan jemari, serta Haruto yang bersandar di batang pohon seraya memainkan kuku-kukunya.


Merasa bosan, Yujin mengambil asal salah satu batu yang berada di tepi sungai. Setelah mengambil posisi, batu itu dilempar dan memantul sebanyak tiga kali di atas air.


Melihat hal itu sontak membuat mata Wonyoung membulat sempurna. "Wih keren keren banget!"


Yujin menahan senyumnya. Ia tak menyangka bahwa memantulkan batu di atas air akan membuat seseorang memuji dirinya seperti itu.


"Ajarin aku!" seru Wonyoung dengan bersemangat. Senyuman lebar terpatri di bibirnya yang ranum seraya menatap Yujin dengan kedua mata yang berbinar.


Aneh.


Yujin tak mengira Wonyoung akan bereaksi seperti itu mengingat sikap bocah itu yang sangat err- tidak sopan.


Dengan sabar Yujin memandu yang lebih muda, memperagakan bagaimana cara melempar yang benar agar batu tersebut dapat memantul di atas air.


"Badannya harus bungkuk, terus lemparnya miring sekitar dua puluh derjat."


Wonyoung mengangguk mengerti. Gadis itu mencoba melemparnya, namun gagal.


Kedua alisnya bertaut, tak suka. Dengan cepat ia kembali meraup batu yang berada di dekat kaki, melempar ke permukaan air. Namun lagi-lagi batu tersebut tenggelam tanpa memantul barang sekalipun.


Geraman halus mencelos dari bibir mungil gadis bersurai sepinggang itu. Semakin banyak batu yang tenggelam, semakin mengerut pula wajahnya.


Karena kesal lantaran tak kunjung berhasil, Wonyoung melempar batu itu ke atas tanah.


Batu itu melambung tinggi hingga akhirnya merobohkan tumpukan batu yang sudah di susun Jeongwoo.


Menyadari bahwa Jeongwoo menatap dengan geram sontak membuat Wonyoung meringis pelan. "Eh kena, sorry."



"Hati-hati dong." ujar Jeongwoo, mengalah. Ia kembali menyusun tumpukan batu dari awal dengan sabar, sesekali melirik Wonyoung penuh waspsda.


Yujin tersenyum tipis saat mengamati kedua kakak beradik itu. Perlahan ia menjauh, menghampiri Haruto yang sedang menyendiri tak jauh dari tempatnya berpijak.


"Boleh duduk disini gak?" tanya Yujin.


Haruto mengangguk pelan, cowok itu menepuk tanah sebelah seraya mengulas senyum manis. "Mau tanya apa emang, kak?" tanya pemuda itu, to the point.


Yujin terkekeh, menggaruk tengkuk yang tak gatal dengan kikuk. Rasanya seperti ketahuan me


"Jiheon sama Doyoung tuh saudara kandung atau gimana?" tanya Yujin penasaran,


Ada jeda sesaat sebelum akhirnya jawaban keluar dari bibir tebal itu. "Kak Jiheon itu anak pertama yang diadopsi mama, terus yang paling tua juga. Jadi semuanya emang bergantung ke kak Jiheon." ujar Haruto. Kepalanya kembali menunduk, kembali memainkan kuku-kukunya.


"Maksudnya bergantung?"


Haruto menatap danau di hadapan, berpikir sejenak. "Anggep aja mama sama papa paling sayang sama kak Jiheon."


Hanya perasaan Yujin saja atau tersirat nada kekecewaan dari setiap bait ucapan adik tirinya? Entahlah, Yujin tidak ingin ambil pusing.


"Jadi wajar aja kalo orang se-galak kak Doyoung sampe yang gak bisa di atur kayak Wonyoung bisa nurut sama kak Jiheon. Omongannya tuh ibarat omongan mama atau papa, jadi harus nurut" lanjut Haruto.


Yujin mengangguk pelan. Fokusnya tak lagi tertuju pada topi pembicaraan seputar Jiheon dan Doyoung, melainkan pada tangan Haruto.


Kedua mata menyipit, memusatkan penglihatan pada jari-jari yang lebih muda. Gadis itu terkejut ketika menyadari Haruto sedang tidak memainkan kukunya.


Pemuda itu tengah mematahkan kaki seekor serangga.


























Dengan kuku-kukunya.






































"Oh iya kak, besok mau aku yang gantiin piket?"


Ujaran Haruto membawa Yujin kembali dari lamunannya sejenak. Gadis itu mengerjapkan kedua mata, berusaha kembali fokus pada topik pembicaraan meski pikiran sempat kacau walau hanya sesaat.


"Eh? Emang boleh?"


"Bilang aja sakit."


Yujin menggaruk tengkuk yang tidak gatal, bingung. Ia tumbuh besar di gereja yang sangat menjunjung tinggi agama. Berbohong bukan merupakan style-nya.


"Tapi kan aku sehat." Yujin berujar dengan tawa yang sangat ketara dipaksa, namun entah mengapa hal itu dapat membuat wajah Haruto yang selalu datar tiba-tiba tersenyum dengan lebar seperti bunga yang bermekaran.


"Yaudah kalo gitu aku bikin sakit ya?"


Detik berikutnya sesuatu yang keras terasa menghantam kepala dengan kencang, membuat Yujin terhuyung ke belakang hingga terjatuh ke dalam danau.


Gadis itu merasa tubuhnya ringan, seiring dengan kesadaran yang perlahan terenggut darinya.



Ya, Haruto baru saja memukulnya dengan sebuah batu.



Samar-samar Yujin dapat melihat ketiganya terdiam, menatap tubuhnya yang mulai tenggelam ke dasar danau tanpa berniat untuk menolong.



Dan perlahan senyum mulai nampak di masibg-masing wajah mereka, dengan mata yang melotot lebar serta gelakan tawa yang terasa mengiris gendang telinga.

HOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang