xvii. a knife and a skin

4.9K 896 176
                                    

long time no c guys. aku ngetik ekpress jadi belom sempet baca ulang, nanti kapan-kapan revisi!!!

selamat membaca💓
















‼️content warning: self harm






























"Kamu ngapain?!!!?" Yujin setengah berteriak. Refleks, Yujin segera merebut pisau yang menancap hingga membuat darah menyembur dari luka yang terbentuk pada betis Yuna.

"Apaan sih?!" Yuna berujar, jelas tak suka. "Gak usah ikut campur, cepet balikin!" ujarnya setengah berteriak. Tangannya menggapai udara, berusaha merebut pisau itu dari Yujin yang sibuk menepis kedua tangan saudara perempuannya itu.

"BALIKIN GAK!"

"GAK MAU!"

Rupanya teriakan balasan Yujin membuat beberapa pasang kepala yang sedang berada di dalam rumah menoleh secara bersamaan ke arah dermaga. Butuh beberapa sekon hingga Jiheon menyadari bahwa kedua saudara perempuannya tengah bertengkar memperebutkan sebilah pisau kala itu.

Kedua ain Jiheon bergerak melirik ke arah Doyoung, seakan mengerti pemuda itu segera menghampiri Irene guna mengalihkan perhatian wanita itu sementara saudara-saudaranya bergegas menuju dermaga.

Jiheon yang tiba lebih dahulu segera berdiri di antara keduanya untuk melerai, dua telapak kemerahan itu menahan tubuh Yuna yang terus menerus mencoba menggapai pisau dari tangan Yujin.

"Yuna stop." gadis itu berucap dengan tegas. Kini telapaknya beralih, menangkup pipi si gadis dengan surai sepinggang itu, memaksa kedua manik Yuna untuk menatap ke arah si sulung. "Mama bakal marah kalo kamu begini lagi. Please dengerin aku."

"Kak." sela Jeongwoo.

"Jangan sekarang, Woo."

"Kak, Haruto liat luka kak Yuna."

Rasanya sesaat jantung Jiheon bagai dipukul oleh besi panas. Tubuhnya jadi gemetar, perlahan atensi beralih pada Haruto yang sedang berdiri menatap lengan Yuna dengan wajah datar sebelum seringaian terbit pada wajahnya.

Wonyoung yang kebetulan tengah berdiri di samping Haruto segera menepuk bahu pemuda itu dua kali, "ruto?" panggilnya.

Namun Haruto tak kunjung menyahut. Sorotnya seakan terkunci oleh belenggu tak kasat mata pada objek merah mengalir di atas permukaan kulit putih itu, seakan dunia telah berubah menjadi warna merah pekat dengan bau anyir, membuat kuku-kutunya mendadak terasa gatal lagi.

Haruto ingin menggaruk-nya.

"Haruto denger gak? Jangan liat!" Wonyoung berteriak, membuat Haruto tersadar dari lamunannya.

Pemuda itu memejamkan mata beberapa sekon dengan senyuman lebar masih terukir di atas bibir. "Telat, udah keliatan hehehe."

Kemudian kelopak ganda-nya kembali dibuka, kali ini lebih lebar daripada sebelumnya. Dengan kencang cowok bertubuh jangkung itu mendorong Wonyoung, mengenyahkan gadis itu dari hadapannya sebelum akhirnya ia berlari menuju Yujin, merebut pisau itu, kemudian melayangkannya pada si nomor empat.

Bagai dua kutub magnet yang berbeda, baik Yujin dan Haruto seakan tak dapat dipisahkan. Haruto yang tertawa terbahak-bahak ketika darah menyiprat di atas wajahnya dan Yuna yang kepalang senang ketika benda tajam itu mengoyak kulitnya.

"Ayok keluarin lagi, aku gak tahan pengen liat." Haruto berteriak dengan nafas yang menggebu. Jiheon, Wonyoung, dan Jeongwoo terus mencoba mendorong tubuh cowok keturunan Jepang itu sementaea Yujin mencoba menarik Yuna untuk menjauh, namun tenaga Haruto lebih kuat ketika sisi-nya yang lain mendominasi. Cengkramannya pada pergelangan kaki Yuna tak dapat dilepas, bahkan setelah ditarik oleh empat orang sekaligus.

Wonyoung bahkan nampak ketakutan. Gadis itu menangis separuh menyumpah, frustasi dengan keadaan yang memaksanya ikut andil dalam situasi seperti ini.

Disisi lain Yuna masih terkikik geli. Jeongwoo harus mengalihkan pandangannya dari betis Yuna karena jika tidak ia yakin akan muntah nantinya.

"Hehehe ayok lebih dalem lagi hehehe!" teriak Yuna, kegirangan.

Tak punya pilihan lain, Jiheon segera berlari ke klinik keluarga yang tak jauh dari dermaga. Jemarinya yang bergetar merogoh obat penenang dan suntikan yang ada di atas rak sebelum akhirnya berlari kembali ke dermaga.

Ketika sampai disana, Yuna sudah tak sadarkan diri. Tanpa berpikir dua kali, Jiheon segera menusukan jarum itu ke punggung Haruto. Tak perlu waktu lama hingga pemuda itu akhirnya tubuhnya terkulai di atas tanah.

"Curang." guman cowok itu sebelum kesadarannya hilang seketika.




































Doyoung selalu tertarik untuk menjadi dokter. Ia selalu berusaha menjadi anak yang patuh dan karena itu, Suho mengajarinya beberapa hal seputar medis termasuk cara menjahit luka tusuk.

Sementara Doyoung sibuk menjahit luka Yuna di dalam klinik, Jiheon, Yujin, Wonyoung, dan Jeongwoo memilih untuk berdiri di luar ruangan sambil menatap Doyoung melakukan pekerjaannya dari balik jendela.

"Ini bukan pertama kalinya." Jiheon bersuara. "Mereka emang gak boleh ditinggal berduaan, Haruto itu punya kecendrungan suka menyakiti sementara Yuna suka disakiti."

Yujin tidak menyahut. Pandangannya masih terpaut pada jemari lincah Doyoung, yang dibalut oleh sarung tangan biru terang, tengah mengikat luka yang menganga dengan benang bedah.

"Maksudnya yang satu gila dan yang satu sinting." Wonyoung memperjelas.

Jiheon menghela nafas dalam. Gadis itu berbalik, menatap ketiga adiknya dengan mata sayu. Untuk beberapa alasan nafasnya terdengar berat, namun Yujin tidak bertanya lebih lanjut.

"Kalian pulang ke rumah, ya? Wonyoung sama Jeongwoo tolong alihin perhatian mama sama papa, Yujin tolong jagain Haruto. Seharusnya sebentar lagi dia bangun."

Tak ada sahutan atau bantahan. Ketiganya sama-sama paham dan menerima tugas masing-masing. Seakan perkataan Jiheon merupakan ucapan final yang tak dapat diganggu gugat.








































Yujin meletakan baskom berisi air dan kain di atas nakas. Kain itu diperas, kemudian diusap ke atas permukaan kulit wajah untuk menghapus jejak darah yang ada disana.

Haruto masih terlelap, wajahnya nampak tenang tanpa beban. Jika seperti ini Yujin sendiri tidak akan percaya bahwa adik laki-lakinya dapat bertingkah menyeramkan seperti itu jika tidak melihat secara langsung.

"Kak Yujin gak takut sama aku?" tiba-tiba saja Haruto berujar  datar, masih dengan kedua mata yang tertutup rapat.

"Takut." seru Yujin. Gadis itu meraih pergelangan tangan si nomor lima, membersihkan setiap noda darah yang ada di permukaan kulit pemuda itu dengan teliti. "Tapi kamu kotor, harus dibersihin."

Tuturan Yujin berikutnya sukses membuat kedua mata Haruto terbuka, memusatkan atensi pada kakak perempuannya itu.

"Jangan begitu lagi, bahaya."

Mendengar seseorang mengkhawatirkan dirinya membuat senyuman tipis terulas di atas bibir. Haruto mengalihkan pandangan, menatap langit-langit kamar seraya berucap, "kak Yuna yang mancing, aku udah nahan tapi susah. Rasanya seneng banget bisa liat kulitnya kebuka sampe darahnya ngucur gitu, apalagi kalo sampe tulangnya keliatan gatel banget pengen aku garuk."

"Orang gila." ujar Yujin. Gadis itu tersenyum hingga lesung pipi nampak di kedua pipi, balas menatap Haruto tak kalah datar. "Di tempatku kalo begitu disebutnya orang gila."

Tuturannya nampak begitu ambigu di telinga Haruto, namun cowok itu diam saja tak berani menjawab. Alih-alih menyahut, ia malah sibuk memperhatikan Yujin yang sedang membersihkan darah dari tubuhnya hingga bersih tak bersisa.

Setelah merasa tak lagi ada noda, gadis itu bangkit membawa seraya membawa baskom berisi air kotor, kemudian berjalan menuju ambang pintu.

Baru satu detik semenjak kaki memijak ke luar kamar, tubuh Yujin kembali berbalik. Gadis itu menunjuk nampan berisi makanan dan jus jeruk di atas nakas dengan dagu.

"Mama siapin makan malam, jangan lupa diabisin."

HOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang