xi. spiritual power comes by killing your own totem

7.5K 1.9K 501
                                    

"Yuna."

"Ya?"

"Aku penasaran soal topeng."

Yuna yang semula tengah menusuk jarum rajut di atas paha dengan bosan beralih menatap Yujin yang baru saja tiba di hadapan dengan senyuman tipis. Telapak menepuk ruang kosong di sebelah dengan pelan.

"Sini duduk."

Tanpa berpikir panjang Yujin duduk di atas sofa. Tubuhnya dicondongkan ke kanan, menghadap kearah Yuna, bersiap untuk menerima penjelasan atas pertanyaannya barusan.

"Pernah denger soal animal totem?" tanya Yuna yang langsung dibalas gelengan oleh si nomor dua.

"Setiap manusia itu punya hewan spiritual yang berbeda, kalo sama artinya mereka satu nenek moyang. Kayak Haru dan Wonyoung, makanya mereka kembar."

Jemari gadis itu bergerak menyambar gelas berisi jus jeruk di atas meja, meneguknya dua kali sebelum kembali menjelaskan.

"Menurut papa totem itu kuno banget, gak masuk akal kalo kekuatan spiritual dibangun sama makhluk yang derajatnya lebih rendah daripada manusia."

Yuna menjeda perkataan beberapa sekon, untuk memastikan bahwa tak ada siapapun yang ada di sekitar.

"Kamu tau kan kalo agama itu ada banyak di dunia?"

Yujin mengangguk pelan. "Iya."

"Menurut agama yang kami yakini, hewan spiritual itu mengekang kebebasan jiwa kita makanya  dijadiin sebagai persembahan."

Kerutan halus nampak di dahi ketika mendengar kata terakhir dari penuturan si nomor empat yang entah mengapa terasa begitu mengganjal.

"Persembahan?" ulang Yujin, sekedar memastikan bahwa ia tidak salah dengar.

Yuna mengulas senyum tipis yang lagi-lagi membuat Yujin tak bisa menebak apa yang ada di dalam pikirannya itu.

"Iya, buat Tuan kami." tukas Yuna. "Topeng cuma sebagai simbolis, tanda bahwa spirit kita udah bebas."

Tentu saja kepercayaan itu merupakan hak setiap individu yang berada di muka bumi. Namun tetap saja rasanya aneh.

Sebagai penganut agama yang tergolong sebagai agama mayoritas, Yujin merasa begitu asing dengan hal-hal yang dilakukan oleh penganut agama minoritas.

Mungkin karena sejak kecil Yujin tinggal di gereja merupakan salah satu alasan mengapa pemahaman terhadap agama lain agak sulit dipahami.

"Kamu percaya?" tanya Yujin dengan hati-hati.

"Awalnya enggak, soalnya dulu aku budha. Ajaran ini bertentangan sama yang aku tau."

Sekali lagi jus jeruk itu diteguk seusai kalimat dalam tuturannya berakhir.

Atensinya kini beralih, berpusat pada Yujin yang nampak begitu kebingungan. Perlahan telapak Yuna bergerak, mengusap bahu si nomor dua dengan lembut.

"Emang butuh waktu, tapi kamu harus inget kalo gak ada yang bisa ngertiin kita selain papa dan mama. Tolong jangan lupain hal itu."




































Malam itu Yujin kembali terjaga ketika merasakan sesuatu yang tajam mengiris telapak kaki.

Hanya gelap menyapa pandangan takala kali pertama dwinetra bulatnya terbuka. Butuh beberapa sekon agar pupil dapat menyesuaikan dalam kegelapan hingga Yujin menyadari dirinya tengah berada di area perkebunan jeruk di belakang rumah.

Oh, jeruk ini lagi.

Jeruk-nya Doyoung.

Jujur saja, Yujin penasaran mengapa cowok itu begitu ngotot bahwa ia tidak boleh menyantap jeruk.

Maksudnya, keluarga mama papa memiliki perkebunan jeruk yang sangat luas. Memangnya dia bakal mati kelaparan kalau Yujin memakan satu saja?!

"Dasar medit." gumam gadis itu pelan.

Jemarinya terangkat, memetik satu buah jeruk yang ada tepat di atas kepala kemudian memasukannya ke dalam saku baju tidur sebelum akhirnya kembali masuk ke dalam rumah.




























Jam besar di ruang tamu menunjukan pukul empat pagi dan rumah terasa lebih dingin daripada biasanya.

Seraya mengusap mata, gadis dengan potongan pendek itu menyusuri tiap anak tangga, membawa tubuhnya pergi ke lantai dua dengan gontai.

"Yujin."

Mendengar namanya dipanggil sontak membuat Yujin mengedarkan pandangan, mencari asal suara dan mendapati Jiheon yang tengah berdiri di ambang pintu seraya memainkan kuku dengan gundah.

"Sini sebentar?"

"Ji, mau nanya kenapa Doyoung larang aku makan jeruk sih? Yuna aja boleh masa aku enggak?" tanya Yujin, to the point.

Alih-alih menjawab, Jiheon malah balik bertanya. "Kamu mau keluar dari sini?" ujarnya pelan hampir tak terdengar.

Kerutan halus nampak di dahi atas respon dari tuturan si nomor satu. "Hah? Gak mau, sekarang kan ini rumah aku juga."

"Yujin, semua ini gak seperti yang kamu kira. Orang-orang disini itu gak waras, tolong jangan lengah."

"Kalo kamu gak suka sama aku ngomong aja, Ji. Jangan begini."

Jiheon menghela nafas. Penjelasan yang sudah berada diujung lidah ditahan, memilih untuk tidak menjelaskan karena rasanya percuma.

Jiheon dapat melihat dirinya di masa lalu pada Yujin. Gadis itu harus melihatnya sendiri.

"Kamu bakal ngerti besok, waktu piket." Jiheon menepuk bahu Yujin sekali, mendekatkan bibir di daun telinga seraya berbisik pelan. "Setelah itu kamu bisa jawab pertanyaan aku lagi. Mau tetep tinggal disini atau kabur bareng."

HOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang