6 | The Moment of Truth

544 90 53
                                    

CARNELIAN MEMUTAR kenop pintu bersepuh perak dengan batu-batu mulia onyx menjadi perhiasan di tepiannya. Pintu itu menimbulkan suara berderit ketika didorong terbuka. Sembari melangkahkan kaki ke dalam ruang, Carnelian melirik engsel pintu yang mulai berkarat, nanti dia akan menyuruh salah satu pekerja untuk memperbaikinya.

Pemuda bersurai jingga itu melangkahkan kaki ke dalam ruang yang ditata sedemikian rupa menjadi sebuah taman. Taman berlian, taman permata. Ada air terjun kecil di sisi dinding, airnya mengalir dari saluran air yang berada di dalam tembok, dan merembes keluar di bagian yang dilukis laksana air terjun sungguhan. Saluran selebar setengah lengan dengan tepian yang disusun bebatuan kali yang terpoles melingkari ruangan itu layaknya anak-anak sungai. Pepohonan kecil tumbuh tersebar, membuat ruangan ini lebih tampak seperti taman ketimbang pemakaman. Dasar ruangan itu adalah tanah humus yang ditumbuhi rerumputan hijau segar yang berembun. Ada jalan setapak dari bebatuan yang mengantarkan menuju sisi-sisi ruang di sana. Di dinding sebelah selatan , terjajar rak-rak berisi toples-toples setinggi jengkal jemari. Masing-masing bertatahkan perhiasan yang menjadi khas para pemiliknya ketika hidup.

Ada sebuah altar kecil yang terbuat dari batu granit di tengah ruangan. Di atasnya terdapat kubus berwarna hitam yang berpendapar cahaya magenta lembut. Kubus itu dipesan langsung dari tambang intan hitam, tambang paling dalam yang ada di bintang penuh perhiasan itu. Batuan paling keras di semesta, tempat yang sempurna untuk menyimpan intisari peradaban Alba.

Carnelian mendekat ke bagian dari rak yang paling ujung, ke tempat stoples yang paling baru diletakkan di sana, di sebelah rak-rak yang masih kosong. Wadah abu kremasi itu terbuat dari kristal berwarna biru muda lembut dengan sebuah batu aquamarine seukuran kuku tersemat di bagian depannya. Carnelian menatap foto berbingkai emas yang ada di belakanya, lukisan seorang wanita cantik yang begitu ia rindukan.

"Ibu ...."

Carnelian menautkan kedua jemari, memejamkan kedua matanya, lantas berdoa.

"Aku akan melakukannya, maafkan aku, Ibu, aku tidak bisa menjadi putra seperti yang kau inginkan."

Suara langkah kaki terdengar. Carnelian menoleh.

Hanya ada satu orang yang ia perbolehkan memasuki ruangan ini. Hanya ada satu orang yang Carnelian percayai untuk ia beri kunci masuk ruangan, karena pemuda itu cukup sering menghabiskan waktu di sini, di makam para raja terdahulu sekaligus tempat perlindungan teraman jiwa kehidupan Alba.

"Yang Mulia," Sosok bersurai langit itu berlutut tatkala Carnelian berbalik.

"Ya, Lazu," Carnelian mengangguk, "berdirilah. Ada apa menemuiku?"

Kesatria bertopeng hitam itu berdiri. Ekspresinya tidak terbaca, tetapi Carnelian bisa tahu bahwa kabar yang akan ia dengar pastilah bukan sesuatu yang menyenangkan.

"Ketika penyihir Sirena menyerang gedung pertunjukan Eterno, dia berada di sana." Pupil Carnelian melebar, tetapi ia tetap mempertahankan ekspresinya yang mengeras sembari menunggu Lazu selesai bicara. "Mata-mata kita di Burst Roar sudah memastikan itu. Dia pergi menonton pertunjukan terakhir Hope dan sepertinya ... dia terkena serangan itu, Yang Mulia."

Carnelian menarik kalung yang tergantung di lehernya. Ada dua liontin berlian, masing-masing berwarna biru tua dan jingga yang tersemat di sana. Keduanya masih berpendar, meski redup, namun tidak mati.

Tanpa sadar, Carnelian menghela napas lega. "Dia masih hidup."

Lazu terhentak, "Tetapi dia tidak ditemukan di mana pun."

"Hubungi orang-orang kita di Sirena," titah sang pemilik takhta Alba sambil mengganggam kedua liontin itu, "pastikan si penyihir Sirena mendapat balasan dari kesalahan yang ia lakukan. Tekankan perjanjian kita, jangan beri celah."

Throne of StellarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang