#07

2.2K 319 77
                                    

Ten dan dokter sama-sama memandang hasil ronsen. "Bagian ini, ada masalah, kalau kita melakukan operasi pengangkatan janin resikonya kau tidak akan bisa hamil lagi, atau lebih parahnya operasi ini tidak akan berhasil dan bisa membahayakan nyawamu." Jelas Dokter sambil menunjuk-nunjuk hasil ronsen tersebut. Ten menunduk. Ia menghela napas berat.

"Baiklah Dokter, terima kasih." ucapnya sebelum meninggalkan ruangan. Dengan langkah gontai Ten menyusuri koridor rumah sakit. Di depannya sepasang orang tua muda di mana sang istri sedang menggendong bayi baru lahir. Ten sempat mencuri percakapan mereka ketika berselisihan.

"Dia sangat cantik bukan?" Sang istri menimang-nimang anaknya. Sang suami menengok ke dalam gendongan lalu tersenyum bahagia.

"Dia cantik sepertimu." jawab sang suami sambil mengecup pipi sang istri. Sang istri membalasnya dengan senyuman bahagia.

Sungguh, lagi-lagi Ten harus merasakan gelitikan rasa tidak nyaman itu. Pasangan itu terlihat sangat bahagia dengan kehadiran bayi mereka. Kenapa ia tidak bisa seperti itu? Kenapa ia tidak bisa bahagia dengan kehadiran bayinya?

"Bagaimana? Apa kata Dokter?" suara Johnny menyadarkan lamunannya. Tanpa sadar Ten sudah kembali masuk ke dalam mobil. Johnny menunggunya sejak tadi di sini.

"Tidak bisa, terlalu berbahaya." jawab Ten dingin. Johnny mendecak kesal. Ia memegang setirnya kuat-kuat.

"Cari dokter lain." katanya memaksa. Ten mendengus.

"Semua dokter akan mengatakan hal yang sama." Sahut Ten.

"Kalau begitu, cari cara lain, dengan obat-obatan misalnya?" ucap Johnny. Ten memalingkan wajahnya ke jendela luar. Kemudian tertawa meremehkan.

"Tidak usah, aku tidak ingin melakukannya." jawab Ten sambil memandang seorang ibu di halaman rumah sakit tengah menimang anaknya. Ten mengelus perutnya.

"Apa? Ten, kita sudah bicarakan ini, Aku. Tidak. Mau. Punya. Anak. Kalau kau menikah, kita menikah sekarang tapi tidak dengan anak." Johnny menekankan. Ten balik dan menatapnya nyalang.

"Tapi aku mau! Aku mau punya anak! Aku mau membesarkannya!" sahut Ten.

"Ten! Apa kau paham? Turuti saja perintahku atau kalau kau lebih memilih anak itu, tinggalkan aku sekarang." titah Johnny lagi balas memplototinya. Ten menggertakkan gigi.

"Baik, akan ku lakukan," Ten melepas safety beltnya dan keluar dari mobil. "Karena aku tidak mau melahirkan anak yang memiliki sifat egois sepertimu, kita berakhir, jangan pernah hubungi aku lagi." Untuk kedua kalinya Johnny mendengar deguman keras dari pintu mobilnya.

. . .

"Bingeul Bingeul round~ What comes around~" Taeyong bersenandung sambil mengemudikan mobilnya. Ia sengaja menyalakan musik favoritnya keras-keras. Seperti biasa, Taeyong menjalani hari-harinya dengan bahagia. Meskipun ia sempat bersedih setelah hari pernikahan Doyoung waktu itu, Taeyong berusaha untuk bangkit. Taeyong meyakinkan dirinya bahwa ia dan Ten memang tidak ditakdirkan untuk bersama sebagai kekasih.

Ia juga meyakinkan dirinya bahwa ia dan Ten berteman saja sudah cukup. Apalagi profesi mereka membuat keduanya akan sering bertemu. Selama mereka masih menjalin kerja sama, Taeyong akan sering bolak balik butik Ten dan bertemu dengan Ten untuk membicarakan koleksi seperti apa yang diinginkannya.

Ketika mobilnya mendekati sebuah halte, Taeyong melihat sosok yang tidak asing. Ia mengerutkan kening juga memicitkan mata untuk melihatnya dengan jelas. "Ten?" gumamnya. Kalau tidak salah lihat, pria bersweter kuning dan celana pendek putih itu adalah Ten. Ten tampak duduk termangu di halte itu. Tatapannya kosong. Semakin Taeyong mendekat dengan halte itu terlihat lebih jelas wajah sembab Ten.

UndecidedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang