14. Bukan materi

5 1 0
                                    

Biar lebih greget, lagunya jangan lupa di-play guysss. Happy reading~

-------------------------

Joana memasuki kelas dengan langkah ringan, sesekali bersiul menyanyikan lagu yang akhir-akhir ini menemani malamnya.

"Iam so tired love song, tired love song, just wanna go home, wanna go home ooohhhh."

Joana meletakkan tasnya di atas meja. Memperhatikan seisi kelas yang masih kosong. "Tumben gue dateng cepet," kekeh Joana pelan. "Efek jatuh cinta kali...." Sekali lagi, Joana cekikikan.

Cewek yang hari ini tampil dengan rambut diikat kuda itu duduk seraya mengeluarkan buku lalu meletakkannya ke atas meja. Tiba-tiba pergerakan muncul dari kursi di sebelahnya.

Joana mengernyit melihat Ria yang hari ini memakai masker berwarna hijau tersebut. Cewek itu tidak tahan untuk bertanya. "Tumben pake masker."

Ria meletakkan tas di atas meja dengan setengah menbanting. "Untung lo dateng lebih awal, jadi gue bisa bebas berekspresi di depan lo tanpa takut ada yang ngeliat."

Joana mengerutkan kening mendengar celotehan Ria. Sama sekali tidak mengerti dengan maksud cewek itu. Dan, begitu Ria membuka maskernya Joana tidak tahan untuk terkejut.

"Muka lo kenapa?!"

Hampir sisi wajah Ria memiliki luka kebiru-biruan. Bibir atas gadis itu bahkan bengkak. Joana kaget, tidak percaya dengan penglihatannya saat ini.

"Ini kerjaan cowok sialan itu."

"Siapa sih?!" Joana membuka tas dengan cepat lalu mengeluarkan hape dari sana. Cewek itu sedang browsing perihal cara untuk menghilangkan luka lebam.

"Brian. Cowok sialan itu emang keparat."

Mata Joana membelalak. Cewek itu tidak sadar jika dia menjatuhkan hapenya sendiri.

"Apa?" lirih Joana pilu.

"Dia kemaren booking gue, kita ketemuan di salah satu hotel bintang lima. Setelah gue kasik semuanya ke cowok sialan itu, dia malah ninggalin gue gitu aja tanpa mau bayar sepeser pun." Ria menggeleng frustasi, "dan lo tau alasannya apa? Dia bilang karna gue maksa dia buat make kondom."

"Hah?!"

"Gue ngelawan tapi dia malah bikin muka gue babak belur. Sialan! Gue bener-bener pengen bunuh itu cowok."

Joana menganga mendengar penuturan Ria. Demi apapun, Ria adalah sahabatnya. Joana tentu sangat marah mendengar apa yang Brian lakukan terhadap cewek itu tapi disisi lain, Ria juga bersalah.

"Gue kira lo udah berubah, Ri. Ternyata lo masih bergelut sama pekerjaan haram itu? For godness sake! Mikir gak sih kalo lo juga salah disini?! Lo tau pekerjaan itu gak akan pernah jadi menguntungkan tapi lo masih tetep ngelakuin itu."

"Gue gak punya pilihan!"

Joana menggeleng sarkas. Matanya menatap nyalang Ria. "Lo punya pilihan tapi sayangnya otak lo terlalu dangkal buat nyadarin itu."

"Ya, terus gue harus gimana sekarang?!" Ria mengusap wajah frustasi. Matanya mulai berair. Cewek itu tampak stres. "Sekarang bukan saatnya lo nyalahin gue, Jo. Gue butuh bantuan lo. Gue lagi kesusahan."

Joana menghela nafas. Cewek itu memeluk Ria, membiarkan cewek bule itu menangis di bahunya. "Apa yang bisa gue bantu?"

"Hidup gue udah hancur. Rumah bakal disita, adek gue masuk RS, gue nunggak pembayaran sekolah. Gue bingung. Kemana lagi gue harus dapet uang."

Ria benar-benar menangis di bahu Joana. Cewek itu tampak rapuh. Joana mengusap punggung gadis itu pelan. Mencoba menenangkan.

"Sabar, ya. Gue pasti bakal bantu lo. Lo tenang aja."

FALLINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang