Berjalan menyusuri pinggiran kota, pikiranku menerawang. Terhenyak, fakta kian menyeruak.
"Kenyataannya, aku bukan satu-satunya milikmu," batinku saat itu.
Kadang aku menyadari, hanya aku yang berjuang. Tidak denganmu.
Dadaku bergemuruh hebat, bersamaan turunnya hujan lebat.Aku menyesal begitu berpikir bahwa diriku satu-satunya. Namun nyatanya, yang bisa aku lakukan hanyalah menatap cakrawala yang tampak tertawa.
Hidupku telah mati. Pun lara seakan tiada henti.
"Aku rindu ibu, teman-temanku, juga suasana itu," gumamku. "Tapi itu jutaan tahun yang lalu."[]
YOU ARE READING
Niskala
PoetrySekiranya tulisan ini tanpa makna, semoga saja ketika kau membacanya; bergetarlah atma yang menyatu dalam jiwa.