Kuhirup udara bebas sedikit lebih leluasa dibanding berada di beberapa jam sebelumnya. Sepasang kelopak mataku sedikit demi sedikit terpisah dari rekat yang menempel alami, menangkap teduhnya sorot lampu belajar yang menjadi satu-satunya penerangan di dalam kamarku.
Sudah berapa lama aku terbaring di atas ranjang? Bukankah tadi aku masih di dalam mobil bersama Kak Tarra? Astaghfirullah, aku juga tidak menjalani shalat Ashar dan Maghrib saat jarum jam dinding menunjukkan angka pukul delapan malam.
Kulirik dua orang di bagian kananku saat ini, terdapat dua manusia saling bertumpu di tepi ranjang tengah memandangku lega dan bahagia.
Kak Audi dan Kak Tarra. Senyum mereka melembutkan hatiku dan menularkan inginku untuk menggenggam salah satu tangan mereka. Melihatku bertindak, Kak Audi kemudian berinisiatif mengambil tangan kananku untuk dibawa dalam dekapan hangatnya, membantuku duduk tersadar dari rasa pusing yang menyerang.
"Bisa bangun?"
Aku mengangguk lemah, dua orang itu lalu mengucap syukur dengan kepercayaannya masing-masing.
Segelas air putih dari tangan Kak Audi kuambil dan kuteguk isinya kala laki-laki itu memegang pipiku cemas.
"Kakak bakal nyesel seumur hidup kalau Tarra nggak jemput kamu tadi siang. Tarra sengaja nggak bawa kamu ke rumah sakit karena kalian udah jalan pulang ke rumah. Kamu tahu? Kakak sampe lemes waktu Tarra bilang kamu pingsan, Dek."
Kupandangi wajah teduh Kak Tarra yang berdiri di tepi ranjang, mencium tangan si kakak ganteng itu (menurut Intan) sebagai tanda hormat dari adik sahabatnya itu.
"Liana ngerepotin Kak Tarra, ya? Maaf.. dan terima kasih.. udah mau nganter ke rumah."
"Nggak apa-apa, Dek. Udah enakan?"
"Udah, Kak. Oh iya, Kak Tarra atau Kak Audi yang gendong Liana sampe kamar?"
Dua orang itu mendadak terlihat aneh, mereka saling berbalas lirikan mata tak tentu arah.
"Bukan kita berdua, Dek." Jawab Kak Tarra agak gugup.
"Lah, terus Liana jalan sendiri gitu ke kamar? Tahu-tahu langsung tidur aja?!" Seruku tak percaya.
"Udah.. habisin dulu nih minumnya," pinta Kak Audi.
Kuhabiskan air di dalam gelas itu dan membiarkan Kak Tarra mengambilnya untuk diletakkan di atas meja belajarku. Kugigit bibir bagian dalamku, merasakan buncahan ragu untuk jujur atau tidak mengenai apa yang kulakukan tadi siang kepada Kak Audi.
Kamu mau jujur, Liana? Kak Audi dan Kak Tarra saja tidak mengatakan siapa yang sudah menggendongmu dari mobil sampai kamar.
Pasti ada beef bacon dan mozzarella cheese dalam chicken cordon bleu. Mau menutupi soal apa dariku? Yakin bisa?
"Liana, Kakak ambilin makan ya, kamu malam ini belum makan kan?" Kak Tarra membelai kepalaku ringan.
"Gue aja, Tar."
Kak Audi yang hendak bangkit berdiri, tertahan oleh tangan Kak Tarra.
"Liana butuh lo, Di. Biar gue aja."
Suara pintu kamar ditutup menyebabkanku dan Kak Audi terjebak dalam kesunyian aneh, karena aku bersikukuh membisu sejak tadi.
"Dek, kamu percaya sama Kakak?"
Pandangan kami berdua saling tertuju dalam diam, tak ada suara televisi di ruang tamu, hanya terdengar Kak Tarra setengah sibuk bolak-balik di dapur dan ruang makan.
"Kamu sehat, Liana. Badanmu nggak panas, nggak flu atau batuk juga, tapi Tarra bilang kalau sepanjang jalan pulang tadi kamu menangis. Kenapa, Dek?" Kak Audi memegang pundakku, membelainya lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
ASMARADANA ✔️
FanfictionIni adalah kisah Daffin dan Liana yang terpisahkan oleh hubungan jarak jauh antara Jakarta - London, dan berjuang ketika semua orang menolak untuk mendukung mereka agar bisa bersatu. Daffin yang dikenal sebagai dosen di salah satu universitas negeri...