7 - Senja Merona

2.2K 268 35
                                    

"Lia, ini vietnamese drip buat pesanan tamu di meja bar. Tahu kan tuh, cowok yang pake baju putih?"

"Oh, iya. Siap, Kak."

Terhitung sudah tiga bulan lamanya aku menjadi junior barista di sebuah tempat harapan baru bernama Candramawa milik Ibu Sunny, tante dari Mark. Dan selama itu juga, Kak Audi masih menganggapku sebagai mahasiswa. Mengantarku sampai ke depan gedung fakultas setiap jadwal shift-ku pagi atau siang hari, dan setiap kali mobilnya telah meninggalkan area kampus, maka aku akan meminta Intan atau Mark untuk diantarkan lagi ke kafe. Lebih sering lagi kugunakan transportasi ojek online dan disambung dengan kereta dari Depok Baru sampai Tanjung Barat. Kebetulan letak coffee shop cukup dicapai dengan berjalan kaki selama sepuluh menit dari stasiun.

Jika mau tak mau harus pulang malam karena evening shift, aku sering dijemput Kak Audi di depan gang perumahan, tepatnya di bawah halte. Beralasan tugas kelompok di rumah Intan, tanpa ada rasa curiga sedikit pun dalam diri Kak Audi. Untunglah Intan dan Mark bisa diajak kerjasama dalam hal ini.

Aku sendiri tidak jadi berhenti kuliah, melainkan mengambil cuti semester. Di mana pada saat semester pendek nanti, aku harus bekerja keras membagi waktu untuk mengejar ketertinggalan materi dan melayani pelanggan di kafe.

Soal uang, aku bersyukur gaji pegawai full time dari Ibu Sunny selama tiga bulan ini lebih dari cukup untuk membayar SKS-ku di semester pendek nanti.

Tamu baru dan pelanggan tetap juga silih berganti datang, melancarkan rezeki kami. Kadang-kadang, di hari bertanggal merah dan weekend, aku merasakan memiliki tambahan uang dari pemberian pelanggan tetap itu. Di mana saat hari libur kerja nanti, Intan dan Mark meminta jatah curahan tip itu berupa mie ayam bakso dekat rumah. Aku pun ikut membelikannya juga untuk Kak Audi. Senangnya, mereka bertiga tak pernah menolak.

Allah Maha Besar dengan menjawab jawaban atas segala doaku di seluruh waktu termasuk tengah malam di saat semua orang terlelap. Bisa kuliah di program internasional kampus negeri pun, aku masih mendapat keringanan biaya untuk cuti dan mengikuti semester pendek. Mengenai SPP, aku sudah mengatakan pada Kak Audi, dan uang tabungan untuk cicilan bangunan restoran tiga bulan ke depan, diikhlaskan setengahnya untukku.

Di satu sisi, aku senang tidak banyak merepotkan Kak Audi lagi. Karena sebagian masalah telah terurai, dan aku bisa membayar SKS dengan kemampuanku sendiri. Tapi tetap saja, dia belum tahu adiknya bertindak di luar nalar seperti ini.

"Li," Kak Hangga menghampiriku setelah kuletakkan tray di dekat meja kasir. "Lo kapan balik ngampus lagi?"

"Bulan depan udah masuk SP kok, Kak."

"Tapi lo masih tetep di sini kan?" Kak Hangga menyeringai lebar. "Soal jadwal, nanti biar gue sama Rose yang atur supaya lo tetep bisa kuliah dan nggak keganggu sama kerjaan."

"Kakak tenang aja, selama kakakku belum tahu.. dan kalau pun tahu masih dibolehkan, aku belum pergi kok."

"Sayang banget, Liana. Lu punya bakat di bidang ini. Bener ya kata orang, apa yang dipelajari di kuliah belum tentu sesuai di lapangan."

"Hahahah! Kak Hangga bisa aja. Kan kalau ada tamu orang asing dan Kak Rose nggak ada di tempat, ilmu kuliahku kepake juga."

"Duh, iya deh. Adek satu ini emang pinter." Kak Hangga mengeratkan kuncian leherku dengan tangannya gemas, lalu kembali bekerja saat seorang tamu datang memesan hot green tea latte untuk diminum di tempat.

Masalah pribadiku sudah tersebar ke semua pegawai berkat mulut receh seorang Mark untuk Ibu Sunny, plus curhat colongan Intan sebagai modus operandi PDKT kepada Kak Hangga dan Kak Deo, yang diteruskan sampai ke telinga Kak Rose dan Kak Wendy. Mereka juga tahu bahwa aku adalah anak ayah dan ibuku yang sempat viral di acara berita se-Indonesia, juga adik seorang pemilik restoran fine dining ternama di Jakarta.

ASMARADANA ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang