Terlahir sebagai anak perempuan satu-satunya terakhir di keluarga, ibu memberiku nama Liana. Liana Asmaradana. Dan sekarang, aku melanjutkan kuliah di jurusan Sastra Inggris UI semester 2 selepas lulus dari SOPA setahun yang lalu.
Aku tinggal di sebuah rumah sederhana berisi dua kamar, satu dapur, sebuah ruang keluarga yang tergabung dengan ruang tamu, berikut kamar mandi, halaman, dan garasi berpenghuni sebuah Yaris silver sebagai transportasi kakakku, Audi, untuk bekerja. Kami tinggal berdua pasca meninggalnya orang tuaku beberapa bulan lalu. Mereka memilih untuk bunuh diri, meninggalkanku dan Kak Audi berupa kesedihan mendalam berikut segenap hutang. Tak ada lagi harta tersisa, selain aset rumah dan kendaraan hasil jerih payah kakakku sekarang.
Dulu, bisa dibilang hidupku serba ada dan diliputi kemewahan. Namun, korupsi dan penipuan telah membutakan mata serta hati ayah dan ibuku, menyebabkan takdirku dan Kak Audi berbalik 180 derajat. Kini tak ada lagi seorang Liana, cewek populer di kampus berpredikat anak CEO pabrik petrokimia dan mantan menteri ekonomi negara. Mereka hanya mengenal Liana, adik seorang koki dan pemilik restoran di Jakarta. Tapi tak mengapa, yang penting aku dan Kak Audi tetap bertahan menjalani hidup.
Kak Audi cukup menyayangiku. Ia berperan besar dalam memulihkanku lahir batin untuk bisa menerima kepergian mendadak orang tua kami ke haribaan Tuhan. Ia rela membiayai kuliahku, dan bahkan berjanji untuk tidak menikah dulu sampai aku memiliki penghasilan sendiri. Padahal kurang sempurna apa dia... ganteng, menarik, baik hati, sopan santun dan wibawanya terjaga, rajin ibadah pula. Aku malah ingin dia segera berkeluarga, memberiku kakak ipar cantik dan keponakan yang lucu.
Terlepas betapa beratnya masalah keluarga yang harus kujalani di semester kemarin, aku bersyukur ada sahabatku semasa SMA yang juga kuliah di tempat yang sama denganku.
Intan, si wakil ketua BEM fakultas.
Baik Intan dan aku dulu sering digadang-gadang menjadi campus' top model karena fisik kami, tapi kami sama sekali tak menggubris dan tetap berusaha membumi. Bahkan masih ada beberapa mahasiswa yang heran, kalau seorang Liana dan Intan mau menikmati mie ayam FIB bersama teman-teman lain di malam hari.
Soal kehidupan pribadi mengenai perasaanku terhadap lawan jenis? Entahlah. Pertama dan terakhir aku berpacaran di tahun senior SOPA, itu hanya bagian dari akting dalam film pendek sebagai tugas akhir. Jadi, jangan harap ada perasaan tersemat di dalamnya.
Hal ini sendiri berkaitan dengan nama Asmaradana dari ibu, yang merupakan jenis tembang populer dalam masyarakat Jawa. Berasal dari dua kata yaitu asmara (cinta) dan dahana (api). Asmaradana diartikan sebagai cinta yang sedang bergelora. Bisa ungkapan hati yang sedang berbunga-bunga, maupun perasaan yang sedang hancur berantakan. Kalau bagian terakhir, baru saja kualami sampai rasanya aku tak pantas merasa hidup lagi jika tidak ada Kak Audi di sampingku. Di bagian pertama, apa aku pernah mengalaminya?
Sejujurnya, belum pernah.
*****
Kukencangkan ikatan tali sepatuku sebelum masuk ke dalam mobil jemputan Kak Audi, yang sudah menunggu 15 menit sebelumnya di luar gedung fakultas.
"Kamu belum makan kan, Dek? Kita ke resto dulu ya, sekalian aku mau cek barang." Kata Kak Audi di sela menyusuri jalanan kota Depok sore ini, sebelum kami pulang ke rumah di daerah Lenteng Agung.
"Hmm.. tapi aku nggak makan ayam gepreknya, nggak apa-apa?" Maaf, Kak. Bosen soalnya.
Kak Audi mengelus kepalaku, menyimpulkan senyum sejuk seolah hanya untukku.
"Restoran Kakak kan isinya nggak cuma ayam geprek, sayang. Itu menu rekomendasi, beda lagi. Sop buntut, mau?"
"Iya, mau. Hehe.. makasih."
Kakakku ini pintar masak. Waktu kami masih 'kaya', ia sempat disekolahkan kuliner oleh ayah ke Swiss, diberi modal usaha setelah lulus dan bekerja di hotel selama tiga tahun, lalu ia mampu membangun restoran Indonesia impiannya di kawasan SCBD. Tidak ada cabang karena restoran itu bertema fine dining, eksklusif untuk para eksekutif dan ekspatriat.
Dulu aku tidak berpikir untuk jangka se-demikian panjang seperti kakak. Jadilah saat ditanya ibu, ke mana aku harus melangkah sehabis lulus dari SOPA, kuberanikan diri mengikuti Simak UI dan diterima di jurusan sastra Inggris. Padahal bisa saja aku mengambil jurusan bisnis atau teknik kimia seperti ayah dan ibu, tapi sisi childish ini bersikeras agar aku kuliah sesuai kemampuan yang kumiliki saja, yaitu bahasa Inggris. Sampai aku berada di tahap menyesal tingkat konstitusi ketika ayah dan ibu tiada, karena aku tidak bisa membantu mereka menjalankan bisnis, juga mendukung kakak untuk mengurus restoran.
Tapi, kuingat lagi perkataan ibu dulu.
"Siapa pun kamu di masa depan nanti, kamu tetaplah berlian di hati keluarga ini, Liana."
Benar, nama Liana berasal dari berlian pemberian ayah. Berharap agar aku tetap menjadi yang berharga di keluarga kami.
"Jangan diem aja, Li. Temenin Kakak ngobrol kan bisa."
Oh ya, aku lupa kalau Kak Audi adalah tipikal cowok yang tidak bisa tidak dihiraukan.
"Maaf Lia capek, Kak. Dari pagi soalnya."
"Iya, Kakak ngerti kok. Nanti juga cuma mampir sebentar ke sana, habis makan kita pulang, oke?"
"Kakak makan juga bareng aku, kan?"
"Kakak udah tadi, Lia."
Kak Audi membelai punggung tanganku lembut, memastikan agar aku tidak khawatir pada dirinya. Kak Audi memang sibuk, mungkin tadi ia terpaksa menyempatkan diri untuk makan di kantin kampus selama menungguku selesai kelas.
Kasihan juga, aku sayang sekali padanya.
"Liana," nada suara Kak Audi seketika berubah mendalam. "Sampai rumah nanti, ada yang mau Kakak bicarakan. Kalau nggak ada tugas, tolong jangan tidur dulu."
"Kayaknya sih nggak ada, Kak. Mau bicara apa memangnya?"
"Soal masa depan kamu."
Dan bibir Kak Audi langsung terkatup rapat setelah itu selama perjalanan. Kalau sudah mode serius begini, aku tak berani untuk mengeluarkan suara karena ini terdengar bukan main-main.
Terakhir Kak Audi bicara seperti ini adalah ketika menyampaikan berita duka bahwa ayah dan ibu sudah tak bernyawa ketika aku baru berada di koridor rumah sakit sepulang kuliah, dan diantar oleh Intan. Waktu itu kondisiku terguncang lumayan parah sampai dirawat juga di rumah sakit selama seminggu. Aku ingat betapa Kak Audi dan Intan tak pernah absen bergantian membuatku agar dapat berdiri tegak lagi menginjak bumi.
Semoga pembicaraan penting kali ini bukanlah hal negatif.
***BERSAMBUNG***
KAMU SEDANG MEMBACA
ASMARADANA ✔️
FanficIni adalah kisah Daffin dan Liana yang terpisahkan oleh hubungan jarak jauh antara Jakarta - London, dan berjuang ketika semua orang menolak untuk mendukung mereka agar bisa bersatu. Daffin yang dikenal sebagai dosen di salah satu universitas negeri...