13 - Kilah

1.2K 177 7
                                    

Kehancuran menghentak pedih batinku. Tak ada raut penyayang kutemukan di wajah Kak Audi di kala pria itu menyerahkan kunci Yaris kami pada Kak Tarra, ditambah kenekatannya membuka paksa isi ranselku, mengambil semua undangan yang belum sempat kusebar pada orang lain, dan menyuruh seorang stewart untuk membakarnya.

Kak Audi sangat marah, aku tahu itu. Ia bahkan tidak memberiku kesempatan pamit pada Kak Arimbi dengan cara menyeret Kak Tarra ke dalam persoalan ini. Saat ini, Kak Tarra tengah menggamit lenganku lewat pintu dapur belakang, sengaja memutar lebih jauh agar aku dapat segera ditenangkan.

"Pulang aja ya, Li?"

Ponselku lebih dulu berbunyi menjawab tanya Kak Tarra. Panggilan kedua belas dari orang itu tak kunjung kuangkat kala kulihat nama kontaknya di layar, membangkitkan rasa tak tega dalam diriku juga Kak Tarra.

"Seenggaknya kamu kabarin dia, Li. Aku nggak akan angkat telepon untuk kasih tahu keberadaan kamu, karena ini masalah yang harus kalian selesaikan berdua."

Selagi kaca mobil masih dibuka dan mesin belum menyala, kuberanikan diri untuk menjawab.

"Halo, Kak. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam! Alhamdulillah, akhirnya kamu mau angkat telepon saya, Liana. Saya tadi..."

"Liana habis dari restoran, Kak. Maaf, Liana nggak tahu Kak Daffin telepon."

Bohong itu dosa kata ibu, tahu nggak?

"Saya juga udah duga kamu di sana. Ini saya lagi di jalan menuju rumahmu, mau dibawain apa?"

"Kak.." Ya Allah, kenapa suaraku sulit sekali mengeluarkan kata-kata?

"Iya, sayang?"

Parasetamol, di mana benda itu berada? Kepalaku sakit terombang-ambing di antara dunia masa kini dan ilusi. Ingin rasaku lampiaskan marah ke orang ini, tapi kenapa selalu terhalang oleh sikap baiknya?

Bisa-bisanya dia menyebut kata sayang, padahal Kanira sedang membutuhkannya.

"Kenapa kok diam? Kamu sama siapa sekarang? Pulangnya gimana?"

Kulirik Kak Tarra hendak membuka mulut, mungkin mau membantuku bicara. Tapi alangkah baiknya aku keluar dulu, menghirup udara segar sambil bersandar di bodi punggung mobil kakakku itu.

Ponsel tetap tertempel di telinga kananku, tak ada luncuran kata di antara kami sampai aku lebih dulu memulai peperangan ini.

Perang Bharatayudha versi hubungan pria dan wanita yang dilandasi awal nestapa.

"Kak Daffin nggak mau menjelaskan sesuatu yang penting?"

"Nah, ini saya mau ke rumahmu buat jelasin soal pilihan kamar hotel di acara resepsi kita nanti. Kamu mau tipe deluxe suite biasa atau.."

"Yang minta penjelasan soal pernikahan itu siapa?"

Dari sekian banyak waktu kami habiskan bersama, ini adalah kali pertama bagiku mengajaknya bertengkar. Ah, bukan.. menuntut kejujuran.

"Liana, bisa tolong hentikan caramu memotong omongan saya? Kamu lagi PMS atau apa?"

"PMS? Hebat. PMS memang nggak pernah absen jadi kambing hitam jika wanita sedang menunjukkan emosi."

"Are you okay there?"

"Kedengarannya?" Tanyaku sarkas.

"You're tired."

"Indeed."

"Then tell me about it, Liana."

"Kak Daffin," tegurku setelah memberanikan diri sendiri. "Kakak ingat perempuan bernama Arimbi?"

Tak ada sahutan secuil pun, tubuhku mulai terasa lunglai.

"Kakak tahu Kanira?"

Kutunggu lebih dari lima detik, pria di ujung sana lagi-lagi menolak menjawab ya atau tidak.

"Selama ini Liana kurang jujur apa sama Kak Daffin? Kakak tahu masalah keluargaku, isi buku harian Kakak juga Liana baca sepenuhnya, tapi Liana nggak menemukan nama Arimbi dan Kanira di situ sampai akhirnya Liana dipertemukan pemilik nama itu."

"Kanira butuh Kak Daffin, apalagi thalasemia itu bukan penyakit ringan. Tolong, Kak.. Liana tunggu sampai Kak Daffin mau cerita, karena Liana percaya.. Kak Daffin pasti mampu bijaksana dalam memilih, siapa yang pantas mendampingi Kakak. Entah itu Kak Arimbi, atau Liana."

"Masalah pernikahan kita, Liana serahin ke Kak Audi. Lebih baik Kak Daffin balik lagi aja ke rumah, karena Liana nggak tahu apa yang terjadi kalau kita ketemu malam ini. Liana takut, Kak.. takut nggak kuat kalau memang harus kehilangan Kakak.."

Seberapa penting seorang Kak Arimbi dan Kanira dalam hidupmu, Kak? Kutunggu niatmu menjelaskan duduk perkara yang kubawa, namun gemerisik angin menghadang sinyal di antara kita berdua.

Tak tahan lagi, Kak Tarra keluar dari mobil, datang menyusul dan menyampirkan jaket denim di punggungku agar tidak mudah sakit di esok hari.

"Ngomong di dalem aja, Li. Ini mau hujan.." kugelengkan kepalaku kuat. Benar, se-kuat ini pertahananku agar dapat mendengar dari bibir Kak Daffin langsung.

"Liana,"

Bagus. Kuharap pemikiran dewasa Kak Daffin dapat menanggapi dengan baik.

"Insya Allah saya dan orang tua akan menemui kamu dan Audi besok untuk meluruskan latar belakang saya yang sebenarnya. Sebelumnya.. saya benar-benar minta maaf, terutama kamu, Liana. Maaf, kamu harus bertemu Arimbi dan mengetahui soal Kanira bukan dari saya sendiri."

"Maaf juga.. karena rencana perjodohan dan pernikahan ini akan batal secepatnya."

"Sekali lagi maafkan saya, Liana. Kamu hati-hati pulangnya, Assalamu'alaikum."

Hujan.. kumohon turunlah..

Angin.. kuminta hempaskanlah..

Daun.. kuharap gugurlah..

Dan cinta.. berhentilah beralasan bahwa hati ini membutuhkan kasih sayang pribadi bertajuk Daffin Damarion.

Hilang sudah rasa simpati dan inginku atas hari ini, meninggalkan sejuta bias perih dalam dada kala tangisku harus terulang lagi di hadapan Kak Tarra.

Transmisiku dan Daffin terputus, menderaikan kecewa tak terbendung lagi.

Kak Tarra memelukku, menenangkanku dengan tepukan lembut di punggungku tanpa lelah.

"Liana, dengar.." Kak Tarra mengangkat wajahku, memaksa sedikit supaya kami saling lekat memandang. "Masih ada Audi, aku, Intan, Mark, dan teman-teman kamu di kafe."

Benarkah cinta itu sesakit ini? Sejauh diterbangkan dari ketinggian 30.000 kaki, terjun ke dalam palung luka, menyayat semua kenangan? Pertama, ayah dan ibu. Kedua, judgement orang lain. Ketiga, Daffin.

Apakah mereka ingin aku mati dan sengsara karena cinta?

"Kamu perlu recovery, Liana. Kamu harus mandi, ganti baju, istirahat, setelah itu mau menangis seember sampai puas pun silakan. Gimana pun, Audi menitipkan kamu sama aku, dan aku nggak bisa biarkan kamu begini karena Daffin. Paham?"

Kuturuti bagaimana Kak Tarra memperlakukanku malam ini dan bersyukur sejenak bahwa malaikat di bumi itu masih tinggal dalam wujud Kak Tarra.




***BERSAMBUNG***

ASMARADANA ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang