*(backsound) Jill Hsu - I Wanna Be With You*
Pertama kali menginjakkan kaki di kediaman Kak Daffin, kalimat takbir meluncur langsung di hati menatap megahnya peraduan pria itu bersama keluarga. Halaman depan luas, hamparan bunga aneka rupa beserta hijau rumput menyegarkan, garasi tempat parkir sebut saja Bentley, Mercedez Benz S-Class, Rolls Royce, dan sebuah merek impian Kak Audi juga jutaan kaum adam di dunia, Ferrari, ditambah pos berisi anggota penjaga keamanan sebanyak tiga orang.
Tanganku kaku digandeng Kak Daffin saat keluar dari pintu mobil, kuseret langkahku selagi membunuh rasa sungkan kala Kak Daffin tersenyum.
"Nanti di dalam jangan nangis, ya."
Entah apa maksudmu, Kakanda. Warna putih terlalu mendominasi dinding dan perabot dalam rumah itu yang sewaktu-waktu bisa menyilaukan mataku, bisa jadi saat aku sembarang menyentuh maka akan ada salah satu barang yang jatuh dan pecah. Interior ini sungguh mengingatkanku pada kastil peristirahatan kaum bangsawan. Bagus sekali.
"Assalamu'alaikum." Salam kami bersamaan saat Kak Daffin mendorong pintu utama. Kusimpan sepatuku di dekat keset cukup berhati-hati. Takut lantai mahalnya rusak.
"Wa'alaikumsalam."
Seorang wanita tergopoh-gopoh datang memeluk Kak Daffin dari arah ruang tengah dan menyapa hangat. Rambutnya tergelung rapi beriaskan make up khas gala dinner, gamis merah muda di tubuhnya tampak serasi dengan aura wajahnya yang cerah.
Ialah Tante Adirianto. Ibunda Kak Daffin.
Buru-buru kusembunyikan diri di balik punggung Kak Daffin. Berbagai hafalan doa kuserukan dalam hati, berharap agar tidak ada drama kekacauan kalau Tante Adi tahu siapa yang dibawa Kak Daffin ke rumah detik ini.
"Sampe malem kamu? Udah ketemu Audi?"
"Belum, Ma."
Kuintip sedikit adegan ibu dan anak itu di samping lengan kiri Kak Daffin.
"Ehm, Ma. Sesuai permintaan papa sama Mama, aku ajak Liana makan di rumah kita."
Kudengar ujaran pelan Kak Daffin, dapat kurasakan juga tanganku yang sedang meremas bagian punggung kemeja biru tua cowok itu perlahan tertarik oleh genggaman tangan lembutnya, agar segera mempertemukanku pada sesosok baginda ratu istana ini.
Sadar, Liana. Anggap dirimu Nirmala, bukan Bona apalagi Asta. Tarik napas, buang pelan-pelan..
Then say your best cheese!
"Malam, Tante Adi." Itulah kalimat sapaan pertamaku yang menyisakan getaran gugup di dalamnya.
Kulirik Kak Daffin. Oh, bagus.. dia sedang berusaha menahan tawa.
Masih menampilkan keramahan terbaikku, Tante Adi mendadak terpana menatapku.
"Liana.." sebut wanita anggun itu.
"Iya, saya Liana, Tante. Apa kabar?"
"Ya Allah, Liana!"
Tante Adi menghambur memelukku. Setitik demi setitik air turun membasahi bahuku. Hangatnya perasaan seorang ibu langsung terasa timbul tenggelam dalam benak labilku.
Kubalas pelukan Tante Adi sembari menepuk-nepuk punggung wanita berusia 40-an itu supaya tenang mengingat ia sedang menangis, entah karena rindu, menyesal, atau apapun yang tak kumengerti. Tak peduli rupaku sehabis pulang kuliah bak mak lampir kelaparan, perasaanku membuncahkan haru yang sama dan ingin ikut menangis.
"Maafkan Tante, sayang.. nggak seharusnya Tante marah-marah sama kamu dan Audi, menghina kalian, menentang keputusan perjodohan kamu dan Daffin. Tante kaget sekali ketika tahu anak Tante satu-satunya menikah dengan Arimbi tanpa sepengetahuan Tante dan Om, pikiran Tante pendek sekali, Liana. Maafkan Tante yang nggak berperasaan ini sama kamu.."
KAMU SEDANG MEMBACA
ASMARADANA ✔️
Hayran KurguIni adalah kisah Daffin dan Liana yang terpisahkan oleh hubungan jarak jauh antara Jakarta - London, dan berjuang ketika semua orang menolak untuk mendukung mereka agar bisa bersatu. Daffin yang dikenal sebagai dosen di salah satu universitas negeri...