24 - Perhatian

1.1K 136 3
                                    

*#NowPlaying Same Same Featuring Audy - Without You 🎶*

-----------------*****------------------

"Jangan kelamaan ngambek sih, Tan.."

"Nggak, Li. Lo nggak ngerti gimana rasanya dibohongin di belakang. Biar menurut Kak Tarra itu buat kebaikan kita bersama, tapi gue tetep nggak bisa terima caranya melamar gue depan bokap nyokap tanpa sepengetahuan gue, Li. Lo tahu kan gue ini perempuan, punya hati, perasaan, otak.. pernah nggak Kak Tarra ngertiin gue soal ini? Dia aja setiap kali ditanya ibunya sendiri soal hubungan kita ke depan selalu nggak bisa jawab!"

"Tapi bukan berarti lo harus diemin dia berhari-hari, kan? You're already mature, Tan. Bahas baik-baik nggak pake emosi. Gue yakin Kak Tarra kalang kabut nyariin lo sekarang."

Di sinilah kami berempat. Aku, Mark, Intan, dan Arin, di ruang tamu kediaman keluarga Arin yang tak jauh dari kampus. Kuliah siang tadi, Intan absen begitu saja dan menyuruhku serta Mark untuk mendatanginya ke perpustakaan. Terkejut karena salah satu sahabatku itu terlihat tidak baik-baik saja, aku dan Mark mencoba membujuknya berbagai cara. Pergi ke Candramawa atau tempat nongkrong biasa, rumahku, kantin, tapi selalu ditolaknya. Mark tak mungkin membawa Intan ke kos atau rumahnya di daerah Poris sana. Alhasil, kala Arin berpapasan dengan kami di tempat yang sama, jadilah gadis manis itu merelakan rumahnya sebagai base camp, setidaknya sampai Intan lebih tenang.

"Minum dulu, Tan." Arin menyodorkan segelas es teh pada Intan yang diterimanya lemah.

"Makasih ya, Rin."

Arin tersenyum simpatik.

"Li, mau teh anget? Hidung lo merah tuh, pucet juga muka lo, nggak enak badan ya?"

"Eh, nggak apa-apa. Nggak usah repot-repot, Rin. Gue cuma kecapekan aja kok." Tolakku halus ketika Arin bersiap berdiri hendak ke dapur lagi.

"Santai, Li. Sebentar ya gue ambilin."

Semula, obrolan kami tentang niat Kak Tarra yang tiba-tiba datang melamar di luar radar Intan, berubah menjadi pandangan kagum penuh pesona terhadap sosok bernama Arinda Josephine.

"Jangan sia-siain, Mark." Suruh Intan di sela mengelap wajahnya yang lengket akibat air mata dengan tisu.

"Gue nggak nyangka ada anak sastra sebaik Arin, kirain rata-rata ember semua. Kalo nggak tukang dandan, ogah mikir, pasti ngegerombol nyamperin cowok-cowok di FT."

Bukan maksudku berprasangka buruk, namun citra itu menempel lekat bagi sebagian besar mahasiswi di jurusanku, tepatnya di program kelas internasional. Tidak semua sih, tapi sejak aku dirundung kasus orang tuaku, mereka seolah menunjukkan dirinya superior dan tinggi hati.

Kalau boleh pindah, aku ingin ke program reguler atau transfer jurusan ke Sastra Belanda atau Antropologi saja. Terlihat kalau penghuninya tidak neko-neko.

Ah, biarlah. Yang penting aku lulus dan jadi sarjana.

"Tanpa kalian omongin ini juga lagi usaha gue." Mark menggigit sebuah biskuit butter berbentuk cincin, menatapku dan Intan cukup dalam. "Kalo lo nggak lagi galau, Tan, gue nggak akan pernah tahu rumah Arin di mana dan kayak apa setelah dia pindah rumah habis lulus SMA. Tahu nggak? Ini tuh semacam persiapan sebelum gue bawa bokap sama nyokap gue ke sini, nggak sih?"

ASMARADANA ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang