"Apa ini, Kak?"
"Baca aja."
Kelar makan malam, aku dan Kak Audi pulang ke rumah untuk mandi, berganti pakaian, dan shalat Isya' berjamaah. Baru saja kulipat sajadah di atas meja belajar, Kak Audi menghampiriku. Menyerahkanku secarik kertas bertuliskan tangan ayah.
Aku terkejut mendapati maksud dari isi surat itu berupa perjanjian ayah dan ibu dengan keluarga Adirianto, pengusaha event organizer yang sering mengundang artis dari Jepang dan Korea Selatan untuk konser atau fan meeting di Jakarta. Siapa tak kenal beliau? Beberapa kali keluarga kami diundang makan malam di rumah mewahnya, aku pun kenal dengan pasangan suami - istri juga anak semata wayangnya bernama Daffin.
Tahukah kamu makna surat itu? Orang tuaku dan Daffin menjanjikanku untuk dijodohkan dan dinikahkan dengan anaknya itu ketika usia kami menginjak 23 dan 19 tahun.
Sungguh.. keputusan terkonyol ini haruskah kuketahui ketika tubuhku lelah dan ingin tidur? Tidak cukup membuatku dan Kak Audi terusir dari rumah karena aset keluarga kami disita oleh bank dan disegel pemerintah, sekarang ada wacana seperti ini? Boleh kusobek tidak suratnya?
Bisa apa seorang anak 19 tahun sepertiku? Aku masih malas mengurus diri sendiri, dan isi surat itu mengatakan aku harus menjadi istri seorang pria yang baru lulus kuliah? Ini sejenis prank terbaru atau apa?
"Maaf kalau kamu kaget. Kakak sendiri juga tiba-tiba menemukan surat itu tadi pagi waktu beresin isi lemari ruang tamu. Kelihatannya ini serius, Liana. Ada materai dan tanda tangan ayah, ibu, juga Om dan Tante Adirianto." Kak Audi mengusap wajahnya pasrah, menatapku kasihan yang masih terbengong-bengong.
"Kakak ada kontak Om Adirianto, Kakak juga inget rumah mereka di mana. Sabtu kalau nggak keberatan, Kakak akan hubungi beliau untuk membicarakan soal ini. Kamu jangan panik dulu, oke?"
Percuma untaian kata itu disebutkan Kak Audi agar aku tenang. Nyatanya, aku kini terduduk lemas di kursi makan, menatap nanar kertas usang menguning itu. Terlihat jelas dibuat di tahun lahirku yang tertera sesuai tanggal di pojok kanan atas. Mimpi burukkah aku semalam?
Kuteguk habis segelas air dingin dari tangan Kak Audi. Biar bagaimana pun, aku tidak boleh emosi.
"Liana," Kak Audi menggenggam jemariku hangat. "Kamu jangan takut, ada Kakak di sini. Kita hadapi sama-sama, ya?"
"Ayah dan ibu udah pergi, Kak. Kalau surat ini bener adanya, Liana harus apa?"
"Kamu nggak usah pikirin itu. Tugasmu cukup belajar dan kuliah yang bener. Soal ini akan Kakak urus." Kak Audi menarik napas, menghembuskannya cukup panjang. "Tapi.. andaikan ini bener. Kakak mau tanya sama kamu, siap atau nggak?"
Kugelengkan kepalaku lemah. "Liana nggak tahu, Kak. Liana aja lupa gimana muka Kak Daffin sekarang, apalagi Om sama Tante Adirianto. Terakhir kita ketemu kan sebelum aku berangkat ke Seoul, Kak."
"Iya juga sih.. Kakak juga udah lost contact sama Daffin sejak dia kuliah di Australia. Hmm.. kamu baik-baik aja tapi? Kalau ada hal yang nggak enak, bilang sama Kakak."
"Nggak apa-apa. Aku ke kamar dulu."
"Mau nugas?"
"Nggak, rebahan aja paling."
Kak Audi mengusap wajahku, lalu memelukku sesaat. "Kita cuma berdua sekarang, Dek. Jangan terlalu dipikirin, ya?"
Kutinggalkan Kak Audi dengan senyumku untuk bisa masuk ke dalam kamar, menutup, dan mengunci pintu.
Kak Daffin, ya..
Aku berkenalan dengan cowok itu waktu masih kelas 1 SD. Dia lebih akrab dengan Kak Audi, sering bermain bersama, dan sering juga kuikuti mereka untuk sekedar menonton apa yang dilakukan dua anak bandel itu pada masanya. Waktu Kak Audi kelas 4 dan Kak Daffin kelas 5, Kak Daffin tergolong lebih menyayangi dan memperhatikanku dibanding Kak Audi yang iseng mampus. Namun, aku jadi ingat suatu hal tak terlupakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ASMARADANA ✔️
FanficIni adalah kisah Daffin dan Liana yang terpisahkan oleh hubungan jarak jauh antara Jakarta - London, dan berjuang ketika semua orang menolak untuk mendukung mereka agar bisa bersatu. Daffin yang dikenal sebagai dosen di salah satu universitas negeri...