*(backsound) Yovie and The Nuno - Indah Kuingat Dirimu 🎶*
"Lia!" Hendery berusaha menyamai langkahku usai kelas berakhir pukul tiga lewat lima belas sore ini di koridor gedung fakultas lantai tiga. "Lia, buset dah cepet bener jalannya. Tunggu ngapa sih!"
Sudah sebulan ini ada tiga mata kuliah yang harus kulalui di semester ini bersama Hendery, karena jumlah anak di kelas yang mengikuti semester pendek memang tidak banyak, mau tak mau aku selalu kebagian mengerjakan tugas kelompok berdua dengannya. Agak terkejut juga tadi, Hendery dan aku dipuji oleh Ibu Tiffany karena kemampuan presentasi kami dalam menerangkan budaya pariwisata di tanah Jawa. Puas juga, cuti kuliah dadakanku ternyata bisa menghasilkan nilai A.
Hubunganku dengan Kak Daffin pun semakin baik dan lancar. Kami saling mengingatkan untuk makan dan beribadah, tak jarang Kak Daffin juga kujadikan pelampiasan tangis dan amarah atas tugas kuliah, meski dia selalu mampu menenangkanku dan membuatku semangat lagi.
"Baru jadi maba udah nggak kuat, pas semester akhir mau jadi zombie? Nggak jadi nikah sama saya?" Merupakan kalimat pamungkas pria itu setiap emosiku sulit dikontrol.
Ini adalah H-7 pernikahan kami. Boro-boro ada persiapan pingitan, atau tradisi semacam siraman, midodareni, dan sejenisnya sesuai latar belakang budaya keluargaku dan Kak Audi. Aku dan Kak Daffin sepakat hanya akan menjalani akad dan resepsi, itu pun di restoran Kak Audi dengan jumlah undangan kurang dari dua ratus orang. Kadang aku berpikir, keluarga Kak Daffin sungguh makmur dan sejahtera, kok mau pernikahan anak semata wayangnya diadakan lebih sederhana dibanding kondangan RT sebelah? Jangankan ada orkes dangdut atau pertunjukan wayang kulit semalam suntuk, konon teman-teman Kak Audi rela menyumbang suara emas mereka dengan dibayar makan gratis di restoran selama sebulan.
Dasar pria.. selalu tak pernah bisa lepas dari ikatan harta, tahta, wanita, dan semur gurita.
Anganku lantas berpijak ke dunia nyata, waktu kusadari belum makan siang hari ini akibat terlalu betah membaca novel di perpustakaan. Aku kemudian berdiri bersandar di pilar lobby gedung, mengambil ponsel dari dalam tote bag kanvasku untuk menghubungi seseorang.
Sementara Hendery masih berada di sampingku, entah untuk apa.
"Halo, Kak Audi." Sapaku pada si pengangkat telepon. "Bisa tolong jemput Liana, nggak?"
"Halo juga, Adekku sayang. Yahh, Kakak lagi sibuk banget ini di resto. Ada reservasi banquet di private room. Mau naik ojek online aja? Atau bareng Intan sama Mark?"
"Intan sama Mark lagi libur, Kak. Nggak enak ganggu.."
"Tarra tadinya udah gue mintain tolong buat jemput lo sebenernya, tapi dia udah ada janji ketemu sama orang di Bogor. Hmm.. gimana ya.. apa mau Kakak teleponin Daffin?"
"IDIH NGAPAIN?" Seruku tak terima. Tentu saja, Kak Daffin itu dosen. Bukan supir!
"Kasihan dong calon istri masa' nggak dijemput pulang." Kumat jahilnya ini orang.
"Nggak ada pokoknya jemput-jemput ya, Kak. Liana nggak mau ngerepotin dia."
"Liana, kamu tuh gimana sih? Dianterin ke kampus mau, masa' dijemput nggak mau?"
"Masalahnya Liana mau ke resto Kakak dulu, nggak enak ganggu waktu dia buat nemenin Liana makan doang."
"Ya terus kamu mau ke sini sendiri?"
Kulirik calon korban di sampingku itu. Rona wajahnya terlihat tenteram bermain PUBG dalam mode hening, sesekali menertawai kelihaiannya untuk bisa segera naik peringkat. Tapi aku yakin, fungsi pendengaran orang bernama Hendery ini masih cukup baik untuk sekedar menguping pembicaraanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
ASMARADANA ✔️
FanfictionIni adalah kisah Daffin dan Liana yang terpisahkan oleh hubungan jarak jauh antara Jakarta - London, dan berjuang ketika semua orang menolak untuk mendukung mereka agar bisa bersatu. Daffin yang dikenal sebagai dosen di salah satu universitas negeri...