Kelas pertama berakhir. Lisa menuju ke kelas berikutnya bersama Jisoo yang kebetulan ditemuinya di koridor. Mereka lalu memutuskan untuk jalan bersama.
Sesampainya di kelas, Jisoo tiba-tiba memekik kegirangan. "Jennie!" serunya sambil menyeret Lisa. Lisa melihat gadis bertubuh lebih pendek darinya ikut memekik kegirangan sama kencangnya seperti Jisoo. "Hei Jisoo! Aku merindukanmu!"
"Aku juga, bagaimana liburanmu?" Jisoo bertanya.
"Yah... seperti biasa, hanya mengunjungi sanak saudara atau sesekali hang out dengan Kai." jawabnya.
"Oh... kau masih bersamanya." Lisa menyadari perubahan ekspresi pada wajah Jisoo yang baru ia lihat namun hanya berlangsung sekejap sebelum ia kembali menjadi Jisoo yang ia kenal. "Dan ini temanku, Lisa. Dia baru pindah ke Seoul." kata Jisoo memperkenalkan.
Jennie tersenyum " Hi Lisa. Aku Jennie... senang berkenalan denganmu." ia memeluk Lisa dengan erat dan dibalas oleh Lisa meskipun ia agak kaget dengan aksi tiba-tiba gadis itu.
"Hi! Aku Lisa... dan senang juga berkenalan denganmu Jennie." Lisa menyapa balik.
"Jadi, apa yang membawamu ke Seoul?" Jennie bertanya penasaran selagi mereka bertiga duduk di kursi bersebelahan.
"Ayahku ingin membuka bisnis baru di Seoul, yang berarti kami sekeluarga harus pindah ke sini. Itu agak menyebalkan untukku, karena seluruh kehidupanku ada di Bangkok dan di sini segalanya sangat berbeda." Ia menjawab.
Jennie mengangguk "Kulihat sepertinya kau sudah memiliki teman, jadi kau akan baik-baik saja." Kata Jennie dengan optimis. Ia sangat periang, pikir Lisa. Ia sudah sangat baik dengannya walaupun mereka baru berkenalan lima menit yang lalu.
"Terima kasih Jennie, aku sangat menghargainya." Lisa tersenyum yang juga dibalas senyuman oleh Jennie yang menampakkan seluruh giginya.
Jisoo menoleh ke arah Jennie. "Ngomong-ngomong, aku terkejut kau tidak sekelas 'dengannya' kali ini." Lisa mengangkat alisnya. Siapa yang dimaksud Jisoo dan kenapa ia terkejut ia tidak di kelas ini?
Jennie menghela nafas. "Ia mengambil kelas istimewa untuk jam ini. Lagipula, ia terlalu hebat untuk berada di kelas ini. Ia selalu pintar dalam matematika. Dan juga, agak menyenangkan akhirnya bisa istirahat untuk satu jam- bukan berarti dia menggangguku, tidak begitu. Hanya saja dia..."
"Kasar, sarkastik, galak, dan agak menyebalkan?" Tanya Jisoo.
Jennie mendorong Jisoo dengan main-main. "Hei! dia sebenarnya baik jika kau mengenalnya." Kata Jennie membela.
"Saat dia duduk dengan kami, dia mengataiku babi tidak berbudaya hanya karena aku tidak tahu siapa itu Edgar Allan Poe, lalu bilang kepada Bambam kalau ia terdengar lebih bagus saat tidak bicara." Jisoo membantah, ada seringai di wajahnya. "Nah sekarang katakan padaku, dimana letak kebaikannya? Karena aku tidak menemukannya sama sekali."
Jennie tertawa. "Butuh beberapa waktu agar ia membuka diri. Aku bersumpah padamu, dia orang yang baik... jangan biarkan kata-kata pedasnya menipumu."
"Siapa yang kalian bicarakan?" Lisa bertanya penasaran. Jennie dan Jisoo langsung menoleh padanya.
"Temannya Jennie. Namanya Chaeyoung." Jisoo menjawab. "Dia agak... kau tahu"
"Aku tidak paham, bisa kau jelaskan?" Ia bertanya, mengangkat sebelah alis.
Jisoo mengangkat bahu. "Dia agak kasar dan juga menyebalkan. Pastinya bukan tipe orang yang ingin kau ajak bergaul."
"Hei... tapi kau tidak mengenalnya seperti aku mengenalnya." Jennie membela. "Dia melakukan itu sebagai mekanisme pertahanannya karena kau tahu dia..." ia bergumam.
"Dia apa?" Lisa menekan Jennie untuk menjawab.
Jennie menggigit bibir sebelum menjawab. "Dia buta." katanya pelan sambil bergeser secara canggung.
Lisa menyesal sudah menekan Jennie untuk menjawab. Dia harus mulai belajar cara untuk berhenti penasaran, pikirnya. "Jennie maafkan aku, aku seharusnya tidak bertanya." Lisa segera meminta maaf.
Jennie menggelengkan kepalanya. "Jangan khawatir. Kita semua pasti penasaran. Hanya saja, jangan dimasukkan ke dalam hati sikapnya nanti jika kau bertemu dengannya. Sebenarnya ia sama seperti semua orang."
Lisa mengangguk dan kemudian guru yang mengajar telah datang. Tidak banyak yang terjadi selama pelajaran, pikiran Lisa justru dipenuhi rasa penasaran dengan gadis bernama Chaeyoung itu. Ia sepertinya memiliki kisah yang menarik, dan tidak ada yang lebih disukai Lisa daripada kisah yang menarik. Tetapi dilihat dari perkataan orang-orang, Chaeyoung sepertinya tidak tertarik untuk menceritakan kisahnya itu.
Selama pelajaran, Lisa lalu teringat perkataan Bambam untuk bergabung ke kelas seni. Ia sangat menantikan free class-nya agar bisa menemui Mrs. Freya. Semoga saja guru seni itu menyukainya, pikir Lisa.
---
Akhirnya, jam keenam tiba. Lisa bergegas keluar kelas menuju lokernya untuk menaruh beberapa barang dan mengambil barang yang lain. Ia membawa sketchbook-nya dan membalik lembaran-lembaran kertas berisi karya-karyanya itu untuk memilah karya yang akan ditunjukkan kepada Mrs. Freya dengan harapan ia akan terkesan dan menerimanya di kelas seni.
Tiba-tiba, Lisa mendengar suara piano dimainkan dari seberang lorong. Tetapi itu bukan sembarang permainan piano, melainkan permainan piano yang sangat menawan. Sejenis permainan piano yang memaksa siapa saja untuk menutup mata hanya sekadar untuk mendengarkan lebih dalam.
Lisa menutup lokernya dan menghampiri arah datangnya suara itu. Ia lalu berdiri di depan pintu yang ternyata merupakan pintu masuk ruang musik dan memandangi orang yang sedang duduk di balik piano besar itu.
Memakai kacamata hitam, jari-jari dari gadis itu menekan setiap tuts dengan sangat lembut dan hati-hati, layaknya setiap not yang ia tekan sangatlah berharga. Ia bahkan tidak memerhatikan piano itu saat memainkannya. Kepalanya mengarah ke depan. Ia pasti sangat mahir bermain piano sampai-sampai tidak perlu melihat, pikir Lisa.
Gadis itu hanyut dalam permainan musiknya sendiri. Caranya bermainlah yang membuat Lisa terpesona. Seakan-akan lagu itu adalah lagu terakhir yang bisa ia mainkan dalam hidupnya dan dia sedang menunjukkan penampilan untuk terakhir kalinya. Lisa sangat suka melihat orang lain terhanyut saat melakukan apa yang mereka cintai dan fakta bahwa gadis itu juga sangatlah cantik, membuat Lisa semakin tak ingin beranjak memerhatikan hingga permainan selesai.
Walaupun Lisa tidak dapat melihat matanya, tetapi sisa wajahnya dapat terlihat dengan jelas. Rambut berwarna kecoklatan yang bersinar, hidungnya yang sempurna, serta bibir berwarna merah muda dan kulit yang tidak memiliki satu kekurangan apapun itu saling melengkapi satu sama lain menjadikan sosok wanita yang sedang duduk di balik piano itu terlihat sangat menawan. Tetapi Lisa sangat penasaran dengan matanya. Mereka seperti misteri. Apakah mereka berwarna gelap? atau terang? Gadis itu sendiri terlihat seperti misteri baginya. Sebuah misteri yang layak untuk dipecahkan.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
Acluophilia
FanfictionMemulai kehidupan yang baru di kota Seoul, Lalisa Manoban, gadis riang berjiwa seni itu tak pernah menyangka bahwa ia akan menjadi cahaya dalam hidup seseorang. Terlebih lagi jika seseorang itu adalah gadis buta yang dikenal arogan, Park Chaeyoung...