Jisoo dan Bambam sedang menunggu di luar kelas seni agar ketiganya bisa pergi makan siang bersama. Mereka langsung menyadari senyum lebar terpampang di wajah Lisa saat gadis itu keluar dari kelas. Keduanya lalu bertukar tatapan penuh makna.
"Kau kelihatan senang." ucap Jisoo dengan senyum meledek.
"Itu karena...aku sedang senang." Jawab Lisa dengan senyum yang bahkan semakin lebar sekarang.
"Kulihat Chaeyoung baru keluar dari kelas ini juga, kurasa itu alasannya." Bambam berbisik kepada Jisoo, sengaja untuk menggoda Lisa.
Lisa memutar bola matanya selagi mereka berjalan menuju kafetaria. "Yah, itu benar."
Mata Jisoo melebar. "Ceritakan. Sekarang." perintahnya.
Lisa menghela nafas. Ketiganya kini sudah sampai di kafetaria dan berjalan ke meja yang sudah mereka klaim sebagai milik mereka sejak kemarin. Mereka lalu duduk disana dan mengeluarkan makan siang masing-masing sebelum Lisa akhirnya menjawab.
"Kami dipasangkan untuk suatu tugas. Dan...rencananya aku akan kerumahnya sepulang sekolah nanti untuk mengerjakan tugas itu." Lisa lalu merogoh sesuatu dari tasnya dan menunjukkan gambar dengan catatan yang telah ditulis Chaeyoung-untuknya tadi kepada Bambam dan Jisoo, seringai mucul di wajah keduanya.
"Wow. Dia menginginkanmu Lisa." seru Bambam tiba-tiba, masih menatap kertas yang sedang dipegang Jisoo itu.
Pipi Lisa memerah. "Dia memberiku sebuah gambar Bam, bukan ciuman."
"Oh, itu kan yang sebenarnya kau inginkan?" Jisoo mengangkat alisnya.
Lisa membelalakkan mata. "Aku hanya senang karena tidak menyangka ia mau berinisiatif mengajakku bekerjasama." Lisa lalu mengambil kertas yang sedang dipegang Jisoo dan melambaikan kertas itu. "Dan...Inilah buktinya. Kurasa akhirnya aku akan dapat mengetahui kisahnya dari dirinya sendiri." Ia tersenyum gembira.
"Itu bagus. Tapi lebih baik kau jangan berharap terlalu banyak. Bagaimanapun, ia tetap saja Chaeyoung berdarah dingin yang kita kenal." Jisoo menasihati sambil menikmati chikin nya.
Lisa mengangkat bahu. "Aku tahu. Tapi apapun bisa terjadi, ya kan?" katanya dengan nada optimis.
Di ruang kafetaria yang lain, Jennie duduk bersama Chaeyoung yang sedang menikmati makan siangnya. Jennie sibuk memijit-mijit dahinya akibat terlalu banyak minum tadi malam.
"Jadi–um, bagaimana kelas terakhirmu?" tanya Jennie. "Kelas seni, ya kan?"
Chaeyoung mengangkat bahu. "Lumayan. Aku akan mengerjakan tugas dengan seseorang sepulang sekolah nanti. Jadi kau tidak perlu mengantarku pulang untuk hari ini."
"Benarkah? Siapa dia? Ceritakan padaku." Chaeyoung mendengar rasa penasaran dari nada suara temannya itu.
"Yah, aku juga tidak tahu banyak. Yang kutahu...ia bernama Lisa—Itu pun kuketahui saat Mrs Freya memanggilnya ke depan kelas. Ia menyukai seni...kurasa...dan ia juga bisa bermain gitar." Chaeyoung menoleh ke arah Jennie yang ia yakini masih serius mendengarkan perkataannya. "Kami diberi tugas untuk mempelajari tentang diri satu sama lain dan menjadikannya inspirasi dalam sebuah karya seni. Itu sebabnya aku mengajaknya ke rumahku siang nanti." lanjutnya.
Jennie tersenyum kegirangan. "Lisa? Ooh! aku mengenalnya! Aku sekelas dengannya di kelas matematika. Ia sangat baik dan ramah, kau pasti akan senang berteman dengannya." Ia berhenti. "Lagipula, akan bagus jika kau mencoba memiliki teman selain aku dan Kai, ya kan? Kau harus bangkit Chaeyoung. Cobalah untuk bahagia."
"Aku berhenti bahagia sejak lama, Jen...kau tahu itu. Aku masih hidup, jadi seharusnya itu sudah cukup." balasnya datar.
"Itu tidak cukup. Kau masih disini sekarang Chaeyoung... Kau juga berhak untuk bahagia." Ucap Jennie lembut.
"Bagaimana bisa aku bahagia saat dunia memberiku sejuta alasan untuk tidak?" jawabnya memberikan tekanan pada setiap kata.
"Dengan mengesampingkan sejuta alasan itu dan menemukan satu saja alasan untuk tetap bahagia... Kau memang buta, tapi dengan begitu...apa dunia ini berhenti berputar? Tidak Chaeng. Dunia ini tidak segelap yang kau pikirkan. Cahaya bisa kau temukan di segala tempat jika kau mau mencarinya. Sayangnya, kau terlalu sibuk bersembunyi dari semua itu." Terdengar keputus-asaan dari suara Jennie yang bergetar seakan ia sedang tercekat.
Chaeyoung menghardik, membalas perkataan Jennie. "Duniaku gelap, akui saja itu. Dan aku juga tidak pernah memintamu untuk tetap berteman denganku. Kau tidak perlu menggandeng gadis buta yang malang kemanapun kau pergi. Ini melelahkan kan? Jadi pergilah dan cari teman sungguhan yang juga bisa melihatmu. Kau akan lebih baik bersama mereka. Aku yakin aku akan baik-baik saja sendirian." ucapnya mengepalkan kedua tangan.
Jennie mengerutkan dahi. "Aku tidak mau orang-orang itu Chaeng, aku mau sahabatku!" bantahnya. "Aku mau sahabatku kembali. Aku tahu ia masih disana, tolong bawa ia kembali Chaeng." ucap Jennie lebih seperti memohon.
Chaeyoung memundurkan kursinya, menciptakan suara nyaring saat kaki kursi itu bergesekan dengan lantai. "Aku akan ke ruang musik." Ucapnya pada Jennie, selagi ia berdiri.
"Tolong jangan bersikap seperti ini Chaeng...jangan menjauhiku." ujarnya.
"Bersikap seperti apa? Aku hanya sedang ingin bermain piano, seperti yang biasanya kulakukan." jawab gadis itu dingin.
Jennie lalu menahan lengan Chaeyoung. "Aku ingin tetap berada di sisimu sebagai seorang teman Chaeng. Tolong biarkan aku membantumu." Ia menggigit bibirnya.
Chaeyoung menggenggam erat tongkatnya. "Aku sama sekali tidak menginginkannya. Tapi...akan ku izinkan kau tetap menjadi pengasuhku. Seperti itukan selama ini kau bersikap...seorang pengasuh dari gadis buta?" Katanya memberikan tekanan pada setiap kata. Chaeyoung menepis genggaman tangan Jennie dan berjalan keluar.
Jennie menghela nafas, mencoba sekuat tenaga menahan air matanya agar tidak menetes. Sekeras apapun ia mencoba, sahabatnya tidak akan pernah kembali–sosok Chaeyoung yang ia kenal tidak akan kembali... Seiring waktu berjalan semenjak Chaeyoung kehilangan penglihatannya, semakin ia merasa pertemanan mereka menghilang, seakan semuanya mulai memudar. Perlahan tapi pasti, Jennie bisa merasakan bahwa ia telah kehilangan sahabatnya.
Kai tiba-tiba muncul dan duduk di samping Jennie yang tengah duduk sendirian. "Hey, dimana Chaeyoung?" tanyanya.
"Dia pergi ke ruang musik." Jawabnya sambil menatap sayu. "Aku merasa kehilangan sahabatku Kai." Lelaki itu mengalungkan lengannya di leher Jennie.
Kai menggeleng, "Kau tidak kehilangannya. Chaeyoung sangat menyayangimu, kau tahu itu. Ia hanya kesulitan mengekspresikannya semenjak penglihatannya menghilang. Jangan menyerah padanya Jennie." ia memberi tahu sambil mengusap punggung Jennie.
Semua orang di sekolah itu mengira keduanya merupakan sepasang kekasih. Tetapi...Jennie sendiri tidak tahu apa sebenarnya status dari hubungan mereka. Ia hanya tahu bahwa ia tidak pernah merasakan kupu-kupu berterbangan di perutnya saat ia bersama dengan Kai. Meskipun ia tahu...Kai memiliki ketertarikan padanya lebih dari sekadar teman–yang sejujurnya membuatnya tak enak bila harus menolaknya jika suatu saat Kai bertanya untuk menjadi kekasihnya.
"Bagaimana kalau kau kutraktir sepuasnya minum malam ini dan mari lupakan sejenak tentang Chaeyoung, oke?" saran Kai.
Satu hal yang dapat Jennie akui, Kai-lah satu-satunya yang kini dapat membuatnya melupakan segala masalah dalam hidupnya untuk sejenak. Tiap sesi malam yang panjang melibatkan alkohol dan berbagai jenis minuman keras lainnya, cukup untuk membuatnya mabuk melupakan segalanya. Kabur dari hidupnya yang menyakitkan. Untuk itu, Jennie mungkin harus berterima kasih dengan menjawab iya pada lelaki yang sudah banyak berjasa dalam hidupnya itu–jika suatu saat Kai memintanya untuk menjadi kekasihnya.
–––––––––––––––––––––––––––––––––––
Sorry nih lama ga update. Sempet kehilangan mood buat lanjutin :(
Masih mau dilanjut ngga?😪
KAMU SEDANG MEMBACA
Acluophilia
FanfictionMemulai kehidupan yang baru di kota Seoul, Lalisa Manoban, gadis riang berjiwa seni itu tak pernah menyangka bahwa ia akan menjadi cahaya dalam hidup seseorang. Terlebih lagi jika seseorang itu adalah gadis buta yang dikenal arogan, Park Chaeyoung...