Jam sekolah telah berakhir. Setiap murid terlihat berhamburan keluar kelas, mencoba sesegera mungkin untuk membebaskan diri dari tempat penuh derita itu. Dan Lisa?--Tentu ia juga menjadi salah satu dari mereka.
Sampai kapan pun, Lisa tak akan pernah mengerti dengan sistem yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya itu. Baginya, sekolah hanyalah sebuah metode yang mahal untuk mengubur ideologi dan mimpi setiap orang dengan berbagai rutinitas klaustrofobik yang mereka jalankan setiap harinya; mereka dipaksa duduk selama-berjam-jam lamanya hanya untuk mendengarkan-membuat kreativitas dan semangat mereka perlahan-lahan memudar karenanya. Semua itu dilakukan demi memastikan agar produksi pemikiran tunggal sekelompok penguasa tetap dapat terlaksana.
Lalu di atas semua itu, yang membuatnya tak habis pikir adalah- setiap orang tua justru bersedia membayar sangat mahal dan mengirimkan anak-anak mereka untuk tunduk secara sukarela pada struktur sosial yang kaku itu. Tidak lebih dan tidak kurang; selain untuk menjadi sebuah objek, segerombolan besar kelinci percobaan.
Lisa adalah salah satu dari orang-orang itu- dan ketika datang padanya kesempatan untuk terbebas... ia jelas tidak ingin menyia-nyiakannya. Ia berjalan secepat kakinya dapat melangkah sesaat setelah bel dibunyikan, menandakan seluruh kegiatan memuakkan itu telah usai. Meskipun kali ini... itu bukan satu-satunya alasan untuknya terburu-buru.
Lisa bergegas menuju lokernya untuk mengambil dan menaruh barang-barangnya. Mengingat kembali isi catatan yang Chaeyoung tulis untuknya tadi di kepalanya. Ia tidak ingin sampai terlambat dihadapan Chaeyoung, tidak setelah ia diberikan kesempatan berharga ini.
Setelah menutup pintu loker, Lisa menelepon ibunya untuk memberitahu bahwa ia akan pulang lebih lambat dari biasanya-yang kemudian diiyakan oleh sang ibu. Lalu tanpa membuang waktu lagi, Lisa bergegas menuju ruang musik dengan berlari secepat mungkin hingga kemeja berbahan flanel yang dikenakannya berkibaran diterpa angin. Ia hampir saja melewatkan pintu masuk ruang musik karena tidak dapat mengontrol kecepatan langkah kakinya itu.
"Masih tersisa waktu 45 detik, mengesankan." ujar Chaeyoung setelah mendengar seseorang melangkah masuk.
"Bagaimana kau tahu ini aku?" tanyanya, nafasnya tersengal-sengal akibat sesi marathon yang baru saja ia lakukan.
"Yah...jika bukan kau, memang siapa lagi yang akan mencariku disini?" Chaeyoung justru bertanya balik, mengambil tongkatnya dan beranjak dari kursi piano itu. "Ayo. Lebih cepat ini selesai, lebih cepat kau bisa kusingkirkan."
Lisa memutar bola matanya. "Wah...terima kasih, aku sangat tersanjung."
"Aku tahu." Chaeyoung meladeni.
Keduanya berjalan keluar dari ruang musik saat tiba-tiba saja Lisa terhenti. "Um, apa kau mau...berpegangan padaku? Di jam pulang sekolah seperti ini bisa sangat ramai..." tawarnya.
Chaeyoung berhenti sejenak dan berpikir sebelum mengangguk. "Tentu."
Lisa lalu berdiri mendekati Chaeyoung, mengulurkan lengannya untuk gadis itu. "A...Aku sudah...mengulurkan lenganku." beritahunya gugup.
Gadis itu meraih lengan Lisa, menggenggamnya erat selagi ia masih menggunakan tongkatnya sebagai penunjuk jalan. "Terima kasih." ucapnya pelan.
Lisa merasakan sengatan kecil pada sekujur tubuhnya saat Chaeyoung menggenggam lengannya dengan erat. Seakan-akan sebuah percikan api sedang menyala di dalam tubuhnya akibat sentuhan lembut gadis itu. "S..Sama-sama."
"Pernahkah kau terpikir untuk mengikuti terapi bicara untuk mengatasi gagapmu itu?" tanya Chaeyoung menampakkan sedikit seringai di wajahnya.
"Pernahkah kau terpikir untuk membeli lakban untuk menutup mulutmu itu?" Balas Lisa, memerhatikan seringai Chaeyoung yang menghilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Acluophilia
FanfictionMemulai kehidupan yang baru di kota Seoul, Lalisa Manoban, gadis riang berjiwa seni itu tak pernah menyangka bahwa ia akan menjadi cahaya dalam hidup seseorang. Terlebih lagi jika seseorang itu adalah gadis buta yang dikenal arogan, Park Chaeyoung...