^kalo bisa di play sambil baca chapternya
Jam keenam pun tiba. Lisa kini tengah berdiri di hadapan lokernya, sibuk menyiapkan beberapa barang yang akan dibawanya ke perpustakaan untuk belajar. Itu adalah rencana awal yang seharusnya ia lakukan- Akan tetapi, alunan suara piano yang terdengar dari seberang lorong seketika membuat rencananya itu tiba-tiba terasa mustahil untuk diwujudkan.
Lisa justru menutup pintu loker, berlari menuju ruang musik (dan hampir terjatuh dalam perjalanannya) hingga menemukan dirinya terhenti di depan pintu ruang itu. Pada waktu yang sama seperti beberapa hari yang lalu, kini Lisa kembali berdiri mematung di tempat, memandangi wajah anggun Chaeyoung yang sedang memfokuskan seluruh perhatiannya pada piano itu.
Sambil tersenyum lembut, Lisa memutuskan untuk melangkah masuk, menghela beberapa nafas panjang sebelum melakukannya.
Ia menyandarkan tubuhnya pada piano, sementara tangannya menyentuh permukaan piano berkilauan itu dan merasakan getaran dari setiap kunci yang sedang dimainkan. Gadis itu menutup mata, membiarkan dirinya tenggelam dalam alunan musik-sama halnya seperti Chaeyoung.
Lalu tanpa sadar, ia menggerakkan tubuhnya perlahan-merasakan dirinya ikut hanyut dengan emosi dari sentuhan jari-jari Chaeyoung yang tengah bercumbu mesra dengan setiap not putih dan hitam yang ada. Ia merasa... seakan...terdapat rasa cinta yang amat mendalam dalam diri Chaeyoung terhadap instrumen di hadapannya itu. Lisa jadi berandai-andai, dapatkah Chaeyoung mencintai seseorang sebesar kecintaannya pada piano? Dan yang terpenting, dapatkah ia menjadi orang itu?
Setelah beberapa lama, Chaeyoung menyelesaikan permainannya dengan helaan nafas puas. Ia terdiam untuk beberapa saat.
"Yang baru saja kumainkan adalah 'Mariage D Amour' karya Paul De Seneville." Kata Chaeyoung tiba-tiba dengan sebuah seringai.
"Aku tahu kau disini Lisa."
Lisa diam kembali, membuka matanya dan segera melebarkannya. "Bagaimana kau-"
"Pendengaranku seperti kelelawar." Chaeyoung menyeringai. "Ketika kau buta, kau harus bergantung pada indera lain untuk mengenali sekitar. Telingaku bukan hanya telingaku, mereka juga menjadi mataku dalam banyak hal." Ia menjelaskan. "Itu, dan juga...aku mendengar sepatumu mendecit saat kau tersandung tadi." Ia tertawa.
Lisa memerah padam, merasa malu karena tertangkap basah untuk kedua kalinya. "Menarik."
"Memang..." Chaeyoung mengangguk.
"Kulihat kau memakai syal milikku." Lisa memerhatikan sambil menyeringai lebar. "Itu terlihat bagus untukmu."
Kini giliran pipi Chaeyoung yang memerah padam. "Ya... dan kau tidak akan mendapatkannya kembali." Tawanya.
"Tidak apa, lagipula itu lebih cocok dipakai olehmu daripada olehku." Ia mengangkat bahu, duduk di kursi piano di sebelah Chaeyoung.
"Jadi, um...apa kau sudah tahu apa yang akan kau lakukan untuk tugas kita di kelas seni?" Lisa bertanya, memutuskan untuk memulai percakapan dengan gadis itu.
Chaeyoung mengetuk-ngetukkan jarinya pada salah satu not piano. "Aku sebenarnya ingin berbicara denganmu tentang itu. Jadi, jika kau belum menyadarinya...Aku ini buta." Chaeyoung berkata dengan nada sarkasnya.
"Wow, tidak mungkin! Aku tidak menyadarinya selama ini!" Seru Lisa ikut meladeni.
Chaeyoung terkekeh. "Benar. Jadi jelas aku tidak tahu seperti apa wajahmu. Dan selain melalui deskripsi, aku menggambarkan hal-hal di kepalaku dengan sentuhan. Karena seperti yang kukatakan tadi, ketika kau kekurangan satu indera, kau harus bergantung pada indera lain." Ia terhenti. "Jadi...um, Apa kau keberatan jika aku...menyentuh dan meraba wajahmu?" Tanya Chaeyoung. Ia langsung membulatkan mata setelah meyadari perkataannya. "Wow, itu terdengar lebih baik di kepalaku..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Acluophilia
FanfictionMemulai kehidupan yang baru di kota Seoul, Lalisa Manoban, gadis riang berjiwa seni itu tak pernah menyangka bahwa ia akan menjadi cahaya dalam hidup seseorang. Terlebih lagi jika seseorang itu adalah gadis buta yang dikenal arogan, Park Chaeyoung...