250

49 1 2
                                    

Jl. Mahony II
Sebuah rumah kecil di dalam komplek yang lokasinya bersebelahan dengan perkampungan kota.
Pagar rumahnya abu-abu, cat dindingnya memudar dan cukup banyak mengelupas, tanamannya ramai tapi kurang terawat. Seperti masih ada pemiliknya tapi jarang ditempati.

Dian sudah ada di depan pagar rumah itu.
"Permisi!" Serunya sembari mengguncang-guncang slock pagar agar berisik.
Tidak ada yang menjawab atau pun tanda-tanda orang merespon.
Dian memanggil lagi hingga berkali-kali dan hasilnya pun sama.

Tidak ada org yg lewat untuk ditanyakan, ia pun berinisiatif tuk masuk ke teras dan mengetuk pintu.

"Permisi!"
Belum ada jawaban juga. Ketukan pintu pun sudah diperkeras.
"Permisi! Halo?!"

Tak lama bunyi kunci pintu memutar terdengar. Kemudian, si pembuka pintu pun mulai terlihat.

Laki-laki. Tinggi, berkacamata, dan memiliki brewok tipis.
Begitu melihatnya, Dian mendadak mematung.

"Ya? Cari siapa mbak?" Tanya lelaki itu.

"W-Wahyu? Kok ada kamu di sini?"

"Ini rumah saya.. hm.. Mbak ini siapa ya?

"Saya Dian. Temannya Kin-"

"Oh.." Wahyu mengangguk-angguk. Badannya menggeser, mempersilahkan masuk.
"Masuk aja. Saya ke belakang dulu bikin minum."

"Eh, di teras aja. Saya cuma mau ngobrol sebentar."

Wahyu diam sejenak tak menjawab, membuat kikuk suasana.
"Kamu dapet surat abu-abu?"

Dian mengangguk ragu "iya."

"Kalau gitu, ngobrolnya gak bisa sebentar dan gak bisa di teras."
Ia beranjak ke dalam rumah, "ayo masuk!"

*****

Dua cangkir teh manis hangat sudah tersedia di depan Dian dan Wahyu.
Keduanya duduk di kursi rotan ruang tamu sambil bertukar surat abu2 pemberian kinar.

"Mirip," gumam Dian. "Bedanya di akhir kalimat, kamu diminta tunggu kedatangan saya."

"He eh" wahyu mengangguk lalu menyeruput teh nya.

"Kamu tau kenapa Kinar tulis ini?"

Wahyu menggeleng.
"Kinar itu orang yang rumit."
Ia meletakkan cangkirnya kembali.
"Kamu juga pasti tau itu."

Dian cuma diam, tapi ia yakin tanpa sadar ia tampak kikuk ketika mengangkat cangkir tehnya.

"Entah tujuannya apa. Tapi, menurut saya, dia mau kita bisa ketemu langsung. Karena pasti Kinar sudah tau kalau kamu siapa saya dan saya tau siapa kamu."

Air teh yang diteguk Dian tiba-tiba buatnya terbatuk-batuk.

"Santai, gak saya kasih sianida," wahyu senyam senyum iseng.

"Kamu tau saya dari mana?"

"Kinar."

"Hah?!"

"Iya, dari Kinar sendiri. Kamu pikir saya buka-buka isi handphone istri saya?" Wahyu cengengesan.

Dian termenung-menung.

"Saya memang suami Kinar, tapi saya tau kalau menikah bukan berarti tidak ada batasan lagi. Kinar sendiri yang cerita tentang kamu tanpa saya tanyakan, tanpa saya paksa."

"Terus? Apa tanggapan kamu setelah kamu tau?"

Wahyu yang hendak mengangkat cangkirnya jadi tertunda sejenak.
"Yaa... saya rasa jawabannya sama dengan alasan kamu bertahan dengan Kinar."
Ia lalu meneguk teh manisnya kembali.

Dalam hati Dian ia sepaham, tapi pasti rasanya ingin buru-buru pulang gara-gara ucapan itu bikin kikuk.
Pasti. Orang asing yang biasa ia lihat di media sosial dan buat ia benci luar biasa kini ada di sebrangnya, mengajak ia duduk bersama sembari membicarakan Kinar, dan lucunya menyediakan teh manis dan bersikap santai selayaknya melihat Dian seperti teman lama.

"Kinar ada bilang sesuatu selain di surat itu?" Dian memilih menggali alasan surat-surat Kinar.

"Hm... Gak ada."

"Yakin?"

"Saya rasa sih gak ada. Kan kondisi dia terakhir udah gak bisa bicara, gerak pun susah."

"Ya, mana saya tau."

Wahyu enggan melanjutkan, baru ingat kalau Dian tak pernah hadir selama Kinar dirawat di rumah sakit.
"Mungkin.. dia cuma mau kita ketemu, ngobrol. Mungkin dia gak mau ada salah paham, supaya... ya.. mungkin bisa sama sama rela."

Dian hanya menarik nafas panjang sembari menggaruk-garuk kepala.

"Saya tinggal sebentar ya, Di. Mau ambil cemilan." Wahyu pun beranjak dari kursinya.

Kinar itu orang yang rumit. Omongan Wahyu seakan berbalik arah dengan sikapnya barusan. Dian memilih menolak diam-diam dengan membaca kembali surat yang ditujukan untuk Wahyu.

Wahyu, ini Kinar.

Entah hari ke berapa kamu buka amplop ini, tapi kita anggap ini hari ke-1.

Ini hari ke-1 setelah 430 hari. Secara hitungan, kita kalah, tapi kita tidak pernah bicara tentang kuantitas untuk bicara tentang kadar.

Saya mau bicara tentang kadar yang belum kita rundingkan. Ini kadar yang tidak bicara jumlah hari, tidak bicara label, tidak bicara identitas, dan tidak bicara dominasi.

Tunggulah tamu di rumah Jl.Mahony 22. Nanti kita bicarakan lagi.

Sampai ketemu di hari ke-2

-Kinar

Ada yang ingin diceritakan Kinar. Tentang kadar, tentang label, yang letaknya mungkin di antara 680 dan 430 hari.
Dian jadi menerka-nerka sendiri 250 hari yang Kinar pikirkan, yang Kinar lakukan, yang Dian lewati, dan Wahyu tak pernah tau.

Wahyu kembali dengan sekaleng biskuit kelapa dan sepiring kue lapis.
"Maaf ya cuma ada ini. Makanan-makanan kecil banyaknya ada di rumah Ibu, soalnya rumah ini udah lama gak ditempatin semenjak saya pindah kantor. Ini juga saya beli karena emang saya doyan nyemil ini hehe."

"Gak apa-apa. Makasih ya. Eh, Wahyu.."

"Hm?" Wahyu membuka kaleng biskuit.

"Kamu yakin Kinar cuma mau kita ketemu dan ngobrol?"

"Mung-"
Kaleng biskuit terbuka. Ada sebuah amplop abu-abu di dalamnya.
"-kin."

Dian refleks menoleh. Ia pun sedikit membelalak pada amplop yang dikeluarkan Wahyu. Sebuah amplop abu-abu yang di atasnya tertulis : 250

"Kayaknya betulan kita akan ngobrol panjang," ujar Dian.

Di dalamnya ada sebuah kertas berwarna sama didalamnya berisi pesan :

Untuk, Wahyu dan Dian.

Pertanyaan hari ini selesai pada pertemuan sekarang, tapi bertanya-tanya akan terus berlanjut

Sampai bertemu di hari kedua, kita tanyakan tentang 250 hari yang pernah terjadi.

Kita tanyakan, rundingkan, dan renungkan di Jl. Cemara 11

-Kinar


"Kinar memang orang yang rumit," gumam Wahyu.

5 Hari Setelah KinarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang