Hari ke 5
Setelah berjalan terus menerus ke arah utara, tak terasa hari ke empat sudah beralih.
Titik hentinya masih antah berantah. Petunjuknya hanya arah utara- siapa yang tau? Sampai selatan pun bisa jadi ujungnya.
Setelah berkali-kali rehat sejenak akhirnya Dian dan Wahyu memutuskan untuk benar-benar tertidur. Mereka sepakat tidur di atas pohon dengan dahan yang besar-besar untuk menampung badan mereka, supaya jejaknya untuk sementara waktu tidak ditemukan mudah.
Namun, siapa yang bisa tidur dalam kondisi seperti ini. Mata keduanya memang sudah mengerlap-ngerlip, ditambah kehausan, tapi tubuh mereka seolah otomatis terjaga terus-menerus."Kamu tidur aja. Saya yang jaga," bisik Wahyu sambil mengencangkan ikat pinggangnya yang melilit pinggangnya pada dahan pohon. Ia menunjuk ikat pinggang Dian. "Kencengin. Jangan sampe jatoh."
Dian menunduk, memeriksa. "Saya gak bisa tidur."
Wahyu sepaham. Ia lalu celingak-celinguk kebawah melihat kondisi.
"Saya mulai kelelahan."
"Yaa.. tidur sana. Dipaksa," jawab Wahyu cuek sembari menegakkan duduknya tuk menghindari ngantuk.
"Bukan itu." Dian menghela nafas. "Saya merasa kita dikejar-kejar diri kita sendiri."
"Hm?"
"Iya. Kamu sadar gak? Kinar selalu bilang "utara" tanpa jelas bilang kemana titiknya... dan terakhir belum ada petunjuk apapun."
Wahyu mendengus sinis. "Haha.. dan kamu baru bilang ini sekarang. Dari awal saya udah bilang untuk pulang dulu... bahkan harusnya saya gak harus ada di sini."
"Lucu juga yah?! Kamu gak mau tau tentang apa yang istri kamu alami sebelum dia gak ada."
"Kinar orang yang rumit."
"Dan itu jadi alasan untuk kamu gak mau cari tau tentang dia?"
Wahyu terkekeh, sarkastik. "Apa yang harus saya cari tau lagi, Di? Dia tau tentang saya, saya tau tentang dia dan kita memilih gak bicarain hal itu."
" "itu"?"
"Saya tidur dengan perempuan lain."
Bangsat, terbersit oleh Dian. Tiba-tiba ia terbayang wajah Kinar yang murung, yang tidak mengeluarkan mata berkaca-kaca, yang muramnya nyaris tak terbaca. Kinar selalu bisa tersenyum pada kondisi apapun, meski senyumnya itu tak selengkung biasanya, meski bicaranya pun hanya sepatah-dua patah kata.
"Perempuan itu yang dimaksud Kinar adalah gadis bergaun biru...Ini sudah terjadi berkali-kali, dan Kinar pun sudah tau sejak lama.. tapi entah kenapa dia memilih tidak membicarakan hal itu. Ia selalu berusaha bersikap seperti biasanya, ia masih terus menyediakan saya makan, menanyakan kabar saya."
Suara Wahyu perlahan-lahan meredam. Rautnya berubah muram.
"Kamu pasti berpikir saya brengsek. Iya, saya akui. Saya bahkan masih bertemu perempuan itu beberapa kali hingga Kinar mulai koma.. rasa bersalah itu selalu saya tutupi dengan alasan bahwa apa yang saya lakukan adalah impas dengan apa yang Kinar pernah lakukan denganmu.""Maksud kamu?"
"Beberapa hari setelah saya melamar Kinar, saya datang ke rumahnya dan saya lihat ada kamu di depan teras sedang bicara dengan Kinar."
Dian terkejut. Matanya jadi ragu-ragu memandang terlalu lama pada Wahyu.
"Saya gak tau kamu dan Kinar bicara apa, tapi waktu itu kamu dan dia seperti sedang berargumen hebat. Kamu seperti memohon-mohon dan Kinar cuma bisa nangis tersedu-sedu. Di tangannya ada bunga dan..."
"Cukup." Seka Dian tegas. Suaranya sedikit parau.
"Itu bunga lily?" tanya Wahyu menantang dengan dingin.
"Saya bilang cukup!"
Wahyu pun terdiam. Ia menarik nafas panjang.
Dian pun merengut dan mengatur nafasnya. Rasanya ia ingin menampar Wahyu keras-keras, tapi ini bukan waktu yang tepat untuk beradu.
Keduanya sama-sama lelah.
"Waktu itu saya gak tanya Kinar apa yang kalian bicarakan karena saya gak mau pernikahan saya dan dia batal," lanjut Wahyu tanpa takut. "Apa yang sebenarnya kalian bicarakan?"
"Bukan urusanmu."
Wahyu berhenti. Ia sedikit menunduk.
"Maaf saya lancang."Dian tak menggubris dan segera memejamkan matanya.
"Udahlah kita sama-sama capek. Satu jam lagi bangunin saya, kita gantian jaga."Wahyu memalingkan wajahnya sembari memperhatikan kondisi di bawah pohon dan kondisi kakinya yang belum terasa pulih.
—-
Satu jam berlalu setelah Wahyu menghitung sendiri dalam hati. Telpon genggamnya mati total sehingga tidak ada acuan apapun pada waktu.
Wahyu mulai menguap-nguap. Ia menerka-nerka pukul berapa sekarang dengan melihat langit subuh yang perlahan muncul.Saat ini kondisi masih aman. Belum ada tanda-tanda petugas kepolisian yang mengikuti.
Meski begitu, Wahyu tetap melihat ke sekeliling. Ia bahkan sesekali menyenggol kaki Dian supaya dengkurnya yang muncul jadi berhenti dan tidak memancing keberadaan.Dian tampak tertidur pulas. Wajahnya memang sudah lelah sekali sewaktu memanjat pohon.
Ia tidur.
Pulas sekali.Wahyu memeriksa kembali keadaan di bawah dan sekelilingnya. Kemudian, dengan meminimkan suara gesekan kaki dan tangan pada permukaan pohon, ia hati-hati turun.
"Bruk!"
Kakinya tak memijak tanah dengan tepat gara-gara lukanya terasa nyeri.
Ia langsung melihat ke atas, curiga Dian terbangun dibuatnya— masih aman.Dengan cekatan ia bangkit meski tergopoh-gopoh dan harus menahan sakit kakinya. Ia cepat-cepat pergi, pikirnya yang penting pergi-- entah ke selatan, timur, barat, atau manapun itu asalkan bukan kembali ke utara.
Beberapa langkah perginya tak menimbulkan bunyi, tapi dari atas Dian tau.
Perempuan itu hanya mengintip
Laki-laki itu tak akan pergi jauh.
----
Halo, terimakasih sudah membaca!
Saran, kritik, dan pertanyaan apapun boleh dicantumkan di kolom komentar yaaa
Salam,
Duduk Bungkuk
KAMU SEDANG MEMBACA
5 Hari Setelah Kinar
Historia CortaSetelah Kinar wafat, Dian dan Wahyu mendapatkan surat-surat dari Kinar yang menanyakan tentang kadar rasa, jumlah hari, label, identitas, dan dominasi semasa hidupnya. -- this story is also available on Storial.co under the username called : dudukb...