Wahyu. Laki-laki pertengahan 30 tahun itu terpincang-pincang. Ia sudah tidak ingat ia berjalan menuju mana karena letak pohon yang terpancang hingga membuatnya berjalan berlika-liku.
Matahari sedikit-sedikit cerah, namun langit gelap masih tampak gagah mendominasi, cahanya pun belum sanggup menembus celah-celah dedaunan.
Hitam pekat langit masih menang.
Menang. Kata yang selalu tertancap dipikirannya semenjak melihat Dian hadir bersamaan dengan surat dari Kinar, meski ia bertahan menghapus kata itu, meski ia harus disebut naif, tapi tidak bisa ia pungkiri bahwa kata itu ada—rasa itu ada.
Dian itu brengsek. Berkali-kali ia cetuskan pada dirinya sendiri setelah mulai gelisah, merasa bersalah meninggalkan perempuan itu sendirian di atas pohon.
Mau dia udah ditangkep, kek! Mau dia mati kegigit ular, kek! Gua gak peduli!
Lagipula, pikirnya dia dan Dian sama saja. Dian hanya membuat Kinar jadi tertekan dengan mengikuti egonya. Dian hanya membuat Kinar jadi anak perempuan yang buruk bagi ibunya, bahkan jadi sebuah aib.
Lagipula, Kinar sudah jujur tentang masa lalunya, itu berarti Wahyu pikir Kinar memang betul-betul jatuh cinta dengan dirinya. Ia mantap dengan pernyataan bahwa ia bukan jadi topeng, bukanlah cameo. Mungkin.
"Dasar anjing!"
Wahyu menengok. Dian datang dengan perawakan tegas serta langkah yang dingin.
"Mau kabur kemana kamu? Kamu pikir orang pincang kayak kamu bisa turun tanpa suara? Emangnya dengan kaki kamu yang kayak gitu kamu bisa langsung pergi jauh?"
Wahyu terkekeh-kekeh, "Kita sama dong? Sama-sama cacat!"
BUK! Sebuah tinjuan kencang menghantam pipi Wahyu.
Dian lalu mencengkram pipi Wahyu."Sekali lagi saya tanya. Apa maksud kamu ninggalin saya?"
Wahyu terkekeh-kekeh lagi. "Kamu pikir buat apa saya bertahan dengan kamu? Kamu benci luar biasa sama saya bahkan dari awal kita ketemu, apalagi sekarang kamu udah tau kalau saya bukan laki-laki yang baik untuk Kinar!"
"Dasar anjing! Anjing!!!!" Dian berteriak-teriak. Kemudian ia melepaskan cengkaramannya dengan menghempas.
Ia mengusap-usap wajah. Nafasnya mendengus cepat karena emosinya.
"Kamu betul, Di.. dan Ini semua akan useless. Ini yang Kinar mau ke kita. Kita ngejer hal-hal yang berkaitan dengan dominasi dan hal-hal yang disebut Kinar dari awal.. Kita dibuat ngejer diri kita sendiri."
Wahyu melanjutkan, "Saya rasa yang Kinar rencanakan ini adalah refleksi...Ini semua impas."
"Saya bukan kamu!"
Dian dengan cepat hendak melayangkan pukulannya.
KLIK! Wahyu menarik kunci pistol sembari sigap menodongkan tepat di depan kening Dian.
Keduanya sama-sama diam saling menatap gersang.
"Setidaknya... kalau saya ditangkap ataupun saya mati, saya punya pembuktian," ujar Wahyu. "Obrolan sebelumnya. Buat apa kamu waktu itu datang? Kamu memohon-mohon tentang apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
5 Hari Setelah Kinar
Short StorySetelah Kinar wafat, Dian dan Wahyu mendapatkan surat-surat dari Kinar yang menanyakan tentang kadar rasa, jumlah hari, label, identitas, dan dominasi semasa hidupnya. -- this story is also available on Storial.co under the username called : dudukb...