Ini hari ketiga bila disesuaikan dengan surat-surat Kinar. Di hari ini, Dian dan Wahyu pergi ke kabin sesuai permintaannya.
Perjalanan memakan waktu kurang lebih lima jam menuju lokasi. Karena perjalanan yang jauh dan lokasi yang cukup jauh dari pemukiman dan pertokoan pula yang membuat Wahyu bergagasan untuk membawa makanan instan, pakaian, dan segala peralatan lain yang dibutuhkan.
Kabin kayu tua di tengah hutan milik Kinar dan Wahyu tidak seperti di film-film horor yang terlihat gelap dan kumuh. Barang-barang di dalamnya tersusun rapi dan bersih, dinding dan lantainya masih tampak kilap cat pelitur kayu.
"Biasanya saya sama Kinar ke sini tiap enam bulan sekali," ujar Wahyu setelah meletakkan kunci mobil di meja sebelah pintu, "biasanya karena liburan atau buat bersihin tempat ini aja."
"Terakhir ke sini berarti bulan Januari?"
'Oh, terakhir saya gak ke sini buat nemenin Kinar ke rumah sakit, karena waktu itu mulai sering bolak-balik chemotherapy dan check-up dari.... November kalau gak salah... Iya, dari November. " Wahyu beranjak ke pantry, memeriksa makanan-makanan basi yang tersisa di kulkas.
Dian mengangguk-angguk sembari melihat-lihat ruang tengah yang penuh beberapa bingkai berisi lukisan cat air buatan Kinar. Beberapa di antaranya ada yang ia kenali karena dibuat di waktu senggang di apartemen Dian.
****
"Ngelukis apa?," ujar Dian dengan membawa sebuah mug berisi teh untuk Kinar.
Kinar melirik sebentar lalu kembali menoreh cat airnya. "Bunga lily."
"Hm? Tumben. Kamu kan gak suka bunga."
Kinar menyeringai iseng disertai tawa kecil, "Aku gak suka banyak ditanya!" kemudian menyolek hidung Dian dengan kuas.
****
Dian lalu melepas ranselnya kemudian duduk di sofa.
Lagi-lagi Kinar tidak pernah menceritakan tentang adanya kabin ini, pun tidak pernah tersebut keinginan memilikinya. Lagi-lagi Dian jadi terpikir kompetisi untuk memenangkan orang yang sudah tidak ada—kompetisi yang tidak ada gunanya, yang kalau dipikir-pikir terbukti dari omongan spontan Dian kemarin pada Wahyu. Padahal yang lebih meresahkan adalah bukan tentang siapa milik siapa, atau jumlah hari yang lebih banyak, tetapi tulisan-tulisan Kinar yang menjadi bukti kalau jumlah dan label tidak mengartikan tau segalanya.
Wahyu datang ke ruang tengah dengan dua kaleng softdrink. "Mau gak? Cuma ada ini. Udah lama gak ke sini jadi gak ada stok makanan, di kulkas juga udah banyak yang expired."
"Thanks."
"Istirahat sebentar ya. Abis ini kita cari suratnya di mana."
Dian setuju. Ia pun meminum minumannya sembari celingak-celinguk ke sekeliling ruangan. Pandangannya terhenti pada suatu lukisan. Tegukannya pun berhenti.
Ia kembali mendekat pada deretan lukisan yang sebelumnya ia lihat. Kemudian, ia dekati lukisan yang menariknya itu—yang warnanya kuning pudar, yang tak seperti pekatnya warna di lukisan lain.
"Itu lukisan-lukisan buatan Kinar," ujar Wahyu.
Dian tak menggubris. Ia terus memperhatikan satu lukisan di depannya—sebuah lukisan tumpukan bunga lily. Kemudian Dian mundur beberapa langkah dan melihat lagi lukisan itu—Ada angka 680 yang terbentuk dari tangkai-tangkai dan kelopaknya. Tidak akan terlihat bila hanya sekilas.
KAMU SEDANG MEMBACA
5 Hari Setelah Kinar
Short StorySetelah Kinar wafat, Dian dan Wahyu mendapatkan surat-surat dari Kinar yang menanyakan tentang kadar rasa, jumlah hari, label, identitas, dan dominasi semasa hidupnya. -- this story is also available on Storial.co under the username called : dudukb...