Semalaman Dian tak tidur. Sama sekali matanya tak layu, yang ada malah sembab.Kerjanya cuma meringkuk di kasur sembari memeluk kaos Kinar yang tertinggal, yang entah kenapa wangi parfum lily nya masih menempel.
Ini hari ke-1. Seharusnya tidak perlu diingat lagi 680 hari itu. Tetapi parfumnya, kaosnya, lipstiknya, bahkan segala memori yang tak teraga mengisi sudut-sudut ruang kamar hingga dapur apartemen Dian. Pikir Dian, jangan-jangan sampai muncul 680 hari yang lain matanya malah amat membengkak.
Ini hari ke-1.
Ke satu..
Satu...
Sa..
S...
Senin!
Ini hari senin!
Dian baru ingat seharusnya dia bergegas berangkat ke kantor sejak sejam yang lalu.
Dasar, Kinar! , pikirnya.Iya, gara-gara Si Kinar ini Dian jadi telat ke kantor. Kemejanya sempat salah kancing dan sepatunya hampir beda sebelah. Sialnya lagi, matanya sembab, sampai-sampai teman kantornya bertanya-tanya;
"Eh, kenapa lo? Abis nangis?"
"Beb, lo baik-baik aja kan?"
"Di, itu lo abis nangis apa abis begadang?"Dian hanya balas senyum disertai 'gak apa-apa kok" pada tiap pertanyaan.
Untungnya, semua pertanyaan, semua yang berkaitan dengan hari ke-0 ditutupi sementara dengan kesibukan di kantor. Rasanya Dian ingin lembur di kantor dari pada harus pulang dan pastinya akan meringkuk lagi."Pak, ada lagi yang perlu saya kerjain?"
Si bos melirik sebentar lalu bergelut kembali pada dokumen yang sedang ia kerjakan.
"Gak ada. Palingan lusa, pas ada hasil meeting."Dian diam sebentar, "kalau yang bisa saya bawa pulang ada, Pak?"
Si bos melirik lagi. "Laporan bulanan aja dicicil."
"Baik, Pak!"
Jam 8:20.
Macet selama perjalanan membuat tugas yang seharusnya jadi distraksi malah jadi tertunda sepanjang lamunannya di dalam kereta dan taksi. Belum lagi lelahnya harus dilepas dengan mandi. Kemudian, Dian lekas membuka berkas tugasnya, alih-alih membuatnya lupa tuk berbaring di kasur.
Sembari mengetik, ia menyalakan TV sebagai latar belakang suara. Suara semilir angin AC ikut menyertai. Sesekali ada suara klakson mobil yang tetap terdengar ke lantai 17. Sesekali ia menulis catatan untuk tugasnya. Pokoknya, semua jadi pengisi.
Sampai akhirnya tinta pulpen Dian habis.
Dian mencari-cari pulpen lain di tempat pensilnya, tapi semuanya hilang, cuma ada tipp ex, gara-gara teman-teman kantornya banyak yang pinjam pulpen tapi lupa dikembalikan.
"Ck!" keluh Dian sembari menutup kembali tempat pensilnya.
Ia lalu membuka laci meja samping tempat tidur, biasanya ia meninggalkan pulpen yang sering dipakai untuk mengisi sudoku sebelum tidur. Untungnya ada.
Ia menutup laci, tapi ketika setengah tertutup, ada yang mengalihkannya dari dalam sana.
Ada amplop abu-abu muda masih tertutup rapat.
Di baliknya bertuliskan : Satu. Tulisan tangan yang ia kenal sekali. Karena itu ia sempat mematung beberapa detik, enggan membukanya.
Bangsat, pikir Dian. Harusnya hari ini jadi awal untuk distraksi dari hari ke-nol.
Ia pun membukanya. Isinya secarik kertas dengan warna yang persis dengan warna amplop, di dalamnya ada sejumlah kalimat dengan tulisan tangan yang sama.
Dian, ini Kinar.
Entah hari ke berapa kamu buka amplop ini, tapi kita anggap ini hari ke-1.
Ini hari ke-1 setelah 680 hari. Secara hitungan, kita kalah, tapi kita tidak pernah bicara tentang kuantitas untuk bicara tentang kadar.
Saya mau bicara tentang kadar yang belum kita rundingkan. Ini kadar yang tidak bicara jumlah hari, tidak bicara label, tidak bicara identitas, dan tidak bicara dominasi.
Pergilah ke Jl. Mahony 22. Nanti kita bicarakan lagi.
Sampai ketemu di hari ke-2.
-Kinar
KAMU SEDANG MEMBACA
5 Hari Setelah Kinar
סיפור קצרSetelah Kinar wafat, Dian dan Wahyu mendapatkan surat-surat dari Kinar yang menanyakan tentang kadar rasa, jumlah hari, label, identitas, dan dominasi semasa hidupnya. -- this story is also available on Storial.co under the username called : dudukb...