Keep Heading to the North, She Said

13 1 0
                                    

Sudah jam 3:12 berdasarkan yang tertera pada layar handphone Dian yang nyawa baterainya sudah semaput.
Itu juga ia otomatis melihatnya karena terbangunkan oleh bunyi-bunyi jangkrik dan hawa dingin yang menyusup sela-sela baju dan celananya.

*hari keempat* pikirnya tanpa bicara.

Ia melihat kondisi sekitar. Di bawah kakinya hanya rumput-rumput liar dan beberapa helai daun kering berserakan. Di sekelilingnya adalah pohon-pohon besar yang tersusun secara acak namun mengerumun, ujungnya yang menjulang nampak memberi bingkai pada langit gelap bila memandang keatas.

Di belakang Dian adalah sebatang pohon besar yang ia sandari. Ia baru ingat ia tertidur sepanjang malam setelah kelelahan melarikan diri dari penembakan sore itu, yang dialaminya bersama laki-laki sinting yang turut rela jadi napi untuk menutupi napi yang padahal bukan napi.

Dian melihat kondisi Wahyu yang ada disebrangnya.
Laki-laki itu masih tertidur pulas dengan posisi duduk bersandar pada pohon dan siaga memegang senter serta pistol pada masing-masing tangannya.

*dasar, Kinar!* decak Dian. Lagi, tanpa bicara.
Tak habis pikir olehnya menghabiskan waktu di hutan dengan laki-laki yang sama-sama jadi peran utama dalam hidup Kinar, namun sebetulnya sama-sama peran cameo dalam entah apapun itu bagi Kinar — entah hanya sebagai orang untuk formalitas, pemuas rasa, pemuas nafsu, status sosial, atau pilihan yang tidak bisa dipilih.
Pastinya, bagi Dian dan Wahyu, entah jadi peran utama atau cameo, mereka adalah peran penting bagi Kinar— mungkin benar, mungkin juga ironi.

Bunyi rumput dan daun kering terinjak menyuara dari kejauhan, tepatnya dari arah samping. Volumenya berbisik, temponya lambat, mirip seperti orang sedang berhati-hati.

Dian mengambil tanah keras yang menggumpal menyerupai kerikil dan melemparkannya pada Wahyu.

Wahyu terbangun mengedap-ngedip, berusaha cepat membuka lebar matanya.
Dilihatnya Dian memberi kode dengan mengacungkan telunjuk di depan bibir.

Dengan mengendap-ngendap mereka pun sepakat berpencar, bersembunyi pada balik pohon.

Cahaya senter itu makin mendekat,seiring dengan langkah kaki yang berderap hati-hati. Gerak cahaya tersebut pun sesekali berpindah-pindah, mengenai pepohonan dan membentuk bayang-bayang di tanah.

"Ck!" Pria tersebut mendecak. Ia lalu mengambil HT dari seragamnya. "Lapor. Masih belum ada tanda dari tersangka. Sekali lagi, belum ada tanda dari tersangka. Ganti."

Bip! Tak lama muncul balasan, "oke semua kembali ke markas. Pencarian dilakukan besok."

Ia pun membalik badan, kembali ke arah sebelumnya. Saat ia berbalik, cahaya senternya menangkap sebuah bayangan bergerak sedikit di antara pohon-pohon.

"Eh.."

Matanya mengernyit-ngernyit. Ia lalu mendekat.

"Halo?!"

Dian buru-buru berpindah. Bunyi pijakannya tetap menarik perhatian si polisi meski sudah diredam.

"Hoi! Saya tau kamu di sana!" seru polisi.

Wahyu berinisiatif mengambil sebuah batang kayu kering lalu berpindah dari satu pohon ke pohon lain tuk lebih dekat ke belakang si polisi.
Langkahnya yakin. Perlahan-lahan ia mendekat, mendekat, lalu mengayunkan tangannya dan menghantam kepala si petugas sampai ia terjatuh.

Dian mengintip dari kejauhan dengan bantuan senter petugas yang tergeletak dan cukup mengarah pada posisi Wahyu.

Di sana Wahyu terdiam, lama sekali. Wajahnya tampak pucat dan nafasnya seperti tak teratur. Ia memukul sang petugas sekali lagi dan lagi.

5 Hari Setelah KinarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang