2018
"Pulanglah denganku," tutur Dian nyaris meringis. Tangannya memegang erat lengan Kinar yang ingin meronta bersamaan dengan bouqet bunga lily ditangannya.
"Kinar... kita bisa ke Portland dan bikin rencana baru."Bibir Kinar tak bergumam. Kelopaknya memejam-mejam, berusaha memasang tatapan keji, marah, atau apapun itu yang bisa membuat Dian menjauhi teras rumahnya.
"Saya sudah punya rencana sendiri... dan itu bukan denganmu.""Kamu gak usah bohong!"
"Shh!!" sontak Kinar dengan telunjuk di jarinya. Ia menengok-nengok ke dalam rumah, takut sang Ibu tau siapa tamu di sore itu.
Sore itu gerimis hampir menjadi hujan. Suara gemuruhnya cukup menyembunyikan denyit pintu pagar dan hentak sepatu Dian yang datang ke rumah Kinar.
"Kinar, kamu harus jujur dengan diri kamu sendiri," lanjut Dian dengan berbisik. "Gak semua orang harus kamu buat bahagia."
"Betul," Kinar mengangguk tegas. Tatapannya mendadak kering sekali. Seperti pasrah, namun ada dendam.
"Tapi bahagia itu bukan kompetisi. Saya tidak bisa menjatuhkan satu agar yang lain bahagia. Untuk itu saya mengorbankan saya sendiri dan belajar untuk menjalani hidup seperti apa yang semestinya."Dian mendecak, "jadi kamu memilih menutupi siapa diri kamu?"
"Bukan. Saya berusaha mengerti diri saya sendiri."
"Lalu gimana dengan Wahyu? Apa dia tau? Apa dia betul-betul mengerti?"
Pertanyaan yang memotong itu langsung membuat Kinar diam lalu perlahan-lahan tersenyum. Rasanya Dingin, Sunyi sekali, mendadak gerimis seperti tak beruntun jatuh satu persatu
"Saya akan menikah," tutur Kinar singkat, tegas. "Maka berhentilah, Di."
Kemudian Dian tak berkata-kata lagi. Ucapan terakhir Kinar membuat lidahnya kelu. Hujan saat itu seperti turut menghujam dada tanpa ampun.
Berhentilah
——07:24
Sore yang dipertanyakan Wahyu itu mendadak seperti kembali terputar ulang, seperti memencet tombol "rewind" pada pemutar kaset—bertubi-tubi.
Saat ini Dian terbaring termenung, kaku, dengan sebelah terborgol pada jeruji tempat tidur. Tangan sebelahnya tertanam selang infus. Kedua kakinya seperti mati rasa.
Ia tersadar dirinya di rumah sakit. Entah apa yang terjadi, ditambah ketika ia menyibak selimut yang menampakan perban di pahanya. Lalu diselimuti kembali kakinya— ia jadi dibuat linglung dengan apa yang terjadi.
Beberapa hal yang ia ingat sebelum duduk di ruangan itu adalah suara tembakan dan Wahyu yang seketika terkulai, setelah itu hanya samar-samar dan teriakan orang-orang entah dari mana."Krek!" Pintu ruangan terbuka.
Dian melirik sedikit tak bertenaga.
Seorang pria mengenakan seragam polisi datang menghampiri membawa sebuah map berisi kertas-kertas. Ia kemudian menduduki kursi kosong yang tersedia di samping ranjang.
"Dian Cahya Ayu, betul?" tanyanya sambil membetulkan posisi duduknya.
Dian tak menjawab. Rautnya sudah pasrah diiringi dengan pipinya yang berminyak dan kusam.
Ia melirik nama yang tercantum di seragam petugas tersebut. Ismail, seperti familiar.Petugas pernama Ismail itu menarik meja makan beroda di dekatnya kemudian setengah membanting map yang ia bawa, "Gimana kondisi Mbak Dian? Lukanya masih terasa?"
"Masih sedikit sakit," Dian menggoyang-goyangkan sedikit kakinya. "Sebenarnya... kejadiannya bagaimana ya? Laki-laki yang subuh tadi dengan saya ke mana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
5 Hari Setelah Kinar
Short StorySetelah Kinar wafat, Dian dan Wahyu mendapatkan surat-surat dari Kinar yang menanyakan tentang kadar rasa, jumlah hari, label, identitas, dan dominasi semasa hidupnya. -- this story is also available on Storial.co under the username called : dudukb...