Pesan dari Kinar (part 2)

12 1 0
                                    

...Ia menarik kursi makannya— posisi dimana ia biasa melukis sembari menghadap jendela.

Cat, kuas, dan paletnya sudah tersedia. Buku lukis nya pun ia buka lalu ia periksa satu persatu lembar mana yang masih kosong.

Ketika sedang membuka beberapa helai, terselip satu kertas yang tidak tersambung dari bukunya, tekstur kertasnya pun berbeda.
Kertas itu sudah ada lukisannya— lukisan bunga lily.

Dian seketika terhenti. Dengan gugup ia mencoba membalik lukisan itu.



Untuk Dian,

Tidak ada hari ke lima. Pun jika ada, kamu akan berharap yang ke enam, ketujuh, dan seterusnya.

Tidak lelahkah kamu dengan yang terus-menerus?

Tidak lelahkah kamu dengan yang tak menuju apa-apa?

Saya tau jawabannya.

Saya tau karena kamu membaca surat ini dan Wahyu antara sudah mati atau menyerahkan dirinya.

Ini rencana kami, sekiranya begitu sampai kabin miliknya bukan bagian dari rencana yang ia tau.

Ini rencanaku, Di. Semua kusiapkan jauh hari sebelum aku pergi.

Aku yang menulis semua surat-surat itu dan meminta Wahyu meletakkan surat-surat sampai hari ke-2 tertata rapi sesuai pada tempat yang kuminta.

Ia tau tentangmu, saya tau tentangnya.
Wahyu kira ini celah yang kuberikan untuk mencari apa lebihnya dirimu dan kurangnya dirinya.
Untuknya, ini bukan kesempatan mengoreksi diri atau berdamai dengan masa lalu, melainkan persaingan tentang siapa yang kasihnya paling menghujam.

Untuk Wahyu segalanya harus sempurna.
Wajar.
Ia lahir di keluarga serba berkecukupan, ayah-ibu lengkap, prestasi cemerlang, karirnya mulus.

Kemudian kami menikah.
Ia berani memberi cacat pada hidupnya.
Saya berani menipu diri.
Kami berdua mengambil resiko besar dan itu yang membuat kami berdua berkomitmen.
Kami berdua percaya hidup harus menjadi sesempurna mungkin.

Saya hanya ingin menjadi apa yang disebut sebagai "normal", Di.
Kamu selalu tau saya ini keras, saya tidak pernah peduli apa kata orang, tetapi mulut orang lain itu selalu jahat dan mampu membuat siapapun melumat tanpa ampun.
Hingga akhirnya saya lelah dan saya pikir sudah waktunya mencari titik aman.

Saya dan Wahyu menjalani hidup sebagaimana pasangan semestinya.
Lucunya, kami berdua hanya bisa menerka-nerka perasaan kami.
Rasa itu bukanlah hal penting.
Yang terpenting adalah hidup sesempurna mungkin, mencari titik aman.

Sampai gadis bergaun biru itu datang. Pada saat itu saya yakin kita menikah memang bukan atas dasar perasaan.
Wahyu tampak tau kalau saya sudah tau tentang malam itu namun ia diam saja. Ia justru membiarkan saya nyaris menelponmu kembali—mungkin ia pikir itu setimpal.

Iya, Di. Saya nyaris mengangguk pada rencana Portland.
Bukan karena saya takut Wahyu marah, tetapi saya ingat, itu hanya akan membuatmu menangis satu kali lagi.
Saya benci itu.

Agustus 2017. Saya divonis kanker stadium lanjut. Wahyu tidak lagi bertemu gadis bergaun biru itu. Sikapnya berubah manis seperti awal pacaran, seperti awal menikah, seperti merayakan saya akan mati.
Apa yang ia lakukan hanya untuk menjadi tampak sempurna. Supaya ia tampak jadi laki-laki romantis yang ada disisi istrinya hingga akhir hayat dan memenuhi segala permohonan istrinya sebelum pergi.

Dan saya pun memberikan rencana itu padanya. Ia kehendaki semata-mata untuk jadi suami yang serba tau tentang pasangannya—tuk jd lelaki sempurna.

Dan kamu? Lucunya justru kamu yang punya rasa tak berkesudahan.
Bahkan setelah bertahun-tahun semua angan-anganmu di siang bolong itu masih ada.
Saya tau karena kamu tidak pernah menjenguk saya satu kalipun. Saya tau kamu, Di.. kamu orang yang pintar memilah waktu dan pekerjaan yang sengaja disibukkan adalah distraksi.

Dan karena itu saya pertemukan kamu dengan Wahyu. Sebagai cermin.
Sesungguhnya saya jatuh cinta dengan orang yang sama— yang merasa memiliki karena label, memiliki atas dasar lebih dulu bertemu, memiliki atas dasar janji yang dibuat-buat sendiri.

Memiliki
Memliki
Memiliki

Kalian berdua hanya jatuh cinta yang kalian buat-buat sendiri.

Saya relakan dirimu pergi sejak pertama kamu nyatakan rasa waktu itu. Pun berlaku pada Wahyu.

Sekarang relakan saya pergi, Di.

Berhentilah.


Salam terakhir,

Kinar



Isi dada rasanya seperti ditumbuk-tumbuk.
Dian bahkan tak sanggup menangis. Setelah membaca surat dengan tulisan tangan Kinar itu ia hanya bisa melamun pada satu kata terakhir :
'Berhentilah'.

Mendadak pikirannya melayang pada sudut bibir Kinar di pagi hari, yang menanyakan mimpi tadi malam. Mendadak pikirannya melayang pada kulit Kinar yang halus dan menelaah pipi. Celah-celah jarinya yang mengapit erat jemari Dian seakan enggan membiarkan celahnya kembali kosong. Dua matanya yang merekah dan berhenti sebelum bibir tipisnya mencium dengan hati-hati.
Dan semuanya mungkin hanya karena jatuh cinta yang dibuat-buat.

Kinar, kalau memang tak sekalinya kamu jatuh pada siapapun. Setidaknya aku pernah memberikan rasa aman yang kau idam-idamkan. Setidaknya kita tersadar bahwa masing-masingnya hanya jatuh cinta pada diri sendiri.
Kita orang paling menyedihkan yang hanya mau mendominasi, hanya mau memiliki, hanya mau menang sendiri.
Kita bertiga orang paling menyedihkan, paling brengsek.
Ini bukan kompetisi. Bahkan benar apa katamu, ketika memulai sudah seharusnya bicara rela.
Memang sudah saatnya berhenti, hanya tinggal bertanya kapan memulainya.

5 hari setelah Kinar pergi, masih banyak yang tertinggal.

Namun, semua dipaksa kembali pada hari ke-0, satu kali lagi.

—tamat—

5 Hari Setelah KinarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang