Gawai yang berada dalam saku baju berdenting. Satu pesan masuk dari Om Rudy.
[Om tunggu di depan toko sepatu Alliya.]
Gerbang sekolah masih ramai dilewati para siswa-siswi setelah bel pulang berbunyi. Aku duduk di kursi kayu depan kelas sepuluh dua, menunggu suasana sunyi agar tidak ada yang tahu bahwa aku sering berkencan dengan seorang lelaki yang lebih pantas menjadi ayah. Karena, kelas ini yang paling dekat dengan gerbang sekolah.
Para guru satu persatu mulai meninggalkan lokasi sekolah dengan kendaraan pribadi mereka, ada juga yang dijemput oleh ojek online.
“Vanessa, belum pulang?” tanya Pak Angga ketika suasana sudah benar-benar sunyi.
“Belum, Pak, nunggu jemputan,” jawabku tanpa menoleh.
“Mari biar Bapak antar,” ucap Pak Angga menawarkan.
“Gak usah, Pak. Sebentar lagi jemputan bakalan datang,” elakku.
Diluar dugaan, Pak Angga mengambil posisi duduk tepat di sisi kananku. Aku yang sedang sibuk berbalas pesan dengan Om Rudy, seketika menghentikan ketikan di layar smartphone. Pak Angga adalah guru olah raga baru di SMA ini, baru bertugas selama seminggu. Belum mengetahui tentang seluk-beluk kehidupanku. Jangankan Pak Angga, guru yang lainnya pun belum ada yang tahu.
“Biasa dijemput jam berapa?” tanya Pak Angga dengan menatap pergelangan tangannya.
“Eee, ini jemputannya udah sampai kok, Pak. Saya pergi dulu. Permisi.” Aku bangkit dan berjalan dengan cepat keluar pagar.
Toko sepatu Alliya, aku melirik satu persatu nama toko yang terletak tidak jauh dari sekolah. Mobil hitam dengan plat nomor yang sudah kuhapal sedang terparkir di sana. Cepat, aku berlari dan mengetuk kaca mobil untuk memberi isyarat agar pintunya dibukakan.
“Lama ya, Om?” tanyaku pada pria yang mengenakan kemeja hitam dengan lengan pendek itu.
“Gak lama kok, baru setengah jam,” jawab pria itu dengan senyum khasnya.
“Setengah jam itu lama loh, Om. Kalau Vanessa yang nunggu pasti gak bakalan betah.” Aku memasang sabuk pengaman sebelum mobil meluncur dengan cepat.
“Ah, gak lama kok. Kalau buat kesayangan Om, akan Om tunggu meski harus menunggu seharian,” ucap Om Rudy dengan menatapku penuh kasih sayang.
“Kita hari ini jadi belanja ‘kan, Om?” tanyaku penuh antusias.
Om Rudy mengangguk mengiyakan. Aku bersorak gembira, pria yang satu ini selalu saja memberikan apa yang kuminta, menuruti semua yang aku inginkan.
“Om, berhenti di depan ya. Vanessa mau ganti baju dulu,” pintaku pada Om Rudy.
Mobil melambat dan berhenti tepat di depan tempat yang kuminta. Aku segera turun dengan membawa tas yang berisi baju ganti dan peralatan make up. Hanya itu isi yang ada di dalam tas, karena semua buku aku tinggalkan di dalam laci meja.
“Jangan lama ya, Sayang.”
“Siap!” Aku mengacungkan jempol.
Toilet umum memang selalu menjadi tempat terbaik untuk mengganti kostum. Dengan memakai rok di atas lutut dan blues putih tanpa lengan, ditambah polesan make up, tidak akan ada yang menyangka bahwa aku masih kelas tiga SMA.
Aku menatap pantulan wajah di kaca. Sudah sempurna, hanya tinggal merapikan alis sedikit lagi. Ponsel yang aku letakkan di dalam ransel berdering, aku meraih ponsel sambil membenarkan alis.
“Sayang, acara kita dipending dulu ya. Om ada urusan mendadak, uang ongkos pulang kamu sudah Om titipkan sama penjaga toilet.”
Panggilan terputus sebelum ucapan Om Rudy kubalas. Aku menghela napas panjang. Kecewa dengan sikap si Om karena telah memberikan harapan besar. Jika hanya ongkos pulang, aku punya, bahkan ada sisa banyak.