[LANGIT] - Ke Mana Jiwa yang Bebas Akan Menetap

130 8 0
                                    

Juni 2019

"Alhamdulillah... akhirnya selesai juga," ucapku sembari meregangkan badan serta lekas mematikan daya laptop di hadapanku.

Ini adalah pekan yang menyibukkan bagiku. Aku bekerja sebagai pekerja lepas di bidang pemasaran. Kali ini aku berkesempatan melayani klien yang merupakan salah satu perusahaan besar asal Kota Semarang.

Hujan turun di luar mulai terdengar deras. Aku pun bersegera membuka pintu antara kamarku dengan balkon. Aku mengeluarkan tanganku untuk merasakan tetesan airnya. Dan penciumanku menghirup semerbak aroma petrikor.

Aku menatap ke atas, melihat keindahan yang diambil sebagai namaku, Langit. Sebuah nama yang memberikan doa jiwa yang bebas. Langit, yang bebas memberi kecerahan, berawan maupun hujan bahkan badai di manapun dan kapanpun sesuai dengan kehendak Sang Maha Arif tentu saja.

Sebab jiwa bebas itu, aku tidak pernah ingin menjadi pekerja kantoran dan memilih menjadi pekerja lepas seperti saat ini. Aku juga dapat bebas menentukan sendiri saat bekerja dan berliburku. Karena aku ingin bebas menentukan waktuku untuk terus berpetualang menjelajah berbagai belahan bumi bersama motorku.

Aku menoleh memandang ke dinding kamarku yang terpajang foto-fotoku di berbagai kota bersama motor gede pabrikan Jepang andalanku. Lalu aku berbalik keluar menuju balkon untuk merasakan nikmatnya tiap tetesan air yang jatuh.

Aku ingin mandi hujan. Aku tidak peduli sekujur tubuhku yang dilapisi kaos dan celana panjang basah kuyup. Aku berlarian terus mengelilingi balkon bawah yang langsung beratapkan langit itu, sampai...

"Buk!" suara tubuhku berbentur tanah balkon ini karena terpeleset.

Aku pun hanya meringis kesakitan dan berusaha membangkitkan punggungku. Setelah mampu duduk bertumpu kedua telapak tanganku, aku kembali mendongakkan kepala. "Wah, bakal lama nih hujannya," gumamku dalam hati setelah melihat awan mendung yang cukup gelap merata.

Katanya hujan selain membawa air juga akan membawa memori. Aku tidak begitu mempercayai hal tersebut. Kalaupun ada memori atau kenangan di masa lalu yang teringat ya bagiku itu karena memang waktunya terbuka saja ingatan itu. Bukan sebab cuaca hujan yang membawanya.

Nyatanya, dalam posisi duduk dan diam di tengah hujan kali ini tiba-tiba aku teringat kenangan tiga tahun lalu. Bayangan kejadian itu hadir kembali, tepat di tengah derasnya hujan turun seperti saat ini.

----------------

Juni 2016

Hujan kali ini membuat orang jadi bersegera untuk pergi bahkan terburu-buru. Sempat kudengar sedikit kebisingan hilir mudik manusia selama aku di toilet. Sepertinya mereka langsung bergegas pulang dari kampus ini, sebab ketika aku keluar dari toilet lorong-lorong telah terasa sepi dari kehidupan.

Suasana kali ini membuatku yang biasanya masih ingin berlama-lama di laboratorium kampus menjadi berubah pikiran. Sepertinya aku bisa segera pulang dan menikmati senja hari di pelataran rumah pikirku. Dalam langkahku yang mulai bersemangat di kesunyian teralihkan ketika melihat sosok yang aku kenal.

"Eh, Asep! Ngapain?" tegurku kepada Asep yang terlihat sibuk membaca proposal.

"Oy Langit, biasa lah...," jawabnya, yang membuat aku sempat diam berpikir.

"hoo, masih aja beginian. Ya udah, aku duluan ya" pamitku yang baru ingat kalau kawanku itu seorang kepala eksekutif mahasiswa.

Aku berniat langsung keluar dari kampus untuk segera merasakan hujan turun. Entahlah, aku selalu bersemangat membasahi tubuh dengan air hujan dan menikmati tiap tetes air yang turun dari langit. Tapi semangat itu kali ini tertahan di lorong gedung B.

Aku melambatkan langkahku, dan memperhatikan satu sosok ini dengan perlahan. Setelah kupastikan, benar saja itu dia. Dia mungkin bukan siapa-siapa, tapi aku selalu merasakan ada yang berbeda ketika di dekatnya. Aku mendekatinya, dan yap dia segera memalingkan wajahnya menghadapku yang membuat aku gemas.

Langsung saja kudekap dan elus-elus dia. Dia adalah kucing yang sering menghampiri aku dan kawan-kawanku di laboratorium. Si kucing ini berbulu putih bercorak hitam begitu menggemaskan, namun aku tidak tau namanya. Kawanku sempat memberinya nama tetapi aku selalu tidak ingat.

Pada saat mendekap si kucing, aku kemudian menyaksikan di pelataran ada Faith seorang diri menatap hujan. "Jomlo banget sih," pikirku. Tanpa pikir panjang aku hampiri saja si jomlo ini.

"Menunggu siapa Fe?" tanyaku dengan menyebut panggilan Faith.

Sempat gadis itu tertegun beberapa detik sebelum menjawab, "Tuh, masih hujan." Momen itu membuatku tersenyum sendiri melihat tingkahnya.

Namun karena hasrat ingin segera merasakan hujan langsung saja aku pamit meninggalkannya, "Oh, kalo gitu aku duluan ya?"

Langsung saja ku bergegas mengambil motor di parkiran. Tetapi ketika menghidupkan mesin sepeda motorku aku sempat terpikir "Eh, kenapa aku tinggalin Fe gitu aja?""Ah, biarlah namanya juga jomlo," elak pikiranku sendiri yang dilanjut tancap gas segera meninggalkan kampus.

[bersambung]

FAITHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang