Akhir Juli 2019
"Seumur-umur aku gak pernah masuk ke toko emas, Bund! Jangankan itu, merhatiin cincin atau kalung aja enggak" keluhku pada Bunda yang sejak tadi tiada habisnya. Bagiku cincin-cincin itu semuanya sama, berkilauan dan mahal. Nyaris tak ada beda.
"Kalau dari dulu gak cuma merhatiin motor sih harusnya udah ngerti, udah dapet pasangan dari kemarin-kemarin malah" ledek Bunda sembari tetap jeli memerhatikan deretan cincin di etalase toko.
Acara khitbah dan prosesi lamaran yang dilangsungkan beberapa waktu belakangan sukses dilaksanakan, kini giliran masing-masing mempersiapkan segala pernak Pernik kebutuhannya. Setelah weekend kemarin Papa menemaniku memilih dan mengukur baju, hari ini merupakan jadwal memilih cincin kawin dan segala perlengkapan yang berkaitan dengan calon mempelai wanita nantinya. Bunda dengan sigap menemaniku ke penjuru kota, lengkap dengan daftar kebutuhan di tangan kiri, dan smartphone di tangan kanannya.
Sejujurnya aku masih tak percaya kalau ini nyata, aku akan segera menikah! Dengan Haura, gadis yang tak pernah kupilih sebelumnya. Sekian tahun lamanya berusaha menghindar dari setiap pertanyaan 'kapan' 'kapan' dan 'kapan' yang membuatku semakin muak dari waktu ke waktu.
Apakah sudah tidak ada lagi basa basi yang tak terlewat basi? Bertanya kabar misalnya, atau capaian apa yang sudah berhasil ku raih hingga detik ini, atau minimal tempat mana lagi yang sudah aku kunjungi dengan motorku.
"Kalau yang ini gimana? Bagus banget kan..." mata Bunda berbinar binar.
"Aku ikut pilihan Bunda aja" ujarku pasrah.
Semoga pilihan itu yang terbaik, sama seperti wanita yang bunda pilihkan untukku.
***
Masih jelas dalam ingatan.
"Aku mau bicara terus terang sama kamu" Haura membuka percakapan kala itu
Hal yang entah harus aku sesali atau syukuri dikemudian hari. Karena entah mengapa akhirnya aku iyakan permintaannya untuk bertemu, hanya berdua. Sesuatu yang sepertinya belum pernah lagi kulakukan, bahkan sejak SMA maupun kuliah.
"Aku sudah cukup lama kenal sama kamu, banyak kegiatan yang kita lalui bersama sejak kuliah. Dan aku rasa aku sudah cukup yakin kalau kamu orang yang baik" Haura meneruskan.
"Ya, terus kenapa?" ujarku agak cuek namun tetap menaruh rasa penasaran, 'aku paham arahmu kemana, hau!' ungkapku dalam hati.
"Aku gak paham rasamu yang sebenarnya ke aku seperti apa, tapi katamu sendiri dalam taujih-taujihmu, janganlah menjadi insan yang abu-abu. Perjelas sikapmu dihadapanNya".
Terhenyak aku mendengar kelugasan sikap dan perkataannya. Haura memang sahabat baikku sejak kuliah, aku yang agak cuek masalah kuliah ini seringkali dibantu olehnya, kami juga tak jarang terlibat berbagai macam kegiatan bersama, baik organisasi maupun praktikum. Boleh dibilang kami memang dekat, namun sejujurnya, tidak sedikitpun aku pernah terbersit 'rasa' padanya. Semua berjalan normal-normal saja.
Atau hal itu terjadi karena ada seseorang yang telah lama mengganggu perasaanku?
"Hahh... kamu serius, Hau?" Ungkapku tak bisa menahan keheranan.
"Jawab aja, kalau enggakpun aku bisa melupakan itu semua detik ini juga" Haura berkata tegas.
"Hmm aku tanya Bundaku dulu ya.. hehe" ujarku spontan sembari menyumpah serapah dan mengutuk diri sendiri dalam hati. 'bodoh! Kenapa ngomong seperti itu'
"Menurutku laki-laki jawabnya gak seperti itu" Haura masih menimpali.
"Ya sudah, tunggu jawabnya di rumahmu ya. Kalau iya aku akan datang, kalau enggak kamu paham artinya apa" jawabku memberi kepastian.
Pikiranku berputar kepenjuru semesta. Entah apa pernah ada laki-laki yang mengalami hal yang sama seperti diriku ini...
***
Desember 2016
Suasana kelas riuh ramai, ciri khas dosen tak hadir memberikan kuliah. Alih-alih ke kantin, atau bahkan pulang, banyak dari kami yang memilih tetap bertahan di kelas dan memanfaatkan waktu jeda ini untuk belajar. Maklum, Ujian Akhir Semester kini tinggal menghitung hari, setumpuk materi harus dikuasai atau kami akan terjebak lebih lama lagi di kampus ini. Akupun demikian, berhubung malas kemana-mana, lebih baik baca-baca materi minggu depan, atau paling tidak tiduran.
"Fe, aku penasaran sama tipe laki-laki yang mungkin kamu terima" Asep meledek dari samping kursi faith.
Letak kursi mereka bersebelahan agak ke depan, aku hanya terpaut dua baris dibelakang mereka, sedikit dipojok.
"Duhh, kayaknya belum ada yang sesuai kriteria deh" jawab Faith kurang bersemangat, gesturnya menoleh ke sisi kanan dan kiri, seperti mencari seseorang. Entah siapa yang dimaksud olehnya, aku tak tahu pasti.
"Model-model Langit gak masuk kriteriamu? Keburu ditikung dengan bismillah loh, kayaknya yang ngarepin banyak, hahaha" Asep menimpali.
"Dihh, yang kaya gitu mah banyak diluaran sana, masa harus perempuan duluan sih yang minta" Faith menjawab dengan yakin.
Tanpa mereka sadari, percakapan itu jelas terdengar olehku, yang sedari awal merunduk pura-pura tertidur.
Kini aku paham, bahkan semakin paham. Penjelasan-penjelasan Faith berikutnya semakin menghujam relung hatiku. Ternyata aku memang belum ada apa-apanya. Itulah mengapa sikapnya setiap saat dingin kepadaku, tak bergeming menerima bantuanku. Perempuan kokoh setegar karang seperti Faith, memang tidak membutuhkan laki-laki semacam diriku, yang bahkan baru hijrah diakhir-akhir SMA.
Aku terlalu cepat seratus tahun agar pantas untuknya..
[bersambung]
KAMU SEDANG MEMBACA
FAITH
Roman d'amourTentang aku dan masa laluku yang belum usai, atau bahkan tentang takdirku yang belum juga ku temukan, ini kisahku. [FAITH] ーーーーーーーーーーーーーーーー Aku bergeming menatap tumpukan kertas kerja dan mengeryutkan bibir mengingat bibir tipisnya dengan suara sedi...