September 2019
Kacau. Pertanyaan Abi beberapa hari yang lalu membuat pikiranku benar-benar menjadi rumit dan bercabang. Beberapa kali aku mencoba membuat sanggahan positif, tetapi tetap saja pemikiran-pemikiran negatif selalu muncul kemudian. Semuanya berkecamuk dalam kepala membuatku tidak fokus dengan kerjaan di kantor.
Pada awalnya aku memang menganggap biasa percakapanku dengan Abi. Tetapi sehari setelahnya aku baru sadar, bahwa Abi..
Plaakk.
"Astaghfirullah..." lamunanku buyar, badanku sedikit terangkat karena kaget.
"Eh sorry sorry.." Kak Alyo mengambil map besar yang ia jatuhkan sembari meminta maaf ke seisi ruangan. "eh Fe, kamu ngga papa kan, aku liat kamu kaget banget" tanyanya melanjutkan permintaan maafnya.
"Oh iya? Ngga papa kok kak, tapi emang kaget aja sih" aku berkata pelan sambil masih mengatur nafas.
"Tapi mukamu emang ngga kayak biasanya sih Fe, keliatan capek gitu. Beneran kamu ngga papa?" Bang Tachi yang dari tadi sibuk mengecek berkas di lemari sudut ruangan ternyata juga memperhatikan.
"Iya ngga papa, biasalah saras 008 juga boleh capek kali" timpalku sekenanya supaya mereka tidak semakin penasaran dengan keadaanku yang sebenarnya.
"Yaelah jadul amat, udah jamannya Avengers kali, masih aja saras 008, Fe.. Fe.. kita udah sampe luar angkasa, lu masih aja di Indonesia" timpalan Kak Alyo emang selalu menumbuhkan emosi.
"Fe, gimana perkembangan proyek waktu ke Bandung kemarin? Awas jangan lupa besok kita meeting internal lagi lho" Dinda yang baru saja membuka pintu langsung menghujaniku dengan tagihan kerjaan.
"Besok? Bukannya kamis ya meetingnya?" Aku meraih kalender di sebelah komputerku.
"Besok itu kamis Fe"
"Astaghfirullah iya iya lupa"
"Jangan bilang usulan yang kemarin belum kamu cantumin?" Dinda seketika cemas melihat responku barusan.
"Udah, udah kok Dind, aku lupa hari aja"
"Lupa hari, kejatuhan buku aja kagetnya sampe loncat, jadi suka melamun, muka kecapekan, kurang fokus, apakah pertanda seorang Fe sedang porak poranda hatinya karena seorang lelaki? " Bang Tachi kembali menimpali percakapanku dengan berdiri santai menggenggam beberapa map di tangannya.
"Hmm alay deh Bang Tachi ini. Pokoknya Dind, santai aja, all is well, oke?" Jawabku singkat untuk Bang Tachi lalu beralih meyakinkan Dinda seraya melangkah keluar ruangan menghindari percakapan yang mulai mengarah kemana-mana.
Bang Tachi memang benar. Aku malu menyebutnya, tetapi kuakui hatiku memang sedang porak poranda karena seorang lelaki. Sebenarnya aku cukup bersyukur atas perasaan ini, karena tandanya aku masih perempuan normal yang mempunyai rasa terhadap lawan jenisnya. Mengapa demikian? Karena sejak kuliah teman-teman selalu mempertanyakan kenormalanku. Dulu, mereka selalu gemas denganku yang seakan tidak tertarik dengan semua teman laki-laki bahkan dengan orang sekeren Asep.
Sungguh, bukannya aku tidak tertarik, tetapi aku selalu ingin berhubungan dengan mereka sebagai teman. Tidak lebih. Kecuali satu orang. Ya, satu orang yang kusimpan dalam-dalam dan hanya beberapa orang saja yang tahu. Anehnya, keteguhan hatiku itu bertahan hingga aku berkecimpung dalam dunia kerja. Bisa dibilang aku menjadi supel dan benar benar biasa saja dengan rekan kerja-rekan kerja cowok atau bahkan siapapun laki-laki yang kutemui di bandara, tim klien, tempat makan, dan lainnya.
Pada titik itu aku terkadang bangga, karena merasa "well, I'm fine with everyone", perempuan "anti baper -baper club" yang yaudahlah lu mau seganteng apa, mau sekeren apa, mau semenarik apa juga kalau tiba-tiba tanya ke aku "udah makan belum Fe?" bakalan aku jawab "belum, beliin boleh sih" atau "udah dong" tanpa ada adegan jiwaku melayang menembus atap, melewati atmosfer bumi, hingga keluar angkasa.
Sayangnya, semua kebanggaanku itu runtuh di pukul keras oleh pertanyaan hingga pernyataan abi kemarin. Abi adalah tipikal ayah yang berbicara seperlunya. Yang selalu percaya dengan apapun aktivitas yang dilakukan anak-anaknya asalkan masih berada dalam koridor yang benar dan penuh tanggung jawab. Seperti hubungan seorang ayah dengan anak perempuan pertama pada umumnya, kami tidak terlalu dekat hingga dapat leluasa bercanda seperti kemarin, ketika Abi bertanya tentang laki-laki yang aku sukai. Bahkan itu pertama kalinya Abi bertanya kepadaku pertanyaan semacam itu. Biasanya ketika sedang kumpul keluarga besar dan ada yang menggodaku tentang menikah, Abi hanya diam saja tidak menimpali -meskipun akan tetap ikut tertawa jika memang ada yang lucu. Atau ketika di rumah ada kiriman undangan pernikahan dan Ummi menggodaku, Abi hanya akan diam saja tanpa ikut-ikutan dalam usaha Ummi yang ingin segera dapat menantu.
Maka pertanyaan Abi kemarin justru meninggalkan lubang besar pada hatiku. Apakah akhirnya Abi benar-benar sudah mulai ikut khawatir dengan masa depan pernikahan anaknya? Apalagi Abi sampai memberi isyarat tentang perempuan yang melamar duluan. Sungguh aku tidak berani menyimpulkan.
Pada akhirnya, semua pemikiran itu justru membuatku merasa menjadi perempuan egois. Iya, perempuan egois yang hanya mementingkan perasaanku sendiri bahwa hanya dia yang aku mau. Menanti dia seorang yang bahkan aku tidak yakin apakah dia juga memiliki perasaan yang sama denganku. Lantas, bukankah ini hal yang sungguh sia-sia?. Padahal, jika aku bertanya kembali ke lubuk hatiku yang terdalam, dengan lugas ia akan mengingatkan tentang imajinasiku terhadap sebuah pernikahan.
Ya, sama seperti perempuan pada umumnya, tentu aku ingin menikah dengan orang yang tepat, membangun mahligai rumah tangga dengan tentram, penuh cinta, dan kasih sayang, lalu melahirkan anak-anak menggemaskan yang selalu dapat menebar kebaikan. Tetapi lihatlah aku sekarang. Berdiri di atas perasaan yang tidak pasti, terseok-seok mencari jawaban akan perasaanku, dan tentu dengan sedikit perasaan bersalah terhadap Abi. Apakah kamu bahagia, Fe?
Meskipun begitu, aku paham betul. Jika pada akhirnya aku menikah, pernikahanku adalah milikku, bukan untuk memuaskan orang lain termasuk Abi dan Ummi.
"Udah balik kerja Fe?"sapa Naya dari depan pintu kamar kos yang sengaja kubuka sedikit.
"Oh, iya udah Nay. Mau kemana kamu?"tanyaku balik melihat Naya yang sudah rapi sambil membawa sepatu seperti hendak pergi.
"Main dong. Ikut ngga Fe?" balas Naya dengan enerjik seperti biasanya.
"Ngga deh, makasih. Lain kali aja. Tiati ya Nay" ucapku pada Naya dengan bibir yang kupaksa senyum.
"Ya ya, duluan yaa"
Beep..
Aku menoleh, ada pesan muncul dalam ponselku. Ternyata dari Mba Key yang menanyakan hal-hal aneh dan tidak jelas seperti biasanya. Aku menjadi larut dengan percakapan jarak jauh bersama Mba Key. Sesekali aku tertawa membayangkan keribetan Mba Key di sebrang sana. Mba Key memang selalu muncul tiba-tiba dan bercakap dengannya merupakan salah satu hiburan. Akhirnya aku pun membaca ulang beberapa pesannya yang kuanggap lucu. Hingga tidak sengaja aku menemukan sepenggal pesan Mba Key beberapa hari lalu.
Ada kabar Langit akan menikah, tapi belum jelas. Bisa jadi gossip kayak yang kemarin-kemarin.
Sialnya, pesan ini justru membuatku kembali pada lamunanku. Jika kemarin-kemarin membaca pesan ini memunculkan perasaan sedih, kali ini justru rasa malu dan kasihan pada diri sendiri yang mendominasi. Aku menjadi semakin sadar. Aku benar benar tidak dapat memaksakan kehendakku. Yang dapat dan seharusnya aku lakukan saat ini adalah memangkas sumbu sebelum baranya mencapai permukaan bom. Ya, aku harus mengambil keputusan itu sebelum aku menjadi semakin tidak dapat melihat siapa-siapa selain dia. Atau aku akan tetap berjuang mempertahankan perasaanku yang mewah meskipun akhir yang buruk seakan terlihat jelas di depan mata.
Ingat Fe, yang terbaik menurutmu belum tentu terbaik di mata Allah, begitu pun sebaliknya. Sejatinya, daripada menjadi semakin rumit berkepanjangan, bukankah lebih baik memasrahkan semuanya kepada Allah, Fe?
Hati kecilku lirih berucap, membuatku semakin malu karena sesaat aku lupa bahwa ada Dzat Yang Maha Besar, yang berkuasa atas seluruh alam semesta dan seisinya. Maka dengan itu, aku menjadi semakin yakin langkah apa yang harus aku ambil. Tiba saatnya aku harus mengambil keputusan ini.
Pada perasaanku untuknya, aku menyerah.
[bersambung]
KAMU SEDANG MEMBACA
FAITH
RomanceTentang aku dan masa laluku yang belum usai, atau bahkan tentang takdirku yang belum juga ku temukan, ini kisahku. [FAITH] ーーーーーーーーーーーーーーーー Aku bergeming menatap tumpukan kertas kerja dan mengeryutkan bibir mengingat bibir tipisnya dengan suara sedi...