[FAITH] - Epilog

66 7 1
                                    

Kita tidak akan pernah tahu bagaimana masa depan bergeser karena perubahan. Aku ingin percaya kalau apa yang ada di masa depan itu adalah sesuatu yang aku, kamu dan semua orang nantikan.

***

Bandung, Juni 2021 - Stasiun, 04.15 WIB

Aku mengulum senyum, menikmati udara dingin kota kelahiran. "Sudah lama rasanya". ucapku. Masih ada 20 menit menjelang adzan subuh. Aku bergegas ke mushola stasiun, menegakkan 2 rakaat tahajud dan 3 rakaat witir.

"Hp-nya tidak aktif, mungkin lowbat. Nanti kuhubungi lagi setelah subuh. Baik, Bund. Iya, katakan pada Ummi dan Abi tidak perlu khawatir. Iya, Assalamu'alaykum".

Seseorang berbisik menjawab telepon di balik tirai hijab mushola. Aku menelan ludah, suaranya mengingatkan aku pada suara seseorang. Dan sialnya hatiku berdesir mengingat nama pemiliknya.

"Astaghfirullahaladzim, Fe tobat!" aku mencela diriku.

Adzan subuh berkumandang, iqomah pun terlafalkan. Selepas salat dan dzikir pagi, kuhidupkan ponsel yang memang sengaja kumatikan selama perjalanan. 654 pesan masuk dan 116 panggilan tak terjawab. Bukan pemandangan asing di layar ponselku, terlebih satu bulan belakangan ini. Selain telepon mendesak urusan kantor, aku enggan berurusan dengan dunia perponselan karena beberapa alasan.

"Fe?" seseorang memanggil. Aku tersentak. Sesaat aku memastikan tidak berada dalam halusinasi pendengaran seperti yang kualami tiga bulan terakhir ini. Aku menyapu sekeliling dan terhenti pada sosok tinggi yang berdiri dua meter tepat di hadapanku. Aku mengerjap. sepertinya halusinasiku semakin parah.

Orang itu terkekeh, dia pikir ini lucu. Atau barangkali memang iya, aku terus-menerus berhalusinasi tentangnya, awalnya suara dan kini aku bahkan berhalusinasi mengobrol dengan dia. Aku mulai cemas, bagaimana jika setelah menikah pun aku masih tetap seperti ini? Kepalaku mulai berdenyut.

Aku harus pulang. batinku. Tanpa menghiraukan apapun lagi, aku bergegas meninggalkan sosok halusinasi itu.

***

Ciwaruga - Bandung, 15.45 WIB

TOKTOK. "Asslamu'alaykum".

"Sepertinya ada tamu" tuturku pada Ummi yang sepertinya tidak sadar karena asik menyiapkan meja makan. Aku beranjak membuka pintu.

"Wa'alaykumusslam" ucapku sambil memutar engsel pintu.

DEG! mataku terbelalak nanar menatap 'tamu' yang datang. "Astaghfirullahaladzim" pekikku membanting pintu hingga tertutup rapat kembali.

"Ada apa Fe?"sahut Ummi dari dapur

"Bukan apa-apa, Mi. Sepertinya Fe masih mabuk perjalanan, sampai-sampai salah lihat". jawabku sedikit panik. Benar, itu hanya halusinasi. Astaghfirullah, jangan dulu kambuh please. batinku. Pantas Ummi tadi diam saja ketika pintu diketuk.

TOKTOK."Asslamu'alaykum".ketukan itu berulang

"Astaghfirullahaladzim, Astaghfirullahaladzim, Astaghfirullahaladzim". Aku terus beristighfar. Kepalaku kembali berdenyut. Kepanikan dan rasa cemasku meningkat. Tanganku mulai bergetar. Kupenjamkan mata dan kuhela nafas dalam-dalam, "Berhentilah berhalusinasi" runtukku.

TOKTOK. "Asslamu'alaykum". ketukan itu berulang(lagi) lebih keras dengan salam yang lebih lantang dari sebelumnya.

"Wa'alaykumusslam". pekik Ummi dari dapur, tidak lama kemudian Ummi sudah berada di ruang tamu. "Ngapain di situ Fe? Itu ada tamu kenapa tidak dibuka pintunya?"

"Ummi, serius mendengar suara ketukan dan salam?" aku memastikan.

"Ih ari kamu kunaon, iya atuh kedengeran meni tarik kitu sorana. Buka atuh pasti itu Abe dan keluarganya. Ummi ganti baju ah, bau dapur. Buka atuh Fe!"

FAITHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang