[LANGIT] - Kemantapan Hati

33 4 0
                                    

Terdengar jeritan seseorang yang cukup kencang sehingga aku pun tidak tahan berdiam diri di atas pembaringan. Aku mencoba mencari sumber suara yang terdengar di ruang tengah dengan penglihatan yang masih buram. Mataku masih mencoba beradaptasi dengan cahaya sekitar, sambil terus mencoba mengikuti di mana sumber suara. Suara jeritan kembali terdengar yang diikuti dengan deru tangis ketika aku sampai di ruang tengah.

"Hah?? Kenapa ada bocah menangis di sini? Anak siapa pula?"

Aku diam terkejut melihat sosok anak kecil yang menangis di hadapanku. Bingung harus bagaimana bersikap.

"Apakah harus kutenangkan bocah ini? Tapi ini anak siapa, kalau dia kenapa-kenapa apa yang harus ku perbuat?"

Dalam kebingungan itu kuperhatikan anak itu yang tertunduk memeluk kakinya yang menekuk mulai tenang namun tetap terdengar isak tangisnya. Sejurus kemudian anak itu mendongak menatap diriku, kami saling menatap tampak matanya yang polos dan tenang. Bibirnya berusaha mengucapkan sesuatu, tapi masih sesenggukan setelah menangis.

"a... a... ayah..." kata yang kudengar dari mulut anak ini.

"hah, apa dia pikir aku ayahnya?" tanyaku yang terkesiap dalam hati.

***

Hujan turun deras di luar ruangan. Aku tersadar dan bangun dari pembaringan, ternyata itu hanya mimpi. Aku bersegera berdiri dan cuci muka dan berwudhu, sungguh mimpi yang aneh ketika terbayang lagi. Setelah kembali ke kamar, ku lihat meja kerjaku sehingga teringat tanggungan proyek yang sudah ditunggu klien.

Aku memperhatikan jam menunjukkan pukul 3.30 dini hari. Setelah kuingat sudah lama diriku tidak bangun untuk salat tahajud, jadi kuputuskan untuk salat barang beberapa rakaat sebelum kembali menyelesaikan tanggungan proyek. Sungguh nikmat.

Sebelum berkutat dengan kerjaan, mendengar hujan yang masih turun deras aku menjadi ingin merasakan air hujannya. Pintu antara kamar dengan balkon pun ku buka sedikit untuk menjulurkan tanganku. Aku menengadahkan telapak tangan ke atas untuk mengumpulkan air hujan yang kemudian aku basuhkan ke muka. Kesejukan dan kesegaran luar biasa yang aku rasakan karena waktu menjelang subuh ditambah dengan hujan deras ini.

***

Juni 2021

Ini akan menjadi kali kedua bagiku untuk menemui keluarga seorang gadis untuk bersepakat sebelum menikah. Aku akan menghadapi kecanggungan itu lagi. Berkecamuk berbagai pertanyaan tentang yang akan aku hadapi. Bukan keragu-raguan lagi, tetapi kekhawatiran akan ada apa lagi yang akan terjadi membuat hati sedikit gugup.

Aku berada dalam kereta api yang sedang perjalanan menuju ke Bandung. Bayangan tentang kejadian-kejadian masa lalu membayangi kembali dalam perjalanan ini. Satu tahun telah berlalu setelah kejadian itu. Kejadian yang bersejarah bagiku, setelah bersepakat dengan keluarga Haura. Yang sebenarnya pernikahan aku dan Haura yang tinggal sedikit lagi menjadi batal.

Ya mungkin memang tidak berjodoh. Apakah aku berjodoh dengan wanita yang sedang dalam proses aku lamar ini? Belum tentu, tetapi aku sudah membebaskan diri untuk berharap kepada manusia terlebih masalah perjodoha ini. Aku siap dengan segala resiko, tidak akan berbahagia berlebihan dan tidak akan kecewa berlebihan.

"Kalau tidak dicoba, ya kamu akan terus penasaran. Sekalipun tidak lanjut ke pernikahan atau ditolak itu jadi pengalaman dan cukup menjawab rasa penasaranmu tanpa perlu disimpan lebih lama lagi," ujar ayah yang membuatku lebih mantap untuk sampai ke tahap ini.

Kalau mengingat nasihat ayah aku jadi teringat dengan kawanku, Asep. Iya, Asep adalah seorang yang lebih pandai dalam mengungkapkan perasaannya. Ya meski dipandang beberapa orang cenderung bermurah-murah dalam bergaul dengan cewek memang. Tapi aku rasa dia lebih berprinsip dan tidak sembarangan mendekati gadis.

Ketika reuni beberapa bulan lalu aku tidak sempat bercengkrama lama dengan Asep. Hanya sekedar tegur sapa dan bertukar kabar sekenanya. Beberapa informasi yang kudapatkan, Asep hanya baru berusaha melamar satu perempuan dan ditolak. Entahlah siapa itu, aku tidak begitu penasaran dan tidak mencoba menebak-nebak.

Mengingat reuni itu aku cukup ada penyesalan sih. Aku memang tidak berniat hadir sepenuhnya. Aku datang sudah terlambat, bahkan beberapa kawan yang hadir awal kabarnya sudah pulang dahulu. Dan aku juga memutuskan untuk pulang cepat juga, karena masih banyak tanggungan yang mendekati deadline. Sehingga beberapa orang bahkan hanya sempat bertemu tanpa sempat bertegur. Termasuk dengan Faith, yang sebenarnya kami berpapasan bahkan tatap muka, tapi aku memilih untuk segera pulang setelah bertemu dengannya.

***

Dia jauh di sana

Jauh di mata

Namun di hati senantiasa ada

Menemani dikala gundah gulana

"Sesaat lagi kereta akan berhenti di Stasiun Bandung..." suara operator kereta, mengingatkan.

Menjelang sampai stasiun pemberhentian terakhir, ditemani lagu yang kudengarkan dengan headset di kuping, aku menuliskan beberapa baris puisi itu. Entah apa yang menggerakkan, padahal sudah lama aku tidak tertarik dengan puisi. Sepertinya lebih karena suasana hati yang campur aduk selama perjalanan ditambah lagu-lagu yang kudengarkan.

Ckiiit...

Suara kereta api yang berhenti, berdecit gesekan roda dengan relnya menandakan kereta sudah berhenti dan sampai di stasiun. Karena barang bawain yang ringkas, aku tidak perlu menaruh bagasi, sehingga dengan ringan aku bergegas keluar dari kereta.

Di antara keramaian lalu lalang penumpang lain, sambil berjalan aku sempat melihat sosok yang sepertinya aku kenal. Tapi ketika aku mencoba mengikuti dan mencarinya kusudah tidak menemukan.

"Apakah benar dia adalah orang yang kukenal?"

Setelah mendapatkan tempat duduk, aku duduk dan mengelurkan ponsel. Setelah menjawab pesan dari bunda, aku memperhatikan jam menunjukkan pukul 4.20. Menjelang subuh, lebih baik aku ke mushola stasiun saja.

***

Kos Bambang, Bandung

"Sudah yakin kamu untuk kali ini?" tanya Bambang.

"Bismillah, harus yakin! Doakan ya, Mbang!" jawabku tampak bersemangat yang justru menunjukkan aku gugup.

Kali ini aku berada di kamar Bambang sambil bersiap. Seusai salat subuh tadi ku bersegera menghubungi Bambang yang juga sedang tinggal di Bandung untuk transit. Aku menumpang untuk istirahat sejenak setelah perjalanan cukup panjang.

"Sudah enggak ada trauma kan dirimu setelah kondisi yang setahun lalu?" Bambang memastikan.

"Yee, mana ada trauma. Justru kan aku yang mutusin batal memang karena belum tentu sabar kalo nunggu lebih lama. Dan pengennya saat itu bisa segera nikah kok setelah batal sama Haura. Kalo ada kesempatan sekarang ini kenapa engga dimanfaatkan," aku coba menjelaskan.

Seusai bersih diri aku menyantap makan siang dengan berbincang bersama Bambang. Rupanya Bambang masih ada kekhawatiran terhadap pengalaman yang kualami.

"Berarti sudah beneran mantap ya kali ini," cuap Bambang memastikan lagi.

"Iya dong...,"

"Eh, iyalah kan kali ini sama Fe! Hahaha...," celetuk Bambang menyamber sebelum ku selesai menjawab.

bersambung

FAITHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang