[LANGIT] - Makna yang Tersirat

34 5 0
                                    

"Yeaayyy, akhirnyaaaa ......!!!"

Begitulah teriakan bahagia rekan-rekan satu kelas mendengar dosen yang tidak bisa hadir. Minggu yang lalu dosen kami menjadwalkan ujian lisan sebagai pengganti UAS nanti. Seperti yang diceritakan kating, dosen itu killer, ngasih nilai seadanya dan semua pertanyaanya tidak bisa ditebak. Aku masih ingat, semester lalu Asep dibuat tak berdaya dan mati kutu dicecar berbagai pertanyaan. Tak heran, hari ini dia terlihat paling senang.

"Lang, mau jajan apa kamu hari ini? Aku traktir deh. Lagi bahagia nih, haha". Asep tertawa lepas

"Helah, kagak usah! Lagian ini kan bukan ujiannya ditiadakan, tapi diundur. Tetap aja minggu depan kita ujian lisan", jawabku agak ketus.

"Iyaaa deh iyaaa, santei wae atuh ngomongnya. Orang aku mau nraktir kok malah judes gitu kamu mah ah. Ga seru! Lagi mikirin apa sih? Dari tadi bengong mulu kamu, Lang", ujar Asep.

"Kagak ada apa-apa kok. Aku cuma kepikiran aja nih, minggu depan aku ada project. Jadi kayaknya kagak bisa kuliah. Eh, ujiannya malah diundur, hadeh jadi repot deh". Jawabku dengan nada yang sedikit lemas.

"Yaudah kalo gitu kita doa bareng-bareng aja biar minggu depan dosennya kagak masuk lagi". Sahut asep sambal tertawa dan meninggalkan ruangan kelas.

"Berisik si Asep itu! Untung dia Ketua BEM, kalo kagak....". Gumamku dalam hati sambil menghela nafas.

Aku memang tidak terlalu aktif di keorganisasian kampus. Hanya ikut beberapa kepanitian. Itupun karena Asep yang minta. Sebagai teman tentunya aku harus bantu dia. Yaa walaupun kadang agak ngeselin juga.

Selain kuliah, aku menghabiskan waktu luangku dengan mengikuti kegiatan - kegiatan sosial. Berbaur dengan masyarakat, menggali potensi dan permasalahan yang mereka alami lalu coba membuat project pemberdayaan untuk mengentaskan masalah tersebut. Saat ini aku sedang membantu masyarakat pesisir pantai untuk mendapat bantuan dari perusahaan dan pemerintah di bidang budidaya lobster. Banyak orang bilang, aku ini terlalu cuek. Apalagi soal perasaan. Dibilang cowok gak peka, malah lebih peka sama si Ucup(kalau kata Fe), kucing yang ada di fakultas kami. Kadang aku juga berpikir, apakah aku orang yang seperti itu?

"Ya Allahhhhh....!!!" Teriak seseorang dari belakangku.

Aku pun menoleh, "Eh, kenapa dia masih belum pulang ya?" Gumamku dalam hati.

"Fe? Kamu kenapa? Kok tiba-tiba teriak gitu? Bikin kaget aja tau", aku menghampirinya.

"Iya nih, kok kunci motorku gak ada ya? Udah aku cari-cari tapi gak ketemu-ketemu nih", jawab Faith dengan nada panic.

"Masa ah? Coba cek lagi, di tas kali. Atau di saku? Atau kamu kagak bawa motor?" jawabku sambil sedikit tertawa meledek.

"Ah kamu suka gitu Lang. Gak lucu tau!! ini beneran gak ada. Udah aku cari di saku. Di tas juga udah. Tapi kagak ada" Faith terlihat semakin panic.

"Kamu ini ya, bisa-bisanya kunci motor ilang. Masih muda kok pikun gitu. Coba inget-inget lagi, terakhir dimana naronya?" Tanyaku.

"Aku lupa beneran. Seingetku ya ditaro di tas. Tapi kok gak ada. Aneh, mana aku ada agenda penting lagi nih". Wajah Faith terlihat semakin panik. Sesekali ia melihat jam tangannya.

"Mau ada acara apa sih? Yaudah aku anterin aja gimana?" Jawabku spontan.

"Maksudmu? Anterin? Faith menatapku dengan wajah serius.

"Eeeeee. Maksudnya aku pesenin gojek gitu, gimana?" Aku gelagapan dibuatnya.

Bodohnya aku. Hampir saja keceplosan! Bisa babak belur aku dibuatnya. Aku tak sadar tiba-tiba menawarkan bantuan untuk mengantarnya. Padahal aku tahu, dia ini selama kuliah tidak pernah boncengan sama lelaki yang bukan mahramnya. Tapi, aku kagum dibuatnya. Prinsip yang ia miliki benar-benar dipegang teguh. Dia orang yang selalu berusaha menjaga dirinya dengan baik.

"Nahh alhamdulillah ketemu, akhirnya...!!!!" Faith terlihat senang sambil memegang kunci motornya.

"Lah itu ada? Ketemu dimana?" tanyaku sambil terheran-heran.

"Iya nih, aku lupa ternyata kuncinya aku taro di tas laptop. Tadi kan aku habis ngerjain puisi lagi, untuk di setor minggu ini. Kebetulan redaktur korannya tertarik sama puisi-puisi buatanku. Nah ini aku mau ketemu sama redakturnya. Makanya aku buru-buru". Jawabnya sambil tersenyum.

"Hilih kamu bikin heboh aja. Oh ya? Ketemu Redaktur? Wah, keren juga ya kamu Fe! Memang keren sih puisimu. Aku juga gak nyangka lho. Tapi aku masih penasaran nih. Jadi, biru yang kamu maksud di puisimu yang dimuat di koran itu apa? Biru laut atau biru langit?" Tanyaku penasaran.

"Biru langit. Dah yaa, aku buru-buru nih". Dia pergi begitu saja meninggalkan senyuman dan rasa penasaran di kepalaku.

"Biru Langit? Langit? Hmm, langiiiitttt??? Itukan namaku?"

Aku memukul kepalaku sendiri sambil tak henti-hentinya tersenyum.

"Sial! Kenapa aku jadi senyam senyum sendiri? Kenapa aku jadi kepikiran begini sih?" Gumamku dalam hati yang berkecamuk.

***

September2019

"Mas, Mas! Masss!!! Tiba - tiba suara ibu-ibu terdengar nyaring di kepalaku.

"Mas, hapenya bunyi terus tuh mas. Mas??" Teriakan ibu itu semakin menjadi jadi.

"Oh sial, kenapa aku bermimpi tentang masa laluku dengan Faith? Kenapa tiba-tiba aku jadi ingat dia?". Aku berusaha membuka mata dan menyadarkan diri. Kuusap wajahku sambil menenangkan kepalaku yang masih terasa pusing. Tiba-tiba ingatanku dua tahun silam muncul kembali, melalui mimpi yang tak pernah kuduga sebelumnya. Aku memang selalu bersikap acuh tak acuh terhadap Faith. Padahal dia orang yang baik dan perhatian. Tapi entah kenapa, dua tahun yang lalu saat aku tahu makna "biru" dalam puisi pertamanya yang dimuat di koran adalah "langit", aku merasa senang dan sejak saat itu tanpa sadar aku sesekali memikirkannya. Ah sial, kenapa disaat-saat seperti ini aku malah memikirkannya?

"Lang, kamu sudah sampe mana? Bunda telpon kok gak diangkat terus? Lelap ya tidurnya? Kalo sudah sampai stasiun langsung kabari Bunda ya. Nanti Bunda suruh adekmu jemput ke stasiun". Pesan masuk dari Bunda.

"Langit bentar lagisampai bun, maaf tadi ketiduran". balasku kepada WA bunda.

[bersambung]

FAITHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang